Oleh : Nia Rahmayuni*
Padang, gentaandalas.com – Wacana redenominasi rupiah kembali menjadi perbincangan hangat setelah Menteri Keuangan Purbaya, Yudhi Sadewa, menyatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan rancangan undang-undang untuk penyederhanaan nominal mata uang. Langkah ini disebut-sebut akan membuat transaksi lebih efisien dengan mengubah nilai Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa mengubah daya beli masyarakat.
Purbaya menegaskan redenominasi bukanlah bentuk pemotongan nilai uang, melainkan penyesuaian angka untuk menyederhanakan sistem keuangan. “Redenominasi itu kebijakan bank sentral dan akan diterapkan sesuai kebutuhan pada waktunya, tidak sekarang atau tahun depan,” ujar Purbaya sebagimana dikutip dari Liputan6.com (10/11/2025).
Meski begitu, berbagai pihak menilai rencana tersebut tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Seorang ekonom dari Universitas Indonesia mengingatkan bahwa kondisi ekonomi saat ini belum cukup kuat untuk mendukung kebijakan sebesar itu. “Redenominasi rupiah tidak menjawab permasalahan ekonomi yang lebih mendasar,” kata seorang ekonom tersebut dalam laporan CNN Indonesia (11/11/2025).
Rencana redenominasi rupiah sebenarnya bukan hal baru. Bank Indonesia telah mewacanakan kebijakan ini sejak 2010, namun terus tertunda karena kondisi ekonomi nasional dan global yang tidak stabil. Pada masa itu, tujuan utama redenominasi adalah menyederhanakan jumlah digit dalam transaksi, memperbaiki efisiensi pencatatan keuangan, serta memperkuat citra rupiah di mata dunia.
Kini, ketika wacana ini kembali muncul, pelaksanaan redenominasi tidak hanya menyangkut perubahan angka pada uang kertas, tetapi juga menyentuh sistem ekonomi, akuntansi, hingga kebiasaan masyarakat dalam bertransaksi.
Laporan di Kompas.com menyebut bahwa kebijakan ini perlu disertai dengan sosialisasi besar-besaran agar masyarakat tidak keliru dalam memahami nilai uang baru. “Perubahan tiga angka nol pada mata uang bukan hanya persoalan teknis, tapi juga psikologis,” tulis laporan tersebut pada (10/11/2025).
Redenominasi memang tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat. Namun dalam praktiknya, potensi kebingungan dan pembulatan harga dapat menimbulkan inflasi kecil pada awal penerapan.
Menurut Kumparan.com (11/11/2025), risiko terbesar justru berada di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Banyak pelaku usaha yang belum memiliki sistem pencatatan digital sehingga penyesuaian harga dan stok akan memakan waktu serta biaya tambahan.
Selain itu, perubahan nominal juga berpotensi menimbulkan spekulasi harga di pasar. “Bila masyarakat belum paham, bisa terjadi lonjakan harga akibat persepsi keliru terhadap nilai uang,” tulis Tirto.id dalam artikelnya berjudul “Apakah Indonesia Pernah Redenominasi Rupiah? Simak Sejarahnya.”
Sementara itu, Bank Indonesia menyatakan bahwa proses redenominasi harus dilakukan secara bertahap, minimal dalam tiga tahap besar yaitu masa peralihan, masa transaksi ganda (uang lama dan baru beredar bersama), dan masa penyesuaian total.
Menurut ahli moneter, proses ini membutuhkan waktu lima hingga tujuh tahun agar seluruh system, mulai dari perbankan, keuangan negara, hingga pendidikan publik dapat beradaptasi. “Redenominasi baru bisa berhasil jika inflasi terkendali dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tinggi,” ujar pengamat ekonomi yang dikutip dari Merdeka.com (11/11/2025).
Namun, sebagian pihak menilai bahwa langkah ini merupakan “resep terakhir” ketika pemerintah sudah kesulitan mengendalikan inflasi melalui kebijakan fiskal biasa. Kompas.id menulis bahwa “redenominasi bisa saja menjadi simbol bahwa pemerintah tidak lagi mampu mengendalikan stabilitas harga dengan cara konvensional.”
Redenominasi rupiah merupakan kebijakan besar yang memerlukan kesiapan penuh dari pemerintah dan masyarakat. Dampaknya akan terasa langsung di pasar, toko, dan dompet setiap warga negara. Oleh karena itu, sosialisasi harus dilakukan secara merata, bukan hanya di kota besar, tetapi juga hingga ke daerah yang masih minim literasi keuangan.
Kebijakan ini memang menjanjikan kemudahan dalam transaksi dan peningkatan citra mata uang nasional. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan publik dalam menerima perubahan tersebut. Pemerintah perlu memastikan bahwa perubahan nominal tidak menimbulkan kebingungan harga, kelangkaan barang, maupun keresahan sosial di masyarakat.
Masyarakat juga perlu aktif memahami arti redenominasi, bukan sekadar mengikuti arus informasi di media sosial. Literasi ekonomi menjadi kunci agar kebijakan ini tidak menimbulkan kesalahpahaman massal.
Redenominasi dapat menjadi simbol kemajuan ekonomi jika dilakukan dengan matang, transparan, dan inklusif. Namun, jika dijalankan tanpa perencanaan yang kuat, kebijakan ini justru berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan terhadap nilai mata uang itu sendiri.
Pada akhirnya, kehati-hatian menjadi fondasi utama. Masyarakat harus waspada, namun juga siap menghadapi perubahan. Sebab, redenominasi bukan sekadar menghapus tiga angka nol, melainkan mengubah cara bangsa ini mempersepsikan nilai uang dan stabilitas ekonominya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas







