
Oleh: Auryn Dzakirah
Setiap tanggal 1 Mei, Indonesia menyaksikan ribuan buruh turun ke jalan. Spanduk-spanduk dibentangkan, yel-yel perjuangan dikumandangkan, dan berbagai tuntutan kembali disuarakan. Namun, dari tahun ke tahun, pertanyaan yang sama terus muncul, mengapa kehidupan buruh masih belum banyak berubah?
Upah minimum terus dinegosiasikan setiap tahun, namun tetap belum sebanding dengan kebutuhan hidup layak. Jaminan sosial belum menjangkau seluruh pekerja. Perlindungan kerja, alih-alih semakin kuat, justru makin rapuh. Ini bukan semata-mata soal kebijakan, melainkan juga soal arah ke mana gerakan buruh Indonesia melangkah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 59% pekerja di Indonesia berada di sektor informal. Artinya, mayoritas buruh bekerja tanpa kontrak tetap, tanpa jaminan kesehatan, tanpa dana pensiun. Mereka hidup dalam ketidakpastian, baik secara ekonomi maupun hukum. Sementara itu, buruh di sektor formal pun tak lepas dari tekanan. Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), fleksibilitas kerja semakin didorong tanpa diimbangi perlindungan yang memadai. Undang-undang ini, menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), “lebih berpihak pada kepentingan investor daripada pada kesejahteraan buruh.”
Dalam kondisi ekonomi yang semakin liberal dan digital, dunia kerja mengalami transformasi cepat. Ekonomi digital tumbuh subur, menghadirkan jenis-jenis pekerjaan baru yang fleksibel namun juga rentan. Pengemudi ojek daring, kurir aplikasi, penulis lepas digital, pekerja konten mereka bekerja tanpa hubungan kerja formal, tanpa perlindungan dari negara atau serikat buruh. Padahal secara substansi, mereka tetap buruh yang menjual tenaga dan waktu demi upah. Namun, gerakan buruh Indonesia masih kesulitan menyatukan kekuatan dari berbagai sektor. Perbedaan jenis pekerjaan membuat buruh pabrik, guru honorer, buruh tani, dan pekerja digital tidak solid. Akibatnya, perjuangan buruh sering terpecah dan hanya fokus pada kelompok masing-masing. Hal ini melemahkan solidaritas dan membuat gerakan buruh kurang berpengaruh secara politik.
Gerakan buruh saat ini masih didominasi oleh tuntutan klasik, yaitu kenaikan upah minimum, penolakan terhadap undang-undang tertentu, dan perlindungan kerja. Semua ini penting. Tetapi dunia kerja telah berubah secara struktural. Maka, gerakan buruh pun harus ikut berubah. Hari Buruh bukan hanya momentum demonstrasi, melainkan juga ruang refleksi bagaimana memperjuangkan hak buruh di era digital, membangun solidaritas lintas sektor, serta menjadikan buruh bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi subjek ekonomi dan politik.
Perjuangan sejati buruh seharusnya tidak hanya sekadar menuntut upah. Buruh harus diperjuangkan sebagai bagian dari pemilik nilai yang mereka hasilkan. Mengapa buruh tidak bisa memiliki bagian dari perusahaan yang mereka bangun setiap hari? Mengapa infrastruktur publik, energi, dan kekayaan alam yang dibiayai dari pajak rakyat justru dikuasai oleh segelintir elite?
Model-model ekonomi alternatif seperti koperasi pekerja, kepemilikan saham oleh karyawan, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan ekonomi seharusnya mulai diperjuangkan secara serius. Di banyak negara, model seperti ini terbukti meningkatkan kesejahteraan pekerja sekaligus memperkuat demokrasi ekonomi. Di Indonesia, koperasi masih dianggap sebagai sektor pinggiran, padahal potensinya besar untuk menjadi jalan ketiga antara kapitalisme liberal dan ekonomi negara yang tersentralisasi.
Aktivis buruh senior, Said Iqbal, pernah mengatakan bahwa “Gerakan buruh harus cerdas, tidak hanya keras.” Hari ini, kata-kata itu semakin relevan. Gerakan buruh harus mulai memikirkan langkah-langkah proaktif. Mereka harus menguasai data, membangun narasi, menjalin aliansi yang luas, dan menanamkan kesadaran kelas di era yang serba individualistik ini.
Perubahan seperti ini tentu tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Namun, langkah awal harus diambil. Gerakan buruh perlu terlibat aktif dalam perumusan kebijakan publik. Dialog sosial antara buruh, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat sipil harus dibuka seluas-luasnya. Negara pun harus berani mendukung model-model ekonomi alternatif, termasuk menyediakan akses permodalan dan perlindungan hukum bagi koperasi pekerja, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta skema kepemilikan karyawan.
Di sisi lain, gerakan buruh juga harus menyadari pentingnya teknologi dan komunikasi digital. Di tengah era media sosial, buruh tak boleh kalah bersuara. Mereka harus mampu memanfaatkan platform digital untuk membangun jaringan solidaritas, menyebarkan narasi perjuangan, dan mengorganisasi gerakan secara lebih efektif. Ini bukan sekadar soal eksistensi, tetapi soal seberapa besar pengaruhnya.
Saatnya buruh tidak hanya menjadi alat produksi. Sudah waktunya buruh menjadi bagian dari kepemilikan. May Day harus menjadi titik balik: dari gerakan yang hanya menuntut, menjadi gerakan yang juga membangun. Dari buruh sebagai objek, menjadi buruh sebagai subjek perubahan.
Sebab keadilan sejati tidak datang dari belas kasihan atau tawar-menawar semata. Ia lahir dari kekuasaan yang dibangun secara kolektif, dari bawah, oleh mereka yang selama ini dipinggirkan oleh sistem. Dan buruh, sebagai mayoritas penduduk produktif di negeri ini, memiliki hak dan potensi untuk menjadi pilar utama dalam membentuk tatanan ekonomi yang lebih adil dan demokratis.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Komentar