
Oleh: Meuthya Ghaniya Dwi Putri*
Di hampir setiap kota, kafe sekarang selalu dipenuhi oleh anak muda. Mereka datang membawa laptop, buku catatan, atau tablet mereka, bukan hanya untuk belajar, tetapi juga untuk bersenang-senang sambil mengambil foto suasana sekitar. Ini membuat kita bertanya-tanya apakah kafe sebenarnya lebih dilihat sebagai tempat kerja yang efektif atau hanya sebagai tempat untuk menunjukkan gaya hidup anak muda. Ini adalah pertanyaan yang penting karena kebiasaan nongkrong di kafe bukan hanya tentang santai, tapi juga mencerminkan perubahan sosial yang berkaitan dengan kelas, cara konsumsi, dan pencarian identitas diri.
Secara ilmiah, ada alasan mengapa kafe bisa menjadi pilihan baik untuk bekerja. Dikutip dari IDN Times, mengungkapkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kebisingan khas di kafe sekitar 70 desibel dapat membantu meningkatkan fokus dan daya kreativitas. Banyak pekerja merasa lebih produktif saat berada di kafe karena rumah mereka terlalu ramai atau kantor terlalu banyak gangguan. Dari sudut pandang ini, kafe menjadi pilihan logis karena menawarkan suasana yang berbeda, fasilitas yang baik, dan interaksi sosial yang bisa memberikan semangat.
Namun, jika kita lihat lebih dalam, kafe juga telah berubah menjadi tempat untuk berbelanja gaya hidup. Desain interior yang menarik, menu yang harganya bisa lebih mahal, dan suasana yang bisa diunggah ke Instagram jelas tidak hanya diciptakan untuk bekerja, tapi juga untuk menunjukkan status. Bekerja di kafe jadi semacam tanda bahwa seseorang termasuk dalam kelompok urban modern yang memiliki uang lebih untuk “membeli” suasana kerja yang kreatif. Ini menimbulkan pertanyaan lain, apakah kita benar-benar menjadi lebih produktif, atau apakah kita hanya membeli ilusi produktivitas dengan segelas latte yang harganya Rp40 ribu?
Inilah sisi lain yang sering diabaikan. Kebiasaan nongkrong di kafe tidak muncul tanpa alasan, melainkan tumbuh dalam budaya konsumsi yang membuat seolah-olah produktivitas harus dibeli. Bagi beberapa orang, bekerja dari kafe sekarang bukan hanya soal menyelesaikan pekerjaan, tetapi sudah menjadi bagian dari citra diri mereka. Ironisnya, banyak yang mau mengeluarkan ratusan ribu rupiah setiap bulan hanya untuk suasana yang dikatakan lebih mendukung fokus, padahal fokus bisa saja diperoleh tanpa mengeluarkan uang, asalkan dengan disiplin dan kesadaran diri.
Oleh karena itu, bekerja di kafe harus dipandang sebagai fenomena sosial yang memiliki dua sisi. Ada sisi ilmiahnya, tetapi juga ada sisi yang mendorong konsumsi berlebihan. Anak muda harus lebih kritis untuk menilai apakah benar kafe membantu mereka menjadi lebih produktif, atau apakah mereka hanya menjadi konsumen setia dari industri gaya hidup yang pandai menjual suasana. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah tempat kita bekerja, tetapi cara kita bekerja. Kafe bisa memberikan dukungan, tetapi jika motivasi kita hanya untuk penampilan di media sosial, maka produktivitas yang kita banggakan hanyalah ilusi.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik