Oleh: Nabila Ramadani*
Di era digital saat ini, kebebasan untuk berekspresi memungkinkan individu mengunggah konten positif maupun negatif. Akses mudah ke informasi melalui platform digital membuat semua orang berlomba-lomba untuk mencari dan membagikan informasi terbaru mengenai berbagai hal. Perlombaan tersebut ternyata menciptakan berbagai perkembangan bentuk penyampaian informasi, salah satunya adalah melalui meme.
Richard Dawkins memperkenalkan istilah meme dalam bukunya The Selfish Gene yang berasal dari bahasa Yunani mimeme yang berarti mengimitasi atau beradaptasi. Meme merupakan konten digital berbentuk foto, video, ilustrasi, ataupun teks dari hasil ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dengan cepat melalui internet dan biasanya dimodifikasi dengan tujuan menyampaikan sesuatu yang bersifat humoris. Pada perkembangannya sekarang ini, meme tidak hanya dijadikan sebagai bahan hiburan, tetapi juga sebagai bentuk sindiran dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun yang menyangkut dengan politik.
Berdasarkan survei oleh Katadata Insight Center (KIC) pada pertengahan tahun 2025, diketahui bahwa 80,4% generasi muda mengakses informasi politik melalui akun media sosial berita online. Meme yang tersebar di media sosial tidak dipungkiri membuat anak muda sedikit banyaknya mengetahui tentang politik negaranya. Di Indonesia, munculnya akun-akun khusus meme politik telah kembali menarik minat generasi muda yang kurang tertarik membaca berita konvensional. Kehadiran meme membuat politik lebih relatable sehingga mendorong pengetahuan tentang isu terkini tanpa formalitas.
Meme merupakan salah satu bentuk nyata dari budaya populer yang bersifat adaptability dan durability. Salah satu bentuknya adalah unggahan meme yang mulanya hanya berupa foto yang disertai teks, kini telah cepat berkembang menjadi editan video pendek yang bahkan menggunakan wajah pejabat bersangkutan sebagai bahan. Lebih jauh lagi, melalui kecanggihan Artificial Intelligence (AI), wajah dan pakaian para pejabat bisa diubah, serta hasilnya bisa berupa foto maupun video yang tidak sesuai aslinya. Para pembuat meme tidak akan pandang bulu terhadap ‘korban’nya. Tidak peduli apakah dia pejabat level bawah ataukah presiden sekalipun.
Maraknya meme yang menjadikan pejabat sebagai ‘korban’ menjadi sebuah bentuk krisis kehormatan terhadap para pejabat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Apakah kesakralan status pejabat tidak lagi berlaku?” Berkaca pada masa saat internet belum begitu berkembang, para pejabat selalu harus disegani oleh semua elemen masyarakat. Nama mereka disebut dengan hormat, ucapannya menjadi pedoman, dan kehadirannya disambut dengan khidmat. Segala tindakannya dianggap final, jarang dipertanyakan, apalagi diejek. Kritik yang dianggap subversif bisa berujung pada penangkapan, penculikan, atau stigma pengkhianat.
Saat ini, meme bukan hanya sekadar hiburan murahan, ia adalah cermin kritis. Meme lahir karena hasil ucapan, perilaku, dan keputusan yang menimbulkan rasa tidak senang, tidak setuju, serta menjadi media bagi masyarakat yang suaranya tidak didengar melalui jalur formal oleh para pejabat. Kini, pejabat justru menjadi bintang dunia maya yang semua tindakannya disorot dan diejek. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam iklim demokrasi yang sempit, meme menjadi katup penyelamat bagi kritik sosial di tengah kekhawatiran terhadap kriminalisasi melalui UU ITE, ancaman pelaporan, atau stigma antipemerintah. Maraknya meme juga mencerminkan kegagalan komunikasi politik itu sendiri. Para pejabat sering kali berkomunikasi satu arah, elitis, dan penuh jargon kosong.
Namun, di lain sisi, meme bisa mereduksi isu serius menjadi bahan candaan tanpa solusi atau memicu polarisasi jika digunakan untuk menyerang secara personal. Namun, akar masalah sebenarnya tetaplah pada sistem yang membuat rakyat merasa tidak punya pilihan lain selain menertawakan kekuasaan. Jadi, alih-alih marah, pejabat seharusnya bertanya, “Apa yang telah saya lakukan sehingga menjadi bahan tertawaan?” Meme politik menunjukkan kebutuhan akan komunikasi dua arah yang lebih inklusif agar kritik tidak bergantung pada humor murahan.
Meme politik adalah sebuah fenomena di era digital yang memperkuat partisipasi masyarakat sekaligus mengungkap ketidakpuasan yang mendalam, tetapi juga menciptakan risiko tersembunyi. Jika sistem politik dan pejabat tidak belajar dari fenomena ini, meme akan terus berkembang sebagai alat protes. Pada akhirnya, meme bukan hanya sekadar hiburan murahan, melainkan isyarat untuk reformasi bagi sistem dan komunikasi politik.
*Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas







