Minggu, 18 Mei 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas

Home Aspirasi

Antara Legalitas dan Legitimasi: Polemik Politik Gibran di Pusaran Demokrasi

oleh Redaksi
Jumat, 9 Mei 2025 | 13:01 WIB
di Aspirasi, Karya Calon Anggota
0
Ilustrasi/Nasywa Luthfiyyah Edfa

Ilustrasi/Nasywa Luthfiyyah Edfa

ShareShareShareShare

BacaJuga

Kongres VII Aspem Sumbar Kembali Digelar Setelah Tiga Tahun Vakum

Melemahnya Aksi Boikot Israel: Dampak Nyata bagi Perjuangan Palestina

Ilustrasi/Nasywa Luthfiyyah Edfa

Oleh: Nasywa Luthfiyyah Edfa*

Wacana pemakzulan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden bukanlah hal yang muncul secara tiba-tiba. Sejak proses pencalonannya sebagai calon wakil presiden, Gibran telah menuai kritik publik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat usia minimal calon wakil presiden. Desakan pemakzulan kembali menguat pada awal tahun 2025, yang berasal dari forum Purnawirawan TNI-Polri. Gibran dinilai sebagai sumber permasalahan karena sejak awal, tahapan-tahapan yang ia lalui sebelum menjabat sudah sarat kontroversi. Hal ini mencerminkan ketidakadilan dalam ranah politik.

Dilansir dari CNN Indonesia, Mahfud MD secara terbuka mengkritik putusan MK yang mengubah syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden, yang kemudian membuka peluang bagi Gibran untuk maju dalam Pemilu 2024. Ia menilai bahwa putusan tersebut melanggar sejumlah asas hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh MK.

Kekuasaan seharusnya diperoleh melalui cara yang adil, jujur, dan bebas dari manipulasi. Namun, publik menyaksikan sendiri bagaimana keputusan diubah secara tergesa-gesa oleh MK demi meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik.

Pemakzulan Gibran bukan semata-mata persoalan politik, tetapi juga mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap cara kekuasaan dijalankan dan diperoleh. Salah satu faktor utama yang memicu ketidakpercayaan tersebut adalah dugaan campur tangan sang ayah, Presiden Jokowi, yang dianggap sedang mempersiapkan Gibran untuk maju dalam Pilpres 2029. Kekuasaan yang diperoleh melalui cara-cara yang dianggap curang dan tidak adil justru memperburuk persepsi publik terhadap ketidakadilan dalam politik Indonesia.

Pelanggaran ini bukan hanya menyangkut formalitas hukum, tetapi juga menyangkut etika dan integritas demokrasi. Ketika institusi-institusi negara tidak menjalankan tugas dan fungsinya secara semestinya, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan hal ini sangat berbahaya. Maka, pemakzulan bukanlah tindakan yang keliru, melainkan bentuk perlawanan terhadap cara berkuasa yang tidak mencerminkan keadilan sosial.

Di tengah hiruk pikuk politik pasca-Pemilu 2024, muncul satu pertanyaan penting: “Apakah kekuasaan yang diraih Gibran ini hanya sah secara formal, atau juga mencerminkan ketidakadilan sosial?” persoalan ini jika dilihat melalui kacamata sosiologi, khususnya melalui teori legitimasi kekuasaan menurut Max Weber dimana teori ini digunakan untuk menelaah bagaimana sebuah keputusan seharusnya berdiri di atas kepercayaan publik yang meskipun sah secara hukum, belum tentu mencerminkan keadilan sosial yang dirasakan masyarakat luas.

Ketika masyarakat meragukan kenetralan putusan MK sejatinya otoritas negara telah kehilangan legitimasi, meskipun secara formal tetap sah di mata hukum. Dalam teori legitimasi rasional legal Weber, kekuasaan dianggap sah karena didasarkan pada aturan hukum yang rasional dan impersonal. Namun, ketika masyarakat mencurigai adanya manipulasi demi kepentingan segelintir elite, dasar legitimasi tersebut menjadi goyah. Otoritas yang semula dianggap sah dapat mulai ditentang oleh masyarakat, meskipun kenyataannya tidak mudah dilakukan.

Menurut Weber, otoritas legal rasional bergantung pada kepercayaan publik terhadap netralitas birokrasi hukum. Ketika kepercayaan itu hilang, muncullah krisis kepercayaan institusional di tengah masyarakat. Kasus dugaan kecurangan politik dalam putusan MK seperti perubahan batasan usia calon presiden menunjukkan bagaimana legalitas formal misalnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bisa berbenturan dengan persepsi publik bahwa hukum hanya menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa.

Dugaan kecurangan politik yang dilakukan Gibran memberikan dampak besar terhadap Indonesia dan masyarakat. Secara nasional, permasalahan ini menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan demokrasi, memperkuat kekuasaan oligarki, serta merusak citra Indonesia di mata dunia. Bagi masyarakat, hukum yang dinilai berat sebelah membuat mereka kehilangan harapan akan keadilan, menjauh dari partisipasi politik, dan merasa tidak diprioritaskan. Jika pemerintah tidak mampu mengambil langkah tepat dalam menyelesaikan persoalan ini, maka hal tersebut akan berdampak serius pada stabilitas sosial dan politik Indonesia di masa depan.

 

*Penulis Merupakan Mahasiswa  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,  Universitas Andalas

Label: karya calon anggotakrisishukumlegalitaslegitimasipemakzulan
BagikanTweetBagikanKirim

Komentar

TERPOPULER

  • Aliansi BEM Sumbar Gelar Aksi Mei Melawan, Peringati May Day  dan Hardiknas

    Aliansi BEM Sumbar Gelar Aksi Mei Melawan, Peringati May Day dan Hardiknas

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Potret Aksi KAMMI Sumbar di Depan Gedung DPRD, Ajukan Tuntuntan Untuk Pemerintahan Prabowo-Gibran

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Mahasiswa UNAND Gelar Aksi: Tuntut Transparansi Anggaran, Wakaf Wajib, hingga Tuntaskan Kasus Korupsi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Privasi di Ujung Jari: Ancaman Nyata di Balik Media Sosial

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Aksi Sumbar Bersama Palestina: Massa Serukan Penangkapan Netanyahu dan Galang Rp1,5 Miliar Donasi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak