
Oleh: Sabila Hayatul Dhi’fa*
Beberapa tahun belakangan, fenomena semakin banyaknya bangku-bangku kosong di Sekolah Dasar Negeri (SDN) nyata terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Sekolah yang dahulunya ramai peminat dan keriuhan anak-anak kini mulai semakin sepi. Banyak sekolah-sekolah yang hanya menerima segelintir murid, bahkan karena kekurangan murid banyak sekolah-sekolah dasar yang terpaksa digabungkan menjadi satu sekolah. Bagi sebagian pandangan masyarakat ini hanya fenomena dari berkurangnya jumlah anak di Indonesia. Namun, kenyataannya ini merupakan cerminan dari perubahan sosial yang terjadi secara luas di lingkungan masyarakat zaman ini.
Ada berbagai macam penyebab mengapa terjadi penurunan drastis terhadap anak-anak di tingkat sekolah dasar negeri. Salah satunya terjadi karena penurunan tingkat kesuburan atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia. Dilansir dari detikedu angka TFR menggambarkan jumlah anak yang dilahirkan rata-rata pada masa suburnya yaitu 15-49 tahun. angka TFR adalah 2.1 artinya wanita dalam usia suburnya melahirkan setidaknya dua orang anak. Dua anak ini akan bisa menggantikan orang tuanya ketika sudah meninggal, dengan komposisi ini maka populasi di suatu wilayah akan stabil. Namun, bila angka TFR berada di bawah 2.1 maka populasi penduduk di wilayah tersebut bisa menurun.
Menurut data World Bank TFR Indonesia pada tahun 2010 adalah 2.452. Lalu nilai ini naik pada tahun 2011 menjadi 2.499. Setelah tahun 2011, semakin mengalami penurunan yang mana pada tahun 2022 mencapai 2.153. Fenomena penurunan TFR ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan perempuan, biaya hidup semakin tinggi, serta gaya hidup yang lebih menekankan gengsi bukan kebutuhan. Dampak dari penurunan ini terasa nyata terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Faktor lain yang menyebabkan terjadi penurunan murid di tingkat SDN ialah karena perubahan preferensi pola pikir orang tua zaman kini dalam hal pendidikan anak. Dahulu, sekolah dasar negeri menjadi pilihan utama bagi orang tua, tetapi kini pamor sekolah dasar negeri telah kalah dengan sekolah-sekolah swasta elite dan sekolah berbasis agama karena dianggap lebih menjamin kualitas pendidikan, serta prospek masa depan anak. Berdasarkan data BPS, sekolah dasar swasta pada rentang tahun 2016/2017 jumlah muridnya adalah 3.189.919 siswa. Jumlah ini terus meningkat, hingga mencapai 3.710.333 pada tahun 2022/2023. Sementara jumlah murid pada sekolah dasar negeri semakin merosot tiap tahunnya.
Sekolah dasar negeri di mata orang tua zaman kini dianggap kurang menjanjikan. Dimulai dari fasilitas yang tidak berkembang, beban administratif guru yang tinggi, serta kurang nya inovasi kurikulum dan proses mengajar yang dinilai kurang efektif menjadi faktor penyebabnya. Sebaliknya, sekolah-sekolah swasta yang semakin banyak peminatnya menawarkan fasilitas-fasilitas dan program pembelajaran yang unggul, lingkungan belajar eksklusif, dan branding yang lebih menarik. Bahkan, tren parenting modern kini ikut mendorong orang tua untuk “berinvestasi pendidikan” sejak dini di tempat yang dianggap terbaik meskipun dengan biaya yang lebih tinggi.
Faktor penting lainnya dari penyebab penurunan murid di sekolah dasar negeri ialah minimnya penataan dan perencanaan strategis yang baik dari pemerintah. Dalam banyak kasus, pembangunan sekolah dasar negeri tidak diimbangi dengan pemetaan kebutuhan populasi jangka panjang. Akibatnya, ada beberapa daerah yang mengalami kelebihan sekolah dasar namun, populasi penduduknya semakin menurun. Ketika terjadinya penurunan anak, pemerintah kerap kali bingung dalam menentukan kebijakan yang sesuai: apakah harus ditutup, digabung, atau direvitalisasi?, hal ini pun diperparah dengan sistem pendidikan yang kaku, kurang kondusif, dan tidak bisa menyesuaikan dengan perubahan sosial dan dinamika populasi.
Faktor-faktor penyebab tersebut mencerminkan bahwa pendidikan dasar di Indonesia tengah berada dalam situasi transisi sosial dan struktural. Kita tidak bisa hanya melihat sekolah dasar sebagai tempat belajar membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah dasar kini sebagai gambaran dari dinamika masyarakat, preferensi kelas menengah, kesenjangan wilayah, hingga arah dari kebijakan pemerintah dalam menanggapi perubahan ini. Jika kita ingin menyelamatkan krisis pendidikan dasar di sekolah dasar negeri, perlu adanya aksi konkret. Pemerintah pusat dan daerah harus berani mengevaluasi mengenai kebijakan yang telah diambilnya mengenai sekolah dasar, mulai dari mengevaluasi distribusi sekolah dasar negeri, meningkatkan kualitas guru, dan menghidupkan kembali minat para orang tua untuk memasukkan anaknya ke dalam sekolah dasar negeri dengan pembaruan kurikulum dan sistem pengajaran yang lebih eksklusif.
Penurunan murid di sekolah dasar ini, jika ditangani oleh pemerintah dengan tepat dan bijak bisa dijadikan sebagai peluang reformasi pendidikan. Di zaman ketika populasi anak semakin menurun, justru terbuka ruang untuk mengedepankan pendidikan yang lebih personal, dan lebih bermakna. Sekolah dengan jumlah murid sedikit bisa menjadi ruang pembelajaran yang ideal dan eksklusif jika ditangani dengan baik.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas