• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Kamis, 2 Oktober 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Aspirasi

Bendera Fiksi, Luka Asli Demokrasi

oleh Redaksi
Minggu, 17 Agustus 2025 | 18:23 WIB
di Aspirasi, Berita, Karya Calon Anggota
0
(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

ShareShareShareShare

Oleh: Tantri Pramudita*

Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, media sosial diramaikan oleh gerakan simbolik yang tak biasa, yaitu pengibaran bendera bajak laut Jolly Roger dari serial anime populer, One Piece. Fenomena ini berkembang secara organik yang dilakukan oleh komunitas penggemar anime sebagai bentuk ekspresi budaya pop serta ingin merayakan “semangat kemerdekaan”, dan bahkan sebagai bentuk protes diam terhadap kondisi politik Indonesia hari ini bagi sebagian masyarakat. Namun yang mengejutkan adalah respons pemerintah yang jauh dari biasa. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, menyatakan bahwa tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penghinaan simbol negara dan bahkan akan dibawa ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengingatkan bahwa kesakralan HUT RI tidak boleh ternodai simbol non-negara seperti One Piece. Ia menghormati kreativitas, tapi menegaskan bahwa jika dipakai dalam konteks yang menodai perayaan kemerdekaan, itu menjadi masalah.

Respon ini menimbulkan tanda tanya, mengapa sebuah bendera fiksi yang dikibarkan oleh warga sipil, yang kebanyakan di pekarangan pribadi atau ruang digital, bisa dianggap ancaman nasional, sampai perlu intervensi internasional?

Pengibaran bendera One Piece bukan sekadar untuk bergaya ataupun euforia budaya pop. Banyak dari masyarakat, terutama generasi muda, melihat simbol bajak laut ini sebagai sindiran kreatif, sindiran atas watak pemerintahan yang mereka anggap semakin antikritik dan represif, terutama setelah banyak demonstrasi dibubarkan dan pasal-pasal karet digunakan untuk membungkam kritik.

Menurut data SAFEnet dan KontraS, sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025 terjadi peningkatan pembatasan kebebasan berekspresi, termasuk pembubaran aksi, intimidasi terhadap mahasiswa, serta penggunaan pasal-pasal karet. Ketika ruang berpendapat menyempit, simbol menjadi bahasa alternatif. Maka tidak mengherankan bila simbol bajak laut, seperti Jolly Roger, yang dalam kisahnya mewakili semangat perlawanan terhadap kekuasaan korup dan tirani serta melawan ketidakadilan dan menegakkan solidaritas, diangkat sebagai bentuk perlawanan terhadap negara yang semakin sulit dikritik.

Pemerintah mengacu pada Pasal 24 huruf a UU No. 24 Tahun 2009 tentang bendera dan simbol negara, yang mengatur larangan memperlakukan simbol negara secara tidak hormat. Namun, hukum tidak boleh dilepaskan dari konteks. Tidak ada bukti bahwa pengibaran bendera ini dilakukan bersamaan atau lebih tinggi dari Merah Putih dalam upacara resmi. Apalagi banyak dilakukan di ruang pribadi atau sebagai tren daring, bukan di tiang resmi upacara kenegaraan, atau bahwa tujuannya murni merendahkan negara.

Menteri HAM menyatakan bahwa larangan ini selaras dengan prinsip HAM internasional, terutama soal perlindungan identitas negara. Namun, perlu digaris bawahi bahwa Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, ICCPR (yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005) juga menjamin hak berekspresi secara damai. Maka, pelarangan ini harus dipahami bukan hanya sebagai penegakan aturan, tetapi harus seimbang dengan prinsip demokrasi dan HAM internasional.

Reaksi keras pemerintah, termasuk pernyataan bahwa tindakan ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap kehormatan negara, menggambarkan betapa negara semakin sensitif terhadap ekspresi rakyat. Bukannya membaca aksi ini sebagai kritik dan bertanya ulang: mengapa rakyat tak lagi memilih berbicara langsung, tapi memilih simbol fiksi untuk bersuara? tapi negara justru menganggapnya provokasi yang patut dijatuhi sanksi pidana.

Padahal, dalam negara demokratis, kritik simbolik adalah hal yang sehat dan wajar. Ketika simbol pun tidak boleh disentuh, rakyat akan semakin kehilangan ruang aman untuk bersuara. Dan ketika rakyat tidak bisa berbicara, mereka akan bersimbol.

Benar bahwa bendera Merah Putih adalah simbol sakral. Tapi kesakralan itu tidak cukup dijaga lewat undang-undang. Ia dijaga ketika negara menunjukkan bahwa ia layak dihormati, dengan mendengar rakyatnya, bukan hanya menakut-nakuti mereka. Rakyat tidak sedang berkhianat. Mereka sedang kecewa. Dan kecewa itu tidak harus ditanggapi dengan hukuman, apalagi diplomasi internasional. Yang lebih dibutuhkan adalah empati, edukasi, dan rekonsiliasi.

Negara yang kuat bukan diukur dari seberapa sering ia menekan rakyatnya, tetapi seberapa besar ia memberi ruang bagi kritik damai. Jika pengibaran bendera One Piece bisa memicu ketakutan pemerintah, itu bukan rakyat yang dianggap membangkang, tapi kekuasaan yang terlalu takut disentuh oleh simbol. Dengan rakyat memilih simbol untuk bersuara,itu karena mungkin mereka merasa tidak lagi bisa percaya pada simbol resminya. Negara perlu merenung, bukan menghukum. Karena jika rakyat memilih fiksi untuk bersuara, itu pertanda bahwa realita sudah terlalu menyesakkan untuk diucapkan secara langsung.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

Label: Benderademokrasikritiksimbol negara
BagikanTweetBagikanKirim

Baca Juga

Tips Memilih VPS Murah dengan Performa Optimal

Tips Memilih VPS Murah dengan Performa Optimal

Jumat, 26 September 2025 | 17:29 WIB
Tanggapi Keluhan Mahasiswa Terkait Laboratorium, UNAND Angkat Bicara

Tanggapi Keluhan Mahasiswa Terkait Laboratorium, UNAND Angkat Bicara

Kamis, 25 September 2025 | 16:09 WIB
Keluhkan Laboratorium Tak Layak, Mahasiswa Desak Perbaikan

Keluhkan Laboratorium Tak Layak, Mahasiswa Desak Perbaikan

Selasa, 23 September 2025 | 17:01 WIB
FIB UNAND Gelar Gesima XIX, Angkat Tema Denting Warisan Gaung Kreasi

FIB UNAND Gelar Gesima XIX, Angkat Tema Denting Warisan Gaung Kreasi

Selasa, 23 September 2025 | 15:53 WIB
Fasilitas Dasar Terabaikan, Mahasiswa Keluhkan Gelap hingga Tangga Rusak

Fasilitas Dasar Terabaikan, Mahasiswa Keluhkan Gelap hingga Tangga Rusak

Kamis, 18 September 2025 | 01:10 WIB
Pengembalian Dana Wakaf Maba UNAND Belum Jalan, Sosialisasi Minim

Pengembalian Dana Wakaf Maba UNAND Belum Jalan, Sosialisasi Minim

Rabu, 17 September 2025 | 19:29 WIB

TERPOPULER

  • Korupsi di UNAND 3,57 Miliar, 12 Orang Tersangka Termasuk Mantan Wakil Rektor l

    Korupsi di UNAND 3,57 Miliar, 12 Orang Tersangka Termasuk Mantan Wakil Rektor l

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Kronologi Korupsi Alat Laboratorium yang Jerat Petinggi UNAND

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • UNAND Angkat Bicara Kasus Korupsi Rp3,57 Miliar

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Inovasi Teknologi: Solusi Modern untuk Pelestarian Budaya Lokal di Tengah Globalisasi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Tanggapi Keluhan Mahasiswa Terkait Laboratorium, UNAND Angkat Bicara

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak