Oleh: Zaki Latif Bagia Rahman*
Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2025 oleh pemerintah menandai titik balik yang kontroversial dalam sejarah modern Indonesia. Keputusan ini segera membelah opini publik, antara mereka yang melihatnya sebagai pengakuan atas jasa pembangunan, dan mereka yang menilai langkah ini sebagai pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan keadilan sejarah. Nama Soeharto tidak pernah netral. Ia adalah simbol dari era penuh kemajuan sekaligus penderitaan.
Bagi pendukungnya, Soeharto dikenang sebagai Bapak Pembangunan. Ia dianggap berhasil menstabilkan perekonomian Indonesia pasca-kekacauan politik pertengahan 1960-an, menekan inflasi yang pernah mencapai ratusan persen, dan membawa pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7 persen selama dekade 1970–an hingga awal 1990–an. Berbagai proyek strategis seperti swasembada pangan, pembangunan infrastruktur dasar, program transmigrasi, serta modernisasi pertahanan menjadi bukti keberhasilannya.
Sejarawan ekonomi Sri Margana dari Universitas Gadjah Mada pernah menyebut bahwa keberhasilan Soeharto menciptakan birokrasi pembangunan dan kontrol stabilitas politik merupakan fondasi bagi industrialisasi awal Indonesia. Dalam kerangka ini, penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dianggap sebagai penghormatan terhadap kontribusi nyata yang membentuk fondasi negara modern.
Namun di sisi lain, ada realitas sejarah yang jauh lebih kompleks dan tidak bisa dihapus dari ingatan nasional. Rezim Soeharto berdiri di atas fondasi kekuasaan yang represif. Ia memimpin selama 32 tahun dengan sistem politik yang menutup ruang oposisi, membungkam kebebasan berekspresi, dan mengawasi ketat kehidupan masyarakat. Pelanggaran HAM berat mewarnai masa pemerintahannya, mulai dari pembantaian massal pasca-1965 yang menelan ratusan ribu korban, peristiwa penembakan misterius, penculikan aktivis pro-demokrasi menjelang kejatuhannya tahun 1998, hingga berbagai operasi militer di Aceh dan Timor Timur.
Menurut pandangan sejarawan Asvi Warman Adam, setiap upaya menempatkan Soeharto sebagai pahlawan harus memperhitungkan fakta bahwa ia juga merupakan aktor politik yang memimpin rezim dengan pelanggaran HAM sistemik. Ia menegaskan, tidak ada bangsa yang bisa berdamai dengan masa lalunya tanpa terlebih dahulu mengakui kesalahan yang terjadi. Dalam konteks ini, penganugerahan gelar pahlawan sebelum ada penyelesaian kasus pelanggaran masa lalu justru melemahkan upaya rekonsiliasi nasional.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai keputusan ini sebagai bagian dari dinamika politik memori yang tidak pernah selesai. Dalam pandangannya, pemberian gelar tersebut berpotensi menormalkan kembali figur otoriter di tengah masyarakat yang masih berjuang mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Ia menyebut langkah ini bisa menjadi preseden berbahaya yang menandakan bahwa pencapaian ekonomi dapat menutupi catatan pelanggaran kemanusiaan.
Polemik ini pada akhirnya mengarah pada satu pertanyaan mendasar, apakah negara boleh memberikan penghargaan tertinggi kepada sosok yang warisannya masih menyisakan luka sosial dan politik yang dalam? Gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan administratif. Ia adalah simbol moral, penanda nilai, dan teladan yang dijadikan panutan generasi berikutnya.
Apabila penghargaan tersebut diberikan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan tanggung jawab sejarah, negara berisiko kehilangan arah moral. Tidak sedikit aktivis HAM yang menilai langkah ini sebagai bentuk penghapusan memori korban dan keluarga korban. Dalam dua dekade terakhir, berbagai aksi seperti Aksi Kamisan telah menjadi simbol perjuangan mencari keadilan. Mereka bukan menolak pembangunan, tetapi menuntut pengakuan terhadap luka masa lalu yang selama ini diabaikan oleh negara.
Dalam konteks keadilan transisional, langkah pemerintah seharusnya bukan sekadar menimbang jasa pembangunan, tetapi juga mengakui dimensi kemanusiaan. Penghargaan terhadap figur kontroversial seperti Soeharto seharusnya diiringi dengan keberanian membuka arsip sejarah, memulihkan hak-hak korban, serta mengedukasi publik tentang kompleksitas masa lalu. Tanpa itu, bangsa ini berisiko melahirkan generasi yang buta terhadap sejarahnya sendiri.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan juga memperlihatkan bahwa politik simbolik masih menjadi instrumen kuat dalam mengatur narasi sejarah. Gelar ini, selain berfungsi sebagai penghormatan, juga menjadi alat legitimasi politik bagi rezim yang ingin menghubungkan dirinya dengan warisan stabilitas masa lalu. Dengan demikian, penghargaan ini tidak hanya bersifat historis, tetapi juga politis membentuk kembali cara bangsa ini memahami masa lalunya.
Hingga negara mampu secara terbuka menuntaskan persoalan sejarah, mengakui kesalahan, dan memberikan keadilan kepada para korban, maka penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tetaplah langkah yang prematur. Gelar tersebut seharusnya mencerminkan keberanian moral, bukan sekadar keberhasilan ekonomi. Pahlawan sejati adalah mereka yang tidak hanya membangun negara, tetapi juga menjaga martabat kemanusiaan.
Selama luka masa lalu belum disembuhkan dan tanggung jawab moral belum ditunaikan, maka gelar itu akan selalu terasa berat untuk disandang. Dalam bangsa yang ingin maju dan adil, kejujuran terhadap sejarah adalah bentuk penghormatan tertinggi yang bisa diberikan, bukan sekadar penghargaan formal yang menenangkan rasa bersalah kolektif.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas






