Oleh: Zaki Latif Bagia Rahman*
Keputusan mengangkat Marsinah sebagai Pahlawan Nasional merupakan salah satu langkah paling berarti dalam usaha negara memperluas definisi kepahlawanan. Selama puluhan tahun, gelar Pahlawan Nasional sering didominasi oleh tokoh politik, pemimpin militer, atau figur yang berjuang dalam konteks besar seperti kemerdekaan dan konflik negara. Namun, sejarah bangsa tidak hanya dibentuk oleh mereka yang memegang kekuasaan. Ada pula mereka yang bertarung di garis terdepan kehidupan sehari-hari. Para buruh, petani, dan rakyat kecil yang suaranya kerap tenggelam di bawah bisingnya kekuasaan. Marsinah adalah salah satu dari mereka, dan pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional merupakan koreksi moral dan historis yang terlambat, namun tetap signifikan.
Marsinah, seorang buruh perempuan di pabrik arloji PT Catur Putra Surya, memperjuangkan hak-hak pekerja yang bahkan hingga kini masih menjadi persoalan nasional, seperti upah layak, kebebasan berserikat, serta perlakuan manusiawi. Keberaniannya memimpin tuntutan buruh pada Mei 1993 berujung pada penculikan dan pembunuhan yang hingga hari ini meninggalkan luka sejarah yang belum sepenuhnya terobati. Ia bukan aktivis terkenal, bukan tokoh politik, bukan pula figur dari keluarga terpandang. Ia hanyalah seorang buruh perempuan yang berani bersuara. Dalam salah satu catatan terkenalnya, ia pernah menulis “Kami ini tak banyak kehendak, sekadar hidup layak, sebutir nasi.” Kutipan sederhana ini memperlihatkan betapa perjuangan Marsinah bukan tentang ambisi politik, melainkan tentang kebutuhan manusia yang paling dasar.
Para sejarawan menilai pengangkatan Marsinah sebagai langkah penting dalam pergulatan bangsa menghadapi sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia pada masa Orde Baru. Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut Marsinah sebagai “martir gerakan buruh” dan menegaskan bahwa negara seharusnya mengakui perjuangannya sejak lama. Sementara sejarawan JJ Rizal menekankan bahwa pengakuan terhadap Marsinah adalah bentuk keberanian negara untuk menatap masa lalu secara jujur bahwa kekerasan terhadap rakyat kecil harus dianggap sebagai bagian dari sejarah yang tidak boleh dilupakan. Dengan demikian, pengangkatan Marsinah bukan sekadar penghormatan personal, ini adalah pernyataan bahwa negara bersedia memperbaiki narasi sejarah yang selama puluhan tahun dipelintir atau disenyapkan.
Makna dari pengangkatan ini pun lebih luas daripada sekadar simbolik. Bagi generasi muda, Marsinah adalah pengingat bahwa perjuangan untuk demokrasi dan keadilan sosial tidak hanya terjadi di gedung parlemen atau ruang-ruang konferensi besar. Perubahan besar kerap dimulai dari keberanian seseorang yang hadir sebagai “orang biasa”. Dalam catatan puisinya yang lain, Marsinah menulis “Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji. Saya tidak pernah jadi perhatian dalam upacara, dan tidak tahu harga sebuah lencana.” Ironisnya, justru ia kini menerima penghargaan tertinggi dari negara yang dulu gagal melindunginya. Ini adalah pengakuan yang penuh makna, negara akhirnya memberikan lencana bagi seseorang yang tidak pernah membutuhkannya, tetapi sangat layak menerimanya.
Namun, penghargaan ini tidak boleh berhenti pada seremoni belaka. Jika negara benar-benar ingin menghormati Marsinah, maka nilai-nilai yang ia perjuangkan harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Hingga kini, isu ketenagakerjaan masih menjadi tantangan besar: mulai dari upah murah, kontrak kerja tak menentu, kriminalisasi aktivis buruh, hingga lemahnya perlindungan terhadap pekerja perempuan. Pengangkatan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional seharusnya menjadi kompas moral bagi pemerintah, bahwa martabat buruh adalah bagian dari martabat bangsa. Tanpa perbaikan sistemik, penghargaan ini hanya akan menjadi hiasan kosong dalam kalender nasional.
Pada akhirnya, Marsinah memberi kita pelajaran bahwa keberanian tidak mengenal status sosial. Suaranya mungkin dibungkam pada 1993, tetapi gaungnya tidak pernah benar-benar padam. Dengan diangkatnya Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, negara akhirnya mengakui bahwa perjuangan untuk keadilan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa. Marsinah berdiri sebagai bukti bahwa seorang buruh perempuan pun mampu menggetarkan kesadaran nasional. Dan kini, akhirnya, ia diabadikan sebagai pahlawan bagi seluruh rakyat Indonesia.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas






