Oleh: Nasywa Luthfiyyah Edfa*
Di tepi Pantai Padang, angin laut berhembus lembut membawa aroma asin dan suara ombak yang berkejaran di pasir putih. Di antara riuh wisatawan dan cahaya senja yang jatuh di permukaan air, berdirilah Masjid Al-Hakim yang megah, putih, dan damai. Dari kejauhan, kubahnya berkilau seperti mutiara yang terjaga. Namun, di balik kemegahan itu, ada tangan-tangan yang bekerja dalam senyap, memastikan setiap sajadah terhampar rapi, setiap lantai berkilau, dan setiap jamaah merasa tenang beribadah.
Mereka adalah para penjaga kebersihan dan ketertiban, wajah-wajah yang jarang disorot namun selalu hadir di balik setiap ketenangan. Salah satunya adalah Efriandi, pria yang telah lama mengabdikan diri di masjid ini. Setiap hari ia bekerja selama dua belas jam, dari pukul sembilan pagi hingga sembilan malam.
Rutinitas yang tampak sederhana, tapi dijalani dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.”Kalau sehari-hari di sini ya bersih-bersih, jaga keamanan, paling melayani jemaah yang datang,” ujarnya saat diwawancarai Genta Andalas pada Selasa (28/10/2025).
Bagi Efriandi, bekerja di tempat ramai bukan hal baru. Sebelumnya, ia sempat bekerja di rumah sakit, lingkungan yang juga menuntut kesabaran dan interaksi dengan banyak orang. Pengalaman itu membuatnya terbiasa menghadapi beragam karakter pengunjung Masjid Al-Hakim. Ketika ditanya apakah ia pernah merasa jenuh dengan pekerjaan yang dijalaninya, Efriandi menggeleng pelan. “Enggak, dibawa happy aja. Yang paling besar di sini kan ibadahnya. Tempat amal ibadah itu di sini,” jawabnya ringan.
Baginya, bekerja di masjid bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga tabungan untuk akhirat. Setiap langkah, setiap usapan pel di lantai, dan setiap senyum yang ia berikan pada jemaah menjadi bagian dari ibadah. Ia menegaskan bahwa bekerja di rumah Allah adalah panggilan, bukan sekadar profesi.
Bagi Efriandi, masjid bukan hanya tempat sholat tapi juga ruang sosial, tempat manusia bertemu, berbagi, dan saling memahami. “Masjid ini tempat bersosialisasi juga. Ada yang datang bareng keluarga, ada juga yang cuma sekadar duduk-duduk lihat sunset, tapi semua bisa dapat ketenangan di sini,” ujarnya sambil tersenyum.
Namun di balik ketenangan itu, ada sisi lain yang kadang membuat hatinya terenyuh. Kurangnya rasa hormat sebagian pengunjung terhadap para petugas yang bekerja. “Kalau kami mengingatkan untuk salat, mohonlah dihargai dengan sopan. Kadang ada yang menolak dengan nada tinggi. Kalau memang ada petugas yang bersikap kurang baik, silakan lapor ke pengurus. Tapi kami di sini hanya ingin mengingatkan,” ungkap Efriandi.
Kalimat-kalimat Efriandi sederhana, tapi mengandung pesan mendalam. Menghargai orang lain, sekecil apa pun pekerjaannya, juga bagian dari ibadah. Selama bertahun-tahun bekerja di Masjid Al-Hakim, banyak kenangan yang berkesan baginya. Dari kedatangan ustadz-ustadz terkenal hingga momen sederhana ketika jemaah merasa senang dan nyaman beribadah.
Semua itu menjadi bagian dari suka duka yang ia jalani dengan tulus.“Masjid ini kami jadikan sebagai motto Masjid yang Dirindukan. Orang datang ke sini semoga senang, nyaman, dan ingin balik lagi,” tutupnya dengan senyum.
Bagi pengunjung seperti Ansor, mahasiswa rantau yang sudah tiga kali datang ke Masjid Al-Hakim, kesan yang melekat bukan hanya pada megahnya bangunan masjid, tapi juga pada keramahan serta kebersihan yang selalu terjaga. “Masjidnya besar dan selalu ramai, apalagi dekat dengan pantai. Tapi yang paling saya perhatikan, petugasnya rajin banget membersihkan pekarangan. Itu yang bikin masjidnya selalu terawat,” ujar Ansor.
Masjid Al-Hakim berdiri megah di tepi pantai, tapi keindahan sejatinya tak hanya pada bangunannya. Ia hidup dari keikhlasan orang-orang seperti Efriandi, yang setiap hari menjaga agar masjid tetap bersih, aman, dan nyaman bagi semua. Di tengah kesibukan dunia, mereka mengajarkan arti ibadah yang sebenarnya yaitu bekerja dengan hati.
*Penulis Merupakan Mahasiwa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas







