Padang, gentaandalas.com- Pengadaan Alat Laboratorium Sentral dan Prodi Universitas Andalas (UNAND) tahun anggaran 2019 dikorupsi, mantan Wakil Rektor 1 bersama 11 tersangka lain rugikan keuangan negara 3,57 miliar Rupiah.
Fakta ini terungkap berdasarkan putusan Nomor 11/Pid.Pra/2025/PN Pdg yang diajukan Dachriyanus, WR I Bidang Akademik 2016-2020, terkait cacat prosedur penyidik atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Namun, Hakim Jimmi Hendrik Tanjung menolak permohonan Guru Besar Farmasi tersebut pada Selasa (8/7/2025) di Pengadilan Negeri Padang.
Kasus korupsi bermula dari investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor 69/LHP/XXI/11/2024 tertanggal (19/11/2024). Dalam audit BPK, ada selisih harga atas dugaan mark up, dan indikasi pelanggaran prosedur pengadaan yang menimbulkan kerugian negara senilai Rp3.571.692.735,20.
Penyidik Satreskrim Kepolisian Resor Kota (Polresta) Padang menaikkan status kasus ke tahap penyidikan pada Mei 2024. Selanjutnya, pada (14/4/2025), penyidik bersama Ditreskrimsus Polda Sumbar menggelar ekspose perkara dan memutuskan menetapkan 12 orang tersangka. Di antara nama-nama tersangka yang terungkap dalam dokumen praperadilan, selain Dachriyanus, ada nama Ampera Warman yang disebut dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tertanggal (14/5/ 2024). Selain pejabat UNAND, tersangka juga berasal dari pihak penyedia alat, termasuk CV Tri Karya dan PT Ditek Jaya, yang disebut dalam dokumen kontrak dan penawaran harga.
Proyek pengadaan alat anggaran tahun 2019 ini memiliki nilai kontrak sebesar Rp5,87 miliar, dengan CV Tri Karya sebagai penyedia utama. Dalam berkas putusan, terdapat sejumlah dokumen terkait termasuk Quotation Nomor QDA 19101411 tertanggal (14/10/2019) dan Purchase Order Nomor 2501/PO/TK/X/19 tertanggal (29/10/2019) dengan nilai mencapai Rp3,65 miliar. Penyidik menduga adanya rekayasa dokumen, mark up harga, dan penyalahgunaan kewenangan dalam penunjukan penyedia tersebut.
Dachriyanus berupaya melawan status tersangkanya dengan mengajukan praperadilan pada (9/6/2025) karena menurutnya penetapan statusnya sebagai tersangka cacat prosedur karena penyidik dianggap melanggar kesepakatan nasional antara Presiden, Jaksa Agung, Kapolri, dan BPK tahun 2015. Menurut Dachriyanus, pihak UNAND seharusnya diberikan waktu 60 hari untuk menindaklanjuti temuan BPK sebelum dilakukan proses pidana. Tak hanya itu, ia menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kewenangan langsung dalam pengadaan alat, karena posisinya hanya sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik dan bukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Dilain sisi, Hakim Jimmi Hendrik Tanjung menilai penyidik telah memiliki lebih dari dua alat bukti sah, termasuk hasil audit BPK-RI, keterangan saksi dari pejabat UNAND dan pihak vendor, keterangan dua ahli, serta dokumen-dokumen resmi pengadaan. “Permohonan Pemohon tidak beralasan hukum dan oleh karenanya ditolak untuk seluruhnya,” bunyi amar putusan Hakim Jimmi.
Atas kasus korupsi ini, Dachriyanus terancam Pasal 2 Jo Pasal 3 Jo Pasal 15 Jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan pidana penjara Pasal 2 paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), serta Pasal 3 pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Reporter: Fadhilatul Husni dan Zulkifli Ramadhani
Editor: Redaksi