
Oleh: Auryn Dzakirah*
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perhubungan telah lama menyuarakan komitmennya dalam menegakkan aturan Zero Over Dimension Over Load (ODOL). Tujuannya tidak keliru yakni menjaga keselamatan jalan, melindungi infrastruktur, serta menciptakan ekosistem logistik yang lebih tertib. Namun, di balik semangat normatif tersebut, tersembunyi kenyataan pahit di lapangan. Penolakan dari ribuan sopir truk bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap aturan, melainkan jeritan dari kelompok paling rentan dalam rantai logistik nasional yang timpang.
Aturan ODOL melarang kendaraan mengangkut muatan yang melebihi batas bobot dan dimensi yang ditentukan. Secara teknis, kebijakan ini masuk akal. Truk ODOL terbukti merusak jalan, memperbesar potensi kecelakaan, dan menimbulkan kerugian negara. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Perhubungan, kerusakan jalan akibat truk ODOL menimbulkan beban negara hingga Rp43,4 triliun per tahun hanya untuk biaya perbaikan infrastruktur jalan dan tol.
Namun, dalam sistem logistik yang tidak efisien, sopir truk berada di posisi paling lemah. Mereka tidak memiliki daya tawar terhadap pemilik barang baik dari kalangan pengusaha ekspedisi maupun produsen besar yang menekan tarif serendah mungkin. Akibatnya, praktik ODOL menjadi satu-satunya jalan keluar bagi sopir agar tetap dapat menutupi biaya operasional sekaligus membawa pulang nafkah bagi keluarganya.
Narasi publik sering kali membingkai sopir truk sebagai pelaku pelanggaran, digambarkan sembrono dan tidak patuh hukum. Padahal kenyataannya, banyak sopir tidak memiliki kuasa dalam menentukan volume muatan. Mereka sekadar menjalankan instruksi atasannya berdasarkan surat jalan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketika terjadi pelanggaran, sopir menjadi pihak pertama yang dikenai sanksi hukum, tilang, bahkan terancam kehilangan pekerjaan. Ironisnya, mereka sama sekali tidak menikmati keuntungan sebesar pemilik barang maupun perusahaan logistik besar.
Sementara itu, perusahaan besar kerap luput dari pengawasan. Banyak truk ODOL yang justru berangkat dari kawasan industri berskala nasional. Namun, yang ditindak adalah sopir di jalan raya bukan sistem distribusi dan tata kelola yang membiarkan pelanggaran tersebut terjadi sejak awal.
Dalam sejumlah kasus, ODOL bahkan berujung maut. Seperti peristiwa di Tol Cipularang pada Januari 2025, ketika truk batu bara dengan rem blong menabrak sejumlah kendaraan setelah gagal menanjak. Hasil investigasi menunjukkan truk tersebut tergolong ODOL. Peristiwa serupa terjadi di Gerbang Tol Ciawi pada Februari 2025, ketika truk tronton dengan beban berlebih menabrak dan menghancurkan palang tol hingga terbakar. Lagi-lagi, sopir menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan.
Penegakan aturan ODOL memang penting, namun harus dilakukan dengan menyentuh akar permasalahan. Pemerintah perlu membenahi sistem logistik nasional secara menyeluruh agar distribusi tanggung jawab dan beban menjadi lebih adil. Terdapat tiga langkah strategis yang dapat ditempuh:
Pertama, pemerintah harus menerapkan sistem sertifikasi dan tanggung jawab kolektif antara pemilik barang, pengusaha angkutan, dan sopir. Ketika sebuah truk terbukti melanggar aturan ODOL, sanksi tidak boleh hanya ditimpakan kepada sopir. Pemilik barang dan operator logistik harus turut bertanggung jawab secara hukum maupun finansial.
Kedua, perlu diberikan insentif transisi bagi pengusaha angkutan kecil agar dapat beralih ke kendaraan yang sesuai standar. Insentif ini dapat berupa subsidi angsuran truk, pengurangan pajak, atau bantuan konversi armada. Tanpa langkah afirmatif ini, aturan ODOL justru akan menyingkirkan pelaku-pelaku kecil dari sektor logistik nasional.
Ketiga, sopir truk perlu dilibatkan secara aktif dalam forum perumusan kebijakan. Mereka adalah pelaku lapangan yang memahami persoalan secara nyata. Menyusun regulasi tanpa mendengarkan suara sopir hanya akan melanggengkan ketimpangan dan membuat kebijakan kehilangan legitimasi moral.
Pemerintah mulai menunjukkan kesadaran atas kompleksitas persoalan ini. Dalam forum Zero ODOL Policy yang digelar di kantor PBNU Jakarta pada (4 /7/2025), Direktur Sarana dan Keselamatan Transportasi Jalan, Yusuf Nugroho, menyatakan bahwa penanganan ODOL tidak dapat dilakukan oleh satu sektor saja. Dibutuhkan kolaborasi antara semua pemangku kepentingan, termasuk pelaku usaha, pemilik barang, dan masyarakat.
Pernyataan ini mencerminkan kesadaran bahwa ODOL bukan sekadar isu teknis, melainkan permasalahan struktural yang berkaitan erat dengan keadilan dalam sistem. Menjadikan sopir sebagai kambing hitam adalah pendekatan yang keliru dan kontraproduktif, serta dapat merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menciptakan sistem logistik yang berkelanjutan, maka yang harus ditertibkan bukan hanya truk dan muatannya, tetapi juga sistem dan struktur yang selama ini memaksa pelanggaran terjadi. ODOL bukan hanya persoalan ukuran kendaraan, tetapi juga ukuran keadilan dalam tata kelola logistik nasional.
Editor: Fadhilatul Husni
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas