(Ilustrasi/ Zahra Nurul Aulia)

oleh:Alya Cintya Dewi*

Kasus seks bebas remaja cukup ramai diperbincangkan di media Indonesia. Perilaku seks bebas merupakan suatu perilaku melepaskan hawa nafsu yang tidak pada tempatnya, tidak ada batasan dan tidak sesuai norma yang berlaku dalam masyarakatadapun pelaku yang masih remaja sepatutnya tidak memiliki pengalaman seksual hubungan di luar pernikahan. Menurut Pangkahila (dalam BKKBN, 2013), perilaku seksual remaja yang tidak sehat di kalangan remaja khususnya remaja yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini dibuktikan dari hasil riset Yayasan Keluarga Berencana (YKB), yang menyatakan bahwa dari 12 kota yang ada di Indonesia  antara 10-31% dari 300 pelajar remaja di setiap kota menyatakan pernah melakukan hubungan seks (BKKBN, 2013).

Dari sudut pandang Antropologi, penting untuk memahami bahwa budaya dan norma-norma sosial memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku seksual remaja. Konstruksi sosial tentang seksualitas, peran gender, dan nilai-nilai moral sangat memengaruhi cara remaja memahami dan berinteraksi dengan seksualitas mereka sendiri. Misalnya, di beberapa budaya, seksualitas masih dianggap sebagai topik tabu dan pembicaraan tentang seks sering dihindari atau dianggap tidak pantas, sementara di budaya luar, pembicaraan terbuka tentang seksualitas lebih diterima.

Di negara kita yaitu Indonesia, nilai-nilai tradisional dan agama masih memegang peranan yang kuat. Perilaku seks bebas dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan moral yang ada. Budaya patriarkis dan norma-norma yang mengatur hubungan antara jenis kelamin seringkali memperkuat pandangan bahwa seksualitas remaja harus dijaga dengan ketat, terutama sebelum menikah.

Namun, terdapat juga dinamika kekuasaan yang perlu diperhatikan dalam menganalisis perilaku seks bebas remaja. Faktor-faktor seperti tekanan dari teman sebaya, pengaruh media sosial dan budaya pop, serta kurangnya pendidikan seksual yang komprehensif dapat mempengaruhi keputusan remaja dalam melakukan seks bebas. Dalam masyarakat yang kurang memberikan pendidikan seksual yang baik, remaja mungkin kurang siap dalam menghadapi tekanan dan tantangan terkait dengan seksualitas mereka.

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah perilaku seks bebas ini, pendekatan yang holistik dan berbasis budaya sangat diperlukan. Upaya pencegahan harus mencakup pendidikan seksual yang komprehensif yang mencakup aspek-aspek seperti anatomi reproduksi, kesehatan reproduksi, persetujuan, dan pengambilan keputusan yang bijaksana. Selain itu, edukasi seks ataupun sosialisasi yang memperkuat nilai-nilai positif tentang hubungan yang sehat, komunikasi terbuka, dan penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain juga penting.

Pendekatan radikal dapat digunakan untuk mengurangi insiden perilaku seks bebas di kalangan remaja. Hafid (2020) mengatakan bahwa radikalisme merupakan sikap atau tindakan untuk melemahkan serta mengubah tatanan yang sudah ada dan menggantinya dengan gagasan atau pemahaman yang baru. Secara tak langsung, dengan pendekatan radikal terhadap krisis seksual remaja menjadi upaya melibatkan pemahaman yang mendalam dengan melihat akar permasalahan serta mempertimbangkan solusi yang melibatkan perubahan fundamental guna melakukan pencegahan dan penanganannya secara kompleks. Dari perspektif antropologi, pendekatan ini mengakui kompleksitas budaya, norma sosial, dan struktur kekuasaan yang membentuk perilaku seksual remaja.

Pertama, pendidikan seksual yang komprehensif dan terintegrasi dalam kurikulum pendidikan formal dan informal. Pendekatan ini harus mencakup informasi yang akurat tentang anatomi reproduksi, kesehatan seksual, kontrasepsi, serta aspek-aspek penting lainnya seperti persetujuan, hubungan yang sehat, dan komunikasi yang efektif. Pendidikan seksual juga harus memperkuat nilai-nilai seperti penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain, serta memberikan keterampilan untuk mengambil keputusan yang bijaksana terkait dengan seksualitas.

Kedua, penting untuk melibatkan komunitas dan keluarga dalam upaya pencegahan. Program-program yang melibatkan orang tua, anggota keluarga, dan pemimpin masyarakat dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung remaja untuk membuat pilihan yang sehat terkait dengan seksualitas mereka. Ini dapat mencakup penyuluhan, diskusi terbuka, dan dukungan emosional untuk remaja.

Ketiga, sosialisasi yang memperkuat norma-norma positif tentang seksualitas dan hubungan yang sehat juga dapat membantu mengurangi perilaku seks bebas. Hal ini dapat dilakukan melalui kampanye-kampanye publik, media sosial, dan kegiatan-kegiatan komunitas yang mempromosikan penghargaan terhadap kesetiaan dalam hubungan, penghormatan terhadap diri sendiri dan orang lain, serta komunikasi yang terbuka dan jujur.

Terakhir, penting untuk memperhatikan faktor-faktor struktural yang mendasari perilaku seks bebas, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan gender, dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan reproduksi. Upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi, memperkuat hak-hak perempuan, dan meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan reproduksi yang terjangkau dan berkualitas juga dapat membantu mengurangi insiden perilaku seks bebas di kalangan remaja.

Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi ini, memperhitungkan berbagai faktor budaya, sosial, dan struktural yang memengaruhi perilaku seksual remaja, kita dapat meminimalisir insiden perilaku seks bebas dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan seksual yang sehat dan positif bagi remaja. Karena dari sudut pandang antropologi, penting juga untuk memahami bahwa solusi untuk masalah perilaku seks bebas tidak dapat bersifat satu solusi cocok untuk semua, melainkan harus memperhitungkan konteks budaya, norma sosial, dan dinamika kekuasaan yang berbeda dalam masyarakat.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here