Oleh: Nasywa Luthfiyyah Edfa*
Di zaman sekarang batas antara kehidupan nyata dan dunia digital semakin tidak terlihat. Kegiatan seperti belajar, bekerja sampai interaksi sosial kini sering berlangsung di ruang digital. Sosiolog Deborah Lupton menyebut situasi ini sebagai ciri dari masyarakat digital, dimana masyarakat tidak bisa memisahkan kehidupan nyata dengan kehidupan maya.
Dosen Sosiologi, Zeni Eka Putri mengungkapkan bahwa masyarakat digital telah mengalami proses terdigitalisasi, maksudnya kehidupan sehari hari kita saat ini banyak bergantung pada teknologi, terutama media sosial. “Ketika seseorang berinteraksi di dunia nyata, ia secara tidak langsung juga terhubung ke dunia maya, membentuk identitas ganda antara diri fisik dan digital.” Ungkap Zeni saat diwawancarai Genta Andalas pada Rabu (29/10/2025).
Dari sini, muncullah fenomena sosial baru, yaitu echo chamber. Sebelum membahas apa itu echo chamber, kita perlu memahami bahwa ada dua konsep penting yang menjadi akar kemunculan echo chamber ini, yaitu algoritma dan filter bubble. Pertama, algoritma adalah sistem yang mengatur aliran informasi di dunia digital. Algoritma bekerja dengan menyesuaikan apa yang pengguna lihat berdasarkan kebiasaan, minat dan aktivitas pencarian. Misalnya, ketika seseorang mencari sepatu di internet, maka iklan dan konten tentang sepatu akan bermunculan di seluruh media sosialnya, sehingga algoritma ini menciptakan ruang informasi yang disesuaikan dengan preferensi individu.
Dari bagaimana algoritma ini bekerja maka terbentuklah filter bubble, yaitu sebuah “gelembung penyaring” yang hanya menyajikan informasi berdasarkan dengan pandangan dan minat pengguna. Dalam gelembung ini, masyarakat cenderung terpapar pada hal-hal yang diyakini dan disukai, sedangkan pandangan yang berbeda tidak muncul lagi dihadapannya, sehingga mengakibatkan ruang digital masyarakat menjadi homogen dan sempit. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan fenomena echo chamber.
“Echo chamber muncul ketika orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama bersatu dalam satu komunitas digital lalu saling memperkuat opini yang sama. Akibatnya, informasi yang diterima oleh kelompok tersebut hanya berputar di lingkaran yang sama, seperti gema dalam ruangan tertutup,” ujar Zeni menerangkan.
Kondisi ini membuat seseorang sulit menerima dan menilai pandangan yang berbeda serta lebih mudah meyakini informasi yang sebenarnya belum tentu benar. Fenomena echo chamber kini sudah masuk ke berbagai bidang kehidupan masyarakat.
Dalam bidang politik, masyarakat sudah mulai terpolarisasi, akibat dari algoritma media sosial yang hanya memunculkan informasi atau konten dari kubu yang didukung. Istilah seperti anak abah versus gemoy atau cebong versus kampret menunjukkan perselisihan itu, sehingga ruang digital diisi dengan perdebatan serta hujatan antar kelompok. Tanpa literasi digital yang baik, seseorang akan sangat rentan terjebak hoax akibat dari menerima narasi yang sama terus menerus.
Di bidang ekonomi, echo chamber mendorong perilaku konsumtif. Algoritma yang memperlihatkan produk sesuai keinginan dan minat membuat masyarakat ingin membeli barang yang tidak mereka butuhkan, sehingga menciptakan gaya hidup hedonistik dan rasa takut ketinggalan (FOMO).
Di bidang sosial, pola hubungan dan interaksi masyarakat ikut bergeser. Zeni memaparkan bahwa echo chamber ini “mendekatkan yang jauh, tapi menjauhkan yang dekat.” Di zaman sekarang, ketika berinteraksi dengan teman atau orang lain, individu cenderung lebih fokus dengan interaksi digitalnya hingga muncul satu fenomena yaitu phubbing, mengabaikan orang di sekitar karena sibuk dengan ponsel.
Namun, echo chamber tidak hanya mempunyai dampak negatif tapi juga memiliki dampak positif karena algoritma media sosial bisa mempertemukan kita dengan ruang diskusi, komunitas sosial atau kegiatan donasi. Tapi dampak negatifnya tetap perlu kita waspadai agar kita tidak terjebak cara berpikir yang sempit dan homogen.
Ada 3 saran atau cara yang dijelaskan oleh Zeni agar masyarakat khususnya generasi muda tidak terjebak dampak negatif echo chamber ini. Pertama, memperkuat literasi digital, hal ini bertujuan agar kita bisa memilah mana informasi yang benar dan mana yang hoax. Kedua, bergaul atau berinteraksi dengan orang yang berbeda pandangan dengan kita agar memperluas wawasan.
Ketiga, batasi intensitas penggunaan media sosial dengan melakukan sosial media detox, yaitu beristirahat sejenak dari media sosial untuk meredakan pikiran dan mencegah paparan informasi yang berlebihan. Fenomena echo chamber ini mencerminkan bagaimana masyarakat digital membentuk cara berperilaku dan berpikir. Maka, berpikir kritis dan terbuka merupakan hal yang penting agar kita tidak hidup dalam gema pandangan sendiri.
*Penuulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas






