• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Senin, 18 Agustus 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Aspirasi

Sekolah Rakyat, Antara Terobosan dan Tambalan Darurat

oleh Redaksi
Minggu, 17 Agustus 2025 | 20:55 WIB
di Aspirasi, Karya Calon Anggota
0
(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

ShareShareShareShare
(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

Oleh: Tantri Pramudita*

Pertengahan 2025, pemerintah meluncurkan program Sekolah Rakyat sebagai upaya khusus untuk memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem. Program ini bukan inisiatif komunitas akar rumput seperti yang pernah hadir di masa Orde Lama, melainkan program resmi yang dirancang oleh pemerintah pusat sebagai bagian dari strategi percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem. Program ini diatur melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 dan dijalankan bersama Kementerian Sosial, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), serta pemerintah daerah.

Berbeda dengan sekolah formal biasa, Sekolah Rakyat menggunakan model berbasis asrama. Semua biaya, termasuk pendidikan, seragam, buku, makan, tempat tinggal, hingga pembinaan karakter, diberikan secara gratis. Dengan sasaran utamanya adalah anak-anak dari desil 1 dan 2 Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), yang ditujukan bagi mereka yang berada di kategori ekonomi paling rendah. Program ini secara teknis adalah bentuk layanan pendidikan afirmatif, seperti halnya Program Indonesia Pintar (PIP), tapi dalam skala dan pendekatan yang lebih komprehensif. Dalam peluncuran resminya pada 14 Juli 2025, sebanyak 6.100 siswa mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di 63 titik lokasi. Targetnya, pemerintah akan membuka 100 lokasi pada 2025 dan berkembang hingga 200 lokasi dengan kapasitas 20.000 siswa sebelum akhir tahun.

Data Kementerian Sosial menunjukkan, hingga pertengahan 2025, masih ada 227 ribu anak usia SD, 499 ribu anak usia SMP, dan 3,4 juta anak usia SMA yang belum bersekolah. Banyak di antara mereka putus sekolah karena kendala biaya, jarak, atau kurangnya fasilitas di daerah terpencil. Maka Sekolah Rakyat menjadi jaring pengaman terakhir agar anak-anak ini tidak sepenuhnya kehilangan haknya atas pendidikan. Dengan sistem multientry, multiexit, siswa bisa masuk kapan saja dan lulus ketika kompetensi tercapai, dengan ijazah setara sekolah formal.

Tidak ada yang menyangkal bahwa program ini menyentuh kelompok masyarakat yang paling membutuhkan. Ia menjawab kesenjangan pendidikan yang selama ini tidak terjangkau sekolah biasa. Namun dibalik itu, muncul pertanyaan kritis: Mengapa pemerintah memilih membuat jalur pendidikan baru, bukannya memperkuat sekolah formal yang sudah ada agar lebih inklusif? Jika sekolah formal bisa diakses tanpa hambatan biaya, dengan fasilitas dan guru berkualitas yang merata hingga pelosok, bukankah Sekolah Rakyat tidak perlu ada? Keberadaan program ini, meskipun penting, juga menjadi pengakuan bahwa sistem pendidikan nasional kita masih belum adil bagi semua.

mengapa negara merasa perlu menciptakan sistem baru, dan bukan memperbaiki yang sudah ada? Sistem pendidikan formal di Indonesia memang tidak sepenuhnya gagal. Tapi dalam praktiknya, akses terhadap pendidikan berkualitas masih sangat timpang terutama bagi masyarakat di pelosok dan yang hidup dalam kemiskinan ekstrem. Jangankan untuk membayar seragam, banyak keluarga tidak mampu menyediakan uang transport ke sekolah atau bahkan akta kelahiran untuk syarat masuk. Maka dari itu, Sekolah Rakyat lahir bukan sebagai saingan sekolah biasa, tapi sebagai jaring pengaman terakhir agar tidak ada anak yang benar-benar kehilangan kesempatan belajar.

Meski begitu, kita tetap perlu mengkritisi beberapa hal. Apakah dengan hadirnya Sekolah Rakyat, pemerintah jadi merasa “selesai” menangani persoalan pendidikan? Apakah ini akan menjadi program jangka panjang, atau hanya proyek transisi?

Sekolah Rakyat sebaiknya diposisikan sebagai program transisi, bukan permanen. Pemerintah harus memastikan bahwa anak-anak dari program ini nantinya bisa masuk ke sistem pendidikan formal tanpa hambatan. Reformasi pendidikan nasional, dengan peningkatan anggaran pendidikan, pemerataan fasilitas, dan pelatihan guru, tetap harus menjadi prioritas utama. Sebagai mahasiswa, saya melihat bahwa Sekolah Rakyat adalah upaya darurat yang penting, tapi bukan jawaban jangka panjang. Yang dibutuhkan Indonesia adalah reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan formal dengan memperluas akses, memperbaiki mutu guru, membangun sekolah di daerah terpencil, dan menjamin setiap anak baik miskin atau kaya, mendapat layanan yang sama baiknya. Karena pendidikan bukan semata-mata soal belajar membaca dan berhitung, tetapi tentang keadilan sosial dan masa depan bangsa.

Sekolah Rakyat memang membawa solusi cepat, tapi juga berisiko menciptakan sistem pendidikan dua kelas: sekolah formal untuk yang mampu dan sekolah khusus untuk yang miskin. Jika tidak diawasi, perbedaan ini dapat memicu stigma sosial bahwa Sekolah Rakyat adalah “sekolah kelas dua”. Efek samping yang mengintai dari pendekatan semacam ini adalah munculnya dua jalur pendidikan: satu untuk yang mampu, dan satu lagi untuk yang tidak. Jika tidak hati-hati, ini bisa menjadi bentuk pengkastaan dalam dunia pendidikan. Sekolah Rakyat memang dirancang untuk inklusi, tapi bisa berujung pada pemisahan kelompok jika tidak diintegrasikan secara adil ke dalam sistem pendidikan nasional.

Pemerintah juga perlu lebih transparan soal pengawasan kurikulum, kualitas pengajar, serta integrasi hasil pendidikan ini ke jenjang berikutnya atau dunia kerja. Jangan sampai Sekolah Rakyat hanya menjadi tempat “penampungan” sosial, tanpa memberi bekal yang cukup bagi siswa untuk bersaing di dunia nyata. Kualitas kurikulum, tenaga pengajar, dan fasilitas harus dijaga agar setara atau bahkan lebih baik daripada sekolah formal. Tanpa itu, niat baik bisa berubah menjadi bentuk diskriminasi terselubung.

Sekolah Rakyat adalah langkah positif yang tidak bisa diabaikan. Tapi jika pemerintah puas berhenti di sini, kita akan selamanya terjebak dalam siklus tambal sulam kebijakan. Pendidikan yang merata dan berkualitas seharusnya menjadi hak semua anak, tanpa memandang status ekonomi. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal belas kasihan, tetapi keadilan.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Label: IndonesiapemerintahSekolah Rakyat
BagikanTweetBagikanKirim

Baca Juga

Mendaki Gunung: Antara Eksistensi dan Keselamatan

Mendaki Gunung: Antara Eksistensi dan Keselamatan

Senin, 18 Agustus 2025 | 11:56 WIB
Ngopi di Kafe, Antara Ilusi Kerja dan Ajang Gaya

Ngopi di Kafe, Antara Ilusi Kerja dan Ajang Gaya

Minggu, 17 Agustus 2025 | 21:33 WIB
Bendera Fiksi, Luka Asli Demokrasi

Bendera Fiksi, Luka Asli Demokrasi

Minggu, 17 Agustus 2025 | 18:23 WIB
Ketika Generasi Muda Kehilangan Harapan di Negeri Sendiri

Ketika Generasi Muda Kehilangan Harapan di Negeri Sendiri

Minggu, 17 Agustus 2025 | 14:30 WIB
Larangan Akun Ganda, Pertarungan Privasi dan Regulasi

Larangan Akun Ganda, Pertarungan Privasi dan Regulasi

Minggu, 17 Agustus 2025 | 14:18 WIB
Royalti Musik: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Usaha

Royalti Musik: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Usaha

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 16:40 WIB

TERPOPULER

  • Ketika Generasi Muda Kehilangan Harapan di Negeri Sendiri

    Ketika Generasi Muda Kehilangan Harapan di Negeri Sendiri

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Bendera Fiksi, Luka Asli Demokrasi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Larangan Akun Ganda, Pertarungan Privasi dan Regulasi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Royalti Musik: Antara Perlindungan Hak Cipta dan Beban Usaha

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Ngopi di Kafe, Antara Ilusi Kerja dan Ajang Gaya

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak