
Oleh: Sabilla Hayatul Dhi’fa*
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya menjadi pelopor utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Fungsinya sangat vital sebagai penyedia layanan publik dan penggerak sektor-sektor strategis yang tidak sepenuhnya bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Namun, harapan ini sering kali dikhianati. Dalam praktiknya, BUMN justru berulang kali mengecewakan rakyat karena maraknya kasus korupsi yang terus terjadi di dalam tubuhnya. Skandal-skandal besar seperti kasus Jiwasraya, Garuda Indonesia, hingga Pertamina memperlihatkan betapa rusaknya tata kelola di BUMN. Jiwasraya, misalnya, mencuat sebagai skandal keuangan terbesar di sektor asuransi, dengan kerugian negara mencapai Rp16 triliun akibat investasi bodong yang disalurkan ke saham-saham gorengan demi keuntungan segelintir pihak. Garuda Indonesia juga tercoreng akibat kasus suap pembelian pesawat yang menyeret mantan direktur utamanya, Emirsyah Satar, yang bahkan dua kali divonis bersalah. Pertamina pun tak luput dari sorotan karena keterlibatannya dalam praktik korupsi impor minyak dan proyek energi sejak 2018, yang baru terbongkar pada 2024. Semua kasus ini membuktikan bahwa BUMN telah berubah dari alat pembangunan menjadi ladang basah para elite untuk meraup keuntungan pribadi.
Fakta korupsi di BUMN bukanlah peristiwa acak. Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa praktik korupsi di lingkungan BUMN bersifat terstruktur dan sistematis. Dalam kurun 2016 hingga 2023, tercatat 212 kasus korupsi telah ditindak, melibatkan 349 pejabat dan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp64 triliun. Kasus-kasus ini mencerminkan berbagai penyimpangan mulai dari penyalahgunaan dana, investasi liar, pembelian ilegal, hingga manipulasi kontrak. Penyebab utamanya terletak pada sistem birokrasi yang tidak transparan dan struktur kepemimpinan yang tertutup. Direksi dan komisaris sering kali memiliki wewenang besar, namun minim tanggung jawab. Pengangkatan jabatan di BUMN pun kerap didasarkan pada hubungan politik atau kedekatan personal, bukan pada profesionalitas dan kompetensi. Akibatnya, pengawasan internal menjadi lemah dan praktik korupsi mudah menjalar ke berbagai lini.
Ironisnya, ketika kasus-kasus ini terbongkar, penegakan hukum kerap tidak berjalan secara adil. Hukum seharusnya menindak dengan tegas tanpa pandang bulu, namun dalam kenyataan, perlakuan hukum bisa berbeda tergantung siapa pelakunya. Hal ini memperburuk kepercayaan publik terhadap BUMN dan terhadap institusi hukum itu sendiri. Dampak korupsi BUMN sangat besar, bukan hanya dari sisi finansial, tetapi juga menurunkan daya saing ekonomi dan menimbulkan keraguan investor—baik domestik maupun asing—untuk menjalin kerja sama dengan BUMN. Ketika kepercayaan terhadap BUMN runtuh, maka kestabilan ekonomi nasional pun ikut terancam.
Untuk memperbaiki kondisi ini, Indonesia bisa belajar dari negara tetangga seperti Singapura. Temasek Holdings menjadi contoh nyata bagaimana BUMN dapat dikelola secara profesional, transparan, dan bebas intervensi politik. Temasek menjalankan fungsi negara di bidang ekonomi tanpa kehilangan integritas tata kelola. Indonesia perlu meniru prinsip-prinsip ini dengan mereformasi total sistem pengelolaan BUMN. Reformasi harus dimulai dari perombakan mekanisme perekrutan direksi dan komisaris agar lebih terbuka, akuntabel, dan lepas dari kepentingan politik. Selain itu, pemerintah perlu membentuk lembaga pengawasan independen yang memiliki otoritas untuk memantau kinerja dan keuangan BUMN secara langsung dan transparan. Lembaga ini juga harus memiliki perlindungan hukum agar tidak mudah diintervensi oleh kekuatan politik.
Sudah saatnya kita berhenti menoleransi pembusukan di tubuh BUMN. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama membenahi wajah BUMN yang telah tercoreng. BUMN adalah representasi ekonomi negara, dan jika wajah itu hancur, maka nama baik serta masa depan Indonesia turut menjadi taruhannya. Perbaikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif publik untuk terus mengawasi dan menuntut transparansi. Hanya dengan demikian, BUMN bisa kembali menjadi pilar pembangunan yang membanggakan, bukan simbol kegagalan tata kelola bangsa.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas