
Oleh: Ulya Nur Fadilah*
Festival Tabut kembali digelar setiap 1–10 Muharram sebagai salah satu kekayaan budaya Nusantara yang sarat nilai sejarah, religius, dan sosial. Tradisi ini merupakan bentuk penghormatan atas gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husein bin Ali, di Padang Karbala pada tahun 680 M. Tidak sekadar ritual, Tabut memuat pesan pengorbanan, kesetiaan, serta perlawanan terhadap ketidakadilan, sekaligus berkembang menjadi pesta budaya rakyat yang mempersatukan masyarakat dan menarik wisatawan.
Data Kemenparekraf 2025 mencatat, Festival Tabut menarik lebih dari 200 ribu pengunjung, melibatkan sekitar 400 UMKM, dan menghasilkan perputaran ekonomi hingga Rp 21 miliar. Festival ini juga masuk dalam kalender Karisma Event Nusantara, menegaskan posisinya sebagai agenda wisata unggulan Bengkulu. Namun, keseimbangan antara makna sakral dan nilai pariwisata menjadi tantangan yang harus dijaga agar tradisi tidak kehilangan ruh spiritualnya.
Secara resmi, Tabut telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTb) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Status ini memperkuat posisinya sebagai identitas budaya daerah sekaligus kebanggaan nasional.
Asal-usul Tabut di Bengkulu berawal dari kedatangan Muslim keturunan India Selatan, khususnya Tamil, pada abad ke-17. Mereka membawa tradisi memperingati peristiwa Asyura dengan membuat bangunan menyerupai menara yang disebut “Tabut”. Seiring waktu, ritual ini berakulturasi dengan budaya lokal Bengkulu. Awalnya bernuansa Syiah, namun kemudian berkembang menjadi tradisi masyarakat setempat dengan nuansa Islam yang lebih umum. Kini, Tabut tidak hanya dijalankan keluarga keturunan Tabut, melainkan dirayakan luas oleh masyarakat.
Festival Tabut berlangsung sepuluh hari dengan sejumlah prosesi sakral. Tahapan dimulai dengan Ngambik Tanah, mengambil segumpal tanah dari lokasi sakral. Dilanjutkan Duduk Penja, pertemuan keluarga Tabut yang menjaga pusaka berbentuk tangan manusia, simbol pengorbanan Karbala. Ada pula Arak Sorban, mengarak sorban leluhur keluarga Tabut keliling kota. Puncaknya adalah arak-arakan Tabut berbentuk menara megah dengan tabuhan musik tradisional dhol, lalu ditutup dengan prosesi Tabut Terbuang, yakni menghantarkan tabut ke rawa sebagai simbol pengembalian arwah.
Menariknya, hanya keluarga Tabut yang berhak melaksanakan ritual inti, sementara masyarakat umum berpartisipasi lewat kegiatan seni, bazar, dan hiburan rakyat.
Tabut tidak hanya bernilai estetika, tetapi juga sarat filosofi. Kisah gugurnya Husein di Karbala menjadi teladan keberanian dan perjuangan melawan tirani. Festival ini juga menumbuhkan solidaritas sosial karena dipersiapkan bersama oleh keluarga Tabut, seniman, dan masyarakat. Dengan demikian, Tabut menjadi sarana pendidikan moral, spiritual, sekaligus simbol persatuan.
Selain di Bengkulu, peringatan serupa juga ada di Pariaman, Sumatera Barat, melalui tradisi Tabuik. Keduanya sama-sama memperingati tragedi Karbala, tetapi berbeda dalam bentuk. Tabut Bengkulu dijaga ketat oleh keluarga Tabut dengan prosesi sakral yang berakhir di rawa, sementara Tabuik Pariaman lebih meriah, terbuka untuk umum, dan ditutup dengan pelarungan tabut ke laut Pantai Gandoriah.
Perbedaan ini mencerminkan dinamika akulturasi budaya di Nusantara. Tabut Bengkulu tampil sebagai ritual sakral penuh religiusitas, sedangkan Tabuik Pariaman berkembang sebagai festival rakyat yang semarak.
Di tengah arus modernisasi, Festival Tabut membuktikan bahwa tradisi lokal mampu bertahan sekaligus memberi energi baru bagi identitas bangsa. Jika dikelola dengan bijak, Tabut bukan hanya ikon budaya Bengkulu, tetapi juga berpotensi menjadi warisan dunia yang memperkenalkan Indonesia sebagai bangsa religius, inklusif, dan kaya tradisi.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas