
Gunung Padang merupakan situs pra sejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Luas areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks Punden Berundak terbesar di Asia Tenggara. Laporan pertama mengenai situs ini dimuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (Buletin Dinas Kepurbakalaan) pada tahun 1914. Sejarawan Belanda N.J Krom juga menyinggung mengenai situs Gunung Padang ini pada tahun 1949.
Dilansir dari BBC News Indonesia penelitian Danny Hilman Natawidjaja menyebut bahwa Gunung Padang dapat mengubah sejarah peradaban di Indonesia, sebab hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Gunung Padang berpotensi menjadi Piramida tertua di dunia. Bahkan ia mengklaim bahwa situs Gunung Padang ini kemungkinan berusia 10.000 tahun lebih tua dari Piramida Gizar di Mesir dan Stonehenge yang terkenal di Inggris. Dengan menggunakan radar penembus tanah untuk mengambil gambar bawah permukaan, pengeboran inti, dan teknik penggalian parit, Danny Hilman beserta tim nya mampu menyelidiki lapisan pertama Gunung Padang, yang terbentang sepanjang sembilan lantai atau sekitar 98 kaki di bawah permukaan laut.
Dalam jurnal ilmiah Archeological Prospection yang terbit, tertulis bahwa ia beserta tim nya sudah melakukan survei terpadu di Gunung Padang sejak November 2011. Namun, klaim yang dinyatakan oleh Danny Hilman ini mendapatkan pertentangan dari beberapa pihak yang menyebut kesimpulan dari Danny Hilman mengada-ada dan tidak sesuai dengan kajian literatur sejarah Indonesia.
Flint Dibble dari Universitas Cardiff secara tegas menolak klaim ini. “Material yang menggelinding menuruni bukit umumnya akan menyesuaikan diri dengan bentuknya,” ujarnya. Arkeolog Bill Farley dari Southerm Connecticut State University juga memaparkan kelemahan utama penelitian tersebut. Menurutnya, penanggalan sampel tanah tidak serta-merta menunjukkan usia suatu struktur, terutama jika tidak ada indikator utama aktivitas manusia, seperti arang atau fragmen tulang.
Mengenai masalah persepsi bahwa Gunung Padang merupakan Piramida tertua di dunia, apa tanggapan terhadap klaim tersebut?, Mengapa klaim tersebut bisa cepat meluas ke masyarakat?, Bagaimana komunitas Arkeologi merespons berkembangnya Pseudoarkeologi?, Apa upaya dalam mempertahankan pemahaman sejarah Indonesia karena Pseudoarkeologi ini?. (Sabilla Hayatul Dhi’fa)
Narasumber: A’ang Pambudi Nugroho. S. Pd., M. A*
Jawaban:
Apa tanggapan terhadap klaim bahwa Gunung Padang adalah “Piramida tertua di dunia”?
Isu mengenai Gunung Padang ini sebenarnya telah berkembang dari tahun 2011, yang disebarkan oleh sekelompok komunitas-komunitas yaitu Trenggo Seto dan Greget Nusantara yang sulit untuk diluruskan. Komunitas-komunitas ini menyebarkan isu bahwa setiap gunung merupakan suatu Piramida, yang mana mereka terpengaruh dengan Piramida suku Aspex, Maya, Inka dimana ini terdapat di Meksiko. Piramida ini juga berasal dari Gunung yang ketika dibongkar terdapat beberapa Piramida. Berdasarkan survei lapangan ke Gunung Padang, bentuk Piramida yang disebut-sebut oleh khalayak publik hanya terdapat di satu sisi saja dan bukan di seluruh kawasan Gunung Padang. Klaim ini juga dibantah secara ilmiah oleh Dr. Lutfi Yondri, M.Hum yang menyebutkan dalam disertasinya bahwa sebenarnya itu merupakan batu alam yang ditata ulang oleh manusia menyerupai Punden Berundak sebagai situs Megalitikum tempat pemujaan nenek moyang. Klaim bahwa Gunung Padang ini merupakan Piramida tertua di dunia memang tidak sesuai dengan Ilmu Arkeologi yang mengutamakan metode ilmiah dan penalaran kritis. Di mana klaim yang telah menyebar terlalu memaksa dan masuk ke dalam Pseudoarkeologi yang melupakan aspek-aspek metode ilmiah di dalamnya. Selain itu, pseudoarkeologi ini juga menggabungkan hal-hal mistis dan spritual yang dianut dalam memperkuat klaimnya.
Mengapa klaim tersebut bisa begitu cepat menyebar dan diterima publik secara luas meskipun belum terbukti?
Klaim mengenai Gunung Padang merupakan Piramida tertua di dunia banyak dipercayai oleh masyarakat awam. Di mana klaim ini disebarkan oleh sekelompok komunitas-komunitas, yang mana komunitas ini menyebarkan isu melalui salah satu platform media sosial. Komunitas-komunitas ini turut mendatangi lembaga-lembaga penelitian untuk mendukung klaimnya ini, sampai salah satu staf kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono ikut mempublikasikan mengenai klaim ini. Media-media juga turut andil dalam menyebarkan klaim tersebut, di mana media yang menyebarkan ini biasanya kurang kritis dalam menanggapi suatu isu yang beredar. Dari publikasi media inilah semakin banyak masyarakat awam percaya atas isu ini. Kepercayaan masyarakat mengenai klaim ini semakin diperkuat dengan unsur spiritual maupun mistik, di mana unsur ini masih merajalela di kalangan masyarakat awam.
Bagaimana komunitas Arkeolog di Indonesia merespons berkembangnya pseudoarkeologi di masyarakat?
Mengenai semakin berkembangnya pseudoarkeologi ini di kalangan masyarakat, para arkeologi sudah memikirkan ini sejak lama tetapi, pengimplementasiannya yang belum menyeluruh. Di mana ketika melakukan diskusi dengan masyarakat hanya masyarakat yang mengetahui tentang ilmunya saja yang datang. Maka dari itu, ketika para arkeolog melakukan ekskavasi di suatu situs yang ditetapkan maka hasil dari ekskavasi itu harus disampaikan ke masyarakat sekitar agar mereka juga mengetahui dan ikut menjaga situs yang di ekskavasi tersebut. Selain itu dalam memberikan pemahaman masyarakat secara luas mengenai pseudoarkeologi ini para arkeolog harus gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat dan menyebarkan info yang benar lewat media sosial seperti melakukan podcast dengan ahlinya. Serta melalui publikasi-publikasi media berupa tulisan ilmiah yang bisa di akses oleh khalayak umum.
Apa yang perlu dilakukan agar pseudoarkeologi seperti ini tidak mengaburkan pemahaman sejarah Indonesia?
Upaya dalam mempertahankan pemahaman sejarah Indonesia agar tidak terjadi penyimpangan yang diakibatkan oleh Pseudoarkeologi ini, para arkeolog harus gencar melakukan edukasi kepada masyarakat awam khususnya. Di mana masih banyak masyarakat awam yang mempercayai hal-hal mistis dan tradisi lisan yang telah diturunkan secara turun temurun, salah satunya mengenai isu Gunung Padang ini. Masyarakat mudah terprovokasi jika menyangkut masalah agama atau spritual tertentu mengenai suatu isu tanpa mengetahui kebenaran aslinya yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah. Perlu dilakukan edukasi-edukasi secara bertahap ke masyarakat, yang mana ini bisa dilakukan dengan melakukan diskusi-diskusi umum. Dengan upaya yang dilakukan ini pemikiran masyarakat awam akan semakin ilmiah dan tidak mudah terpengaruh dengan isu yang menyangkut hal agama, spritual, maupun mistis.
Editor: Fadhilatul Husni
*Narasumber merupakan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas