
Oleh: Ulya Nur Fadilah*
Wacana pelarangan penggunaan akun kedua di media sosial muncul dari usulan Anggota Komisi I DPR, Soleh. Ia menilai akun ganda sering disalahgunakan untuk kepentingan negatif, seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, hingga operasional buzzer yang tidak bertanggung jawab. Dalam pandangannya, keberadaan akun kedua dapat merusak ekosistem informasi digital dan berpotensi menjadi alat manipulasi opini publik. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar revisi Undang-Undang Penyiaran memuat ketentuan larangan bagi platform digital untuk memfasilitasi pembuatan akun ganda, baik untuk individu, lembaga, maupun perusahaan
Dikutip dari sulsel.herald.id, Meta perusahaan induk Facebook dan Instagram menegaskan bahwa aturan internal mereka memang melarang akun palsu atau peniruan identitas. Namun, Meta juga mengakui bahwa sepenuhnya menghilangkan akun ganda bukanlah hal mudah. Secara teknis, platform media sosial sulit memastikan satu orang hanya memiliki satu akun tanpa verifikasi identitas yang ketat, dan hal ini sering kali berbenturan dengan perlindungan privasi pengguna.
Pendukung kebijakan pelarangan berpendapat bahwa langkah ini akan mengurangi penyalahgunaan media sosial untuk manipulasi opini publik, menekan operasi buzzer, serta mempermudah penegakan hukum dalam pelacakan pelanggaran. Dengan membatasi identitas digital hanya pada satu akun resmi, diharapkan terwujud lingkungan media sosial yang lebih sehat, transparan, dan akuntabel.
Namun, penolakan juga datang dari pihak yang melihat akun kedua sebagai bentuk perlindungan privasi dan ruang aman berekspresi. Banyak orang menggunakan akun tambahan untuk memisahkan kehidupan pribadi dan profesional, menjaga keamanan diri, atau berinteraksi di komunitas tertentu tanpa takut dikomentari secara langsung. Pelarangan akun ganda juga dinilai berpotensi membatasi kebebasan berekspresi dan justru mendorong pengguna mencari jalur ilegal untuk mempertahankan anonimitas mereka. Dikutip dari theguardian.com, pengalaman di negara lain, seperti kebijakan pembatasan media sosial bagi remaja di Australia, menunjukkan bahwa regulasi ketat yang tidak dibarengi literasi digital hanya akan membuat pengguna mencari celah, tanpa menyelesaikan masalah inti seperti penyebaran konten berbahaya atau rendahnya kesadaran digital.
Secara teknis, platform besar seperti Meta dan TikTok memang memiliki kebijakan melarang akun ganda. Namun, kenyataannya di lapangan masih banyak celah dalam pelaksanaannya. Meta, misalnya, menegaskan bahwa mereka memprioritaskan pengguna autentik dan akan segera menindak akun tidak asli. Meski begitu, mereka juga mengakui kesulitan mencegah sepenuhnya adanya akun ganda di platform. Hal ini mencerminkan adanya jurang antara kebijakan dan implementasi.
Dari sisi sosial, banyak pengguna memerlukan akun tambahan untuk berbagai keperluan positif, seperti akun khusus keluarga, hobi, bisnis, atau menjaga privasi dalam hubungan profesional maupun komunitas tertentu. Oleh karena itu, solusi yang lebih proporsional adalah menggabungkan regulasi moderat dengan edukasi digital.
Selain itu, data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa Meta berhasil menindak hampir 297.736 dari 309.369 laporan konten negatif. Hal ini menandakan efektivitas moderasi konten jika sistem pelaporan bekerja dengan baik. Fakta tersebut memperkuat argumen bahwa kolaborasi antara regulator, platform, dan masyarakat bisa lebih efektif daripada pelarangan mutlak.
Secara keseluruhan, pelarangan akun ganda memang didasari niat baik untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan akuntabel. Namun, praktiknya memerlukan pendekatan multidimensi, memperkuat moderasi dan sistem verifikasi dengan cara yang proporsional, sambil memperluas program literasi digital agar masyarakat mampu menjaga privasi dan berpikir kritis secara mandiri. Kombinasi ini lebih realistis dalam menciptakan ekosistem media sosial yang aman, inklusif, dan menghormati kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pelarangan akun kedua di media sosial memang memiliki tujuan baik. Akan tetapi, penerapannya perlu pertimbangan matang dari sisi teknis, hukum, dan etika. Alih-alih sekadar melarang, pendekatan yang lebih seimbang dapat dilakukan, seperti mewajibkan verifikasi identitas secara proporsional, memperketat moderasi serta pelaporan konten yang melanggar, dan meningkatkan literasi digital masyarakat agar pengguna mampu mengelola identitas online mereka secara sehat dan bijak.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas