Oleh: Alizah Fitri Sudira*
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah woman support woman kian sering muncul di media sosial. Frasa ini dimaknai sebagai dukungan perempuan terhadap sesamanya, khususnya dalam memperjuangkan kesetaraan gender maupun saat menjadi korban kekerasan. Konsep tersebut terdengar ideal: perempuan saling menguatkan agar merasa aman dan nyaman di lingkungannya. Namun, pertanyaannya, apakah nilai woman support woman benar-benar hadir dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya berhenti sebagai jargon?
Faktanya, dalam banyak kasus, perempuan justru lebih sering menghakimi dari pada mendukung sesamanya. Solidaritas biasanya muncul hanya dalam lingkaran pertemanan, sementara dalam kasus pelecehan seksual, justru kerap terdengar komentar seksis dari sesama perempuan. Ucapan bernada menyalahkan korban seperti “kenapa kamu mau?”, “makanya perempuan harus jaga diri,” atau pernyataan merendahkan lainnya, hanya memperkuat stigma negatif yang sudah lama menjerat perempuan.
Tidak hanya dalam kasus kekerasan seksual, fenomena serupa juga terlihat ketika pasangan suami istri belum dikaruniai anak. Tekanan sosial hampir selalu diarahkan kepada istri, seakan-akan masalah kesuburan adalah tanggung jawab sepenuhnya. Padahal, secara medis, penyebabnya bisa berasal dari pihak laki-laki maupun keduanya. Sayangnya, perempuan sering ikut menyalahkan perempuan lain, alih-alih memberikan dukungan.
Fenomena ini menunjukkan adanya internalized misogyny. Dilansir dari kumparan.com, internalized misogyny adalah ketika perempuan mengadopsi pandangan seksis dan mereproduksinya terhadap diri sendiri maupun perempuan lain. Dengan kata lain, perempuan bukan hanya korban patriarki, tetapi juga tanpa sadar ikut menjadi pelaku yang melanggengkannya. Akibatnya, lingkungan sosial menjadi tidak sehat, bahkan beracun bagi perempuan yang berusaha melawan diskriminasi.
Agar woman support woman tidak berhenti menjadi jargon, diperlukan upaya nyata untuk membangun solidaritas antar perempuan. Pertama, menghentikan praktik saling merendahkan dan menggantinya dengan sikap saling menguatkan. Kedua, pendidikan gender sejak dini agar perempuan mampu mengenali dan melawan nilai-nilai patriarki yang telah terinternalisasi. Ketiga, memperluas ruang aman di lingkungan sosial, komunitas, maupun dunia kerja, sehingga perempuan merasa didukung ketika menghadapi diskriminasi atau kekerasan.
Tanda-tanda positif sebenarnya sudah terlihat. Komunitas advokasi korban kekerasan seksual, kampanye edukasi di media sosial, hingga forum diskusi perempuan mulai tumbuh dan memberi ruang bagi praktik solidaritas. Dari langkah sederhana seperti saling percaya, memberikan dukungan emosional, hingga terlibat dalam gerakan memperjuangkan hak-hak perempuan, semua itu membuktikan bahwa solidaritas bukanlah hal mustahil.
Woman support woman tidak boleh berhenti sebagai slogan indah di media sosial. Ia harus menjadi budaya yang hidup, sebuah kebiasaan kolektif yang menumbuhkan keberanian perempuan untuk saling menopang. Dengan persatuan semacam ini, belenggu patriarki bisa dilemahkan, dan jalan menuju kesetaraan semakin terbuka lebar.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas