Oleh: Tantri Pramudita*
Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengumumkan penurunan tingkat kemiskinan nasional per Maret 2025 menjadi 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta jiwa. Garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, yang jika dibagi rata setara Rp 20.305 per hari. Angka ini kemudian ramai diperbincangkan di media sosial, karena dimaknai seolah-olah siapa pun yang mampu membelanjakan lebih dari Rp 20 ribu per hari tidak lagi tergolong miskin. Narasi sederhana ini terdengar masuk akal, tetapi justru berbahaya karena menyederhanakan realitas kemiskinan yang jauh lebih kompleks.
BPS memang menegaskan bahwa garis kemiskinan dihitung per bulan, bukan per hari. Pembagian ke angka harian hanya untuk mempermudah pemahaman publik. Namun, di lapangan, penyederhanaan ini melahirkan persepsi keliru seakan-akan hidup layak bisa dicapai hanya dengan Rp 20 ribu per hari. Padahal, perhitungan garis kemiskinan hanya berbasis pada kebutuhan kalori minimal dan kebutuhan non-makanan yang sangat terbatas. Biaya transportasi, sewa rumah, pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan sosial sama sekali tidak terakomodasi penuh dalam angka itu.
Mari ambil contoh sederhana. Di kota besar seperti Jakarta, Rp 20 ribu bahkan tidak cukup untuk ongkos sekali jalan. Di daerah lain, harga kebutuhan pokok terus melonjak seiring inflasi. Sulit dibayangkan seseorang yang hanya membelanjakan sedikit di atas Rp 20 ribu per hari bisa dikategorikan “tidak miskin.” Kondisi ini membuat standar garis kemiskinan versi pemerintah menuai kritik, baik dari akademisi maupun ekonom.
Salah satu suara kritis datang dari Prof. Ali Khomsan (IPB University), yang menilai garis kemiskinan Rp 600 ribu per bulan terlalu rendah dibanding kebutuhan riil masyarakat. Menurutnya, indikator itu seharusnya mencakup komponen non-makanan yang menentukan kualitas hidup. Pandangan ini sejalan dengan standar internasional. Bank Dunia, misalnya, menetapkan ambang kemiskinan untuk negara berpenghasilan menengah ke atas sebesar US$ 6,85 per hari atau sekitar Rp 115 ribu. Dengan patokan ini, sekitar 68 persen penduduk Indonesia masih tergolong miskin atau rentan miskin berbeda jauh dengan klaim resmi pemerintah.
Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan: apakah angka kemiskinan benar-benar turun, atau kita sekadar mengubah cara menghitungnya? Penurunan kemiskinan di atas kertas memang patut diapresiasi jika dibarengi dengan perbaikan nyata di lapangan. Namun, jika indikatornya terlalu longgar, hasilnya hanyalah ilusi statistik. Bahayanya, pemerintah bisa merasa puas dengan capaian semu sehingga mengurangi urgensi memperjuangkan upah layak, memperluas bantuan sosial, atau memperbaiki akses layanan publik.
Ada beberapa langkah yang seharusnya ditempuh pemerintah. Pertama, merevisi definisi garis kemiskinan dengan pendekatan biaya hidup layak (living wage) yang mencakup pendidikan, transportasi, kesehatan, dan tempat tinggal. Kedua, membagi kategori kemiskinan menjadi lebih berlapis miskin ekstrem, miskin, rentan miskin, hingga menengah bawah agar kebijakan lebih tepat sasaran. Ketiga, menyelaraskan standar nasional dengan standar internasional demi transparansi dan perbandingan global.
Kemajuan bangsa tidak hanya diukur dari angka statistik, melainkan dari perbaikan nyata yang dirasakan rakyat. Rp 20 ribu per hari mungkin cukup untuk membeli makanan sederhana, tetapi jelas tidak cukup untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. Selama masih ada warga yang harus memilih antara makan atau berobat, atau orang tua yang mengorbankan pendidikan anak demi kebutuhan sehari-hari, maka kemiskinan masih jauh dari selesai. Angka boleh turun, tetapi tugas kita mengentaskan kemiskinan baru tuntas jika standar pengukuran realistis dan kebijakan benar-benar berpihak kepada rakyat.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik