AIR MATA DI BAWAH KOLONG

Lemari kayu terbelah

Pada potongan terakhir pun meluruhkan serbuk-serbuk ke bawah lantai

Pun menimbun kepinding merah hati

Berawal dari knop yang memati-hidupkan lentera atap gubuk kardus ini

Pilar dari serpihan kayu pun meretak retai perlahan memanjang

Terlihat sekeliling runtuh

Meski tetangga membuatnya dari dinding batu atau lantai keramik bercorak mewah

Aku beranjak dari ranjang penuh bolongan ini

Cangkul raksasa bergerak memakan gubuk-gubuk nan kokoh di tepian bandar kali ini

Kerongkonganku mengering kala hanya bisa meraung, meratapi tragedi ini

Telah rata sekelilingku menyisakan kolong bertamankan puing-puing sisa penggusuran

Aku memang miskin

Kami memang rakyat jelata yang hanya sanggup hidup di hulu kali buangan ini

Tapi haruskah kau manfaatkan tahtamu yang memang berderajat itu?

Tak berhati nuranikah kalian hingga tega meluluhlantakkan tempat berteduh kami ini?

Tak apa, hari ini tak apa kau sengsarakan hidup ini

Dengan derita yang kau goresi dan membuatmu riang

Tapi belum tentu, kami masih punya tuhan untuk berlindung dan bersimpuh agar memakzulkan kalian dari tahta yang meninggikan dagu kalian itu

Tak bisakah sedikit palingan matamu membantu rakyat jembel ini?

Kami mohon….

Aku, dia, kami perlu perlindungan dari hujan.

Perlu teduh tuk mendinginkan kepanasan

Butuh ruang tuk bahagia walau dalam kemiskinan yang menyusahkan

Kami mohon padamu, Tuhan

Sadarkanlah mereka, buatlah mereka iba dengan keadaan dan rasa pahit ini

Kami tidak butuh pesangon atau pun uang belas kasihan

Kami hanya butuh gubuk-gubuk kami dahulu, dapat berdiri kembali

Walau hanya seluas lingkar kubangan saja

BELANDONG SATWA

Rusa berhamburan, terdengar suara gerodak saat itu

Tengar pun terkelupas mengikis seabrek urat kering sisa penebangan

Rengkah kulit rusa itu terkena bedil

Hingga putus nadi menyisakan tanda biru yang menjantang di pusarnya

Bala menjelatangi ribuan jawatan tuk menggerogot belantara itu

Hingga keropos tinggalkan ganasnya muara tanpa aliran atau lumpur tak bergumpal air

Setengah abad hampir selesai bila sebab peluruh tak menggejalai kepunahan

Roda pedati tak kenakan kuda lagi

Berganti gading tumpul memanjang yang menungganginya

Pahit getir seakan berkuasa hingga terinjak ranjau dari kulit banteng hasil pergulatan

Di sana aku melihat jawatan tengah berkenduri

Dikitari sayap merak bahkan unta hanya mematung tanpa punuk

Selaraskah ini? Sementara pelipur telah musnah tertimpa reruntuhan

Bukan bangunan, malah alam tempat kicauan dan kebebasan tinggal

Hilir mudik kereta angin terseruduk batu gelondongan bersimpul kuping kelelawar jantan

Asap mengikat sanubari mereka sampai putus renggut segala napas

Ambruk tak berdaya, pun tuk berdiri dan memberontak

Tuan yang di sana, kalian yang menggendong raga kami tanpa nyawa

Selepas kau bunuh tuk kau niagakan pada insan di ujung sana

Kami butuh kebebasan dan kenyamanan tuk hidup dengan bangsa sesama kami hentikanlah pencarian ini

Lepaskanlah tanganmu dari sayap dan taring yang kau curi dari badan kami yang telah punah ini

Bibir sawah, tempat hanya satu ini tuk berbiak

Tergaduhlah petani padi perihal alih reka untuk merusak panennya

Namun bukan salahnya

Mengapa harus terbakar desir yang bersiul heningkan nuansa mencekam di balik belukar yang terus mengelabang ini?

Andaikan alam dapat menyamudera

agar membenamkan penyulik bintik-bintik burung hantu atau paruh elang hitam itu

Leher pelikan nan bundar, benar takkan bisa disambungkan lagi

Tetapi norma, bunuhlah dia!

Rejamilah mereka hingga mati populasinya agar tak berpolutan lagi alam ini!

Musnahkanlah makhluk leseh itu, biar api hitam pula menghitamkan

Biar kembali mengudara ketenteraman pada mereka

Tanpa harus lagi dibanting atau diburu hanya demi persen rupiah

*) Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2018 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here