Oleh: Pitri Yani
Seperti yang kita ketahui, konflik antara Palestina dan Israel masih berlangsung hingga saat ini. Ratusan warga sipil Palestina dibombardir secara kejam oleh tentara Israel. Hingga kini, konflik tersebut belum menemukan titik terang. Israel terus-menerus menyerang warga Palestina dengan dukungan dari Amerika Serikat. Penyerangan ini tidak lagi bisa dianggap sebagai perebutan wilayah atau konflik agama semata, melainkan telah menjadi tindakan genosida yang tidak berperikemanusiaan. Korban serangan tersebut sebagian besar adalah anak-anak, perempuan, lansia, tenaga medis, dan jurnalis.
Bahkan selama masa gencatan senjata, Israel tetap melancarkan serangan. Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza kian memburuk secara signifikan. Sejak 2 Maret 2025, Israel memblokade akses masuk makanan, air bersih, serta pasokan-pasokan penting lainnya ke wilayah Gaza.
Beberapa waktu lalu, media sosial di Indonesia ramai dengan seruan aksi kampanye boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Gerakan ini juga didukung oleh masyarakat di berbagai negara, dan cukup berdampak terhadap perekonomian Israel. Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam aksi boikot tersebut. Dilansir dari laman mui.or.id, Prof. Sudarnoto menjelaskan bahwa aksi boikot diserukan MUI untuk melemahkan ekonomi Israel agar mereka tidak lagi melakukan penyerangan terhadap Palestina.
“Mengapa boikot? Karena hasil penjualan produk tertentu pasti akan memberikan manfaat bagi Israel. Maka dengan boikot, kita dapat memperlemah ekonomi mereka agar tidak terus menyerang,” ujar Prof. Sudarnoto dalam sebuah acara di Aula Buya Hamka, Kantor MUI, Jakarta Pusat, pada Ahad (10/3/2024). Ia juga menyebutkan bahwa produk yang diboikot bervariasi, mulai dari makanan, minuman, hingga kebutuhan lainnya. MUI sendiri telah mengeluarkan Fatwa Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Namun, Prof. Sudarnoto menegaskan bahwa MUI tidak pernah secara resmi mengeluarkan daftar produk yang harus diboikot.
Dilansir dari laman ekonompedia.com, aksi boikot terbukti berdampak pada ekspor produk Israel. Data dari Bank Dunia menunjukkan penurunan ekspor barang-barang intermediate Israel sebesar USD 6 miliar (sekitar Rp94 triliun) antara tahun 2014 dan 2016. Sementara itu, Al Jazeera memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat boikot bisa mencapai USD 11,5 miliar (sekitar Rp180 triliun) per tahun. Dampak ini turut mengurangi kemampuan Israel dalam mempertahankan kekuatan militer, termasuk pasokan senjata dan amunisi.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, minat masyarakat Indonesia terhadap aksi boikot produk-produk yang terkait dengan Israel tampak mulai menurun. Padahal, saat eskalasi konflik meningkat pada akhir 2023, semangat boikot menggema di media sosial, masjid, hingga pusat perbelanjaan. Ke mana perginya semangat itu sekarang? Indonesia, yang dikenal sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia dan memiliki sejarah panjang solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina, kini terlihat mulai kehilangan antusiasme tersebut. Perlu ditegaskan bahwa aksi boikot ini bukan sekadar bentuk solidaritas keagamaan, tetapi juga sebagai wujud kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Salah satu inovasi yang mendukung gerakan ini adalah aplikasi “No Thanks” yang dapat diunduh melalui Play Store dan platform lainnya. Aplikasi ini memudahkan pengguna untuk mengetahui apakah suatu produk termasuk dalam daftar boikot dengan cara memindai kode batang (barcode) pada kemasan produk. Jika tampil warna merah, berarti produk tersebut diboikot; sedangkan warna hijau menandakan produk aman. Aplikasi ini dikembangkan oleh Ahmed Bashbash, warga Palestina asal Gaza yang kini menetap di Hungaria.
Dalam wawancaranya dengan DW, Bashbash menceritakan bahwa ia menciptakan aplikasi tersebut sebagai bentuk perlawanan atas penderitaan keluarganya—saudaranya meninggal dalam pembantaian, dan saudarinya wafat pada tahun 2020 karena tidak memperoleh layanan kesehatan akibat blokade Israel. Ia menyusun daftar produk yang diduga mendukung Israel dengan bantuan situs Boycotzionism dan Ulastempat. Namun, beberapa pengguna menyebutkan bahwa informasi di aplikasi ini belum sepenuhnya akurat. Beberapa produk yang sebenarnya termasuk dalam daftar boikot justru ditandai aman, dan sebaliknya.
Meski demikian, kampanye boikot juga membawa dampak positif bagi perekonomian lokal. Masyarakat yang sebelumnya bergantung pada produk impor kini mulai beralih ke produk-produk lokal, sehingga turut meningkatkan sektor ekonomi dalam negeri. Oleh karena itu, boikot tidak bertujuan untuk menghancurkan perusahaan tertentu atau menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, melainkan sebagai bentuk tekanan moral dan solidaritas kemanusiaan agar Palestina dapat meraih kemerdekaannya.Dengan memahami tujuan utama dari aksi ini, kita perlu menyadari bahwa boikot terhadap produk-produk pro-Israel juga bisa menjadi peluang untuk memperkuat ekonomi nasional melalui peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Discussion about this post