• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Rabu, 29 Oktober 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Aspirasi

Migrasi sebagai Alat Tawar: Politik Perbatasan antara Turki dan Uni Eropa

oleh Redaksi
Kamis, 10 Juli 2025 | 09:21 WIB
di Aspirasi
0
(Ilustrasi/Zahra Nurul Aulia)

(Ilustrasi/Zahra Nurul Aulia)

ShareShareShareShare
(Ilustrasi/Zahra Nurul Aulia)

Oleh: Vannisa Fitri*

Isu migrasi tidak lagi sekadar menjadi tantangan kemanusiaan bagi Eropa. Namun, telah berkembang menjadi sebuah instrumen kekuasaan dan alat tawar strategis dalam hubungan internasional, khususnya antara Uni Eropa (UE) dan Turki. Dalam dinamika ini, pengungsi bukan hanya menjadi subjek perlindungan, tetapi objek politik yang diperdagangkan dalam perjanjian, ditahan di perbatasan, dan dikorbankan atas nama stabilitas geopolitik. Artikel ini mengulas bagaimana Turki menggunakan isu migrasi sebagai alat tawar politik dalam hubungannya dengan Uni Eropa, dinamika kepentingan dua pihak, serta dampaknya terhadap perlindungan hak asasi pengungsi.

Turki dan Uni Eropa: Siapa yang Bergantung pada Siapa?

Secara tradisional, Uni Eropa dipandang sebagai aktor dominan dalam hal ekonomi, politik, dan hubungan regional. Namun, kasus migrasi mengungkapkan adanya ketergantungan struktural Uni Eropa terhadap Turki. Perjanjian antara Uni Eropa dan Turki tahun 2016, yang dikenal dengan EU-Turkey Statement, bukan hanya menyepakati alokasi dana sebesar €3 miliar dan pengelolaan arus migran, tetapi juga menunjukkan pengalihan tanggung jawab kemanusiaan dari Uni Eropa ke Turki (Council of the European Union, 2016).

Turki menyadari posisinya sebagai zona penyangga migrasi, sehingga secara terbuka menggunakan isu tersebut sebagai alat tawar diplomatik. Presiden Recep Tayyip Erdoğan bahkan beberapa kali mengancam akan “membuka gerbang ke Eropa” saat tuntutannya tidak dipenuhi, baik dalam hal kebijakan terhadap Suriah, sanksi politik, maupun bantuan ekonomi (Radio Free Europe/Radio Liberty, 2019). Situasi ini menunjukkan pergeseran kekuasaan simbolik: negara non-anggota Uni Eropa mampu mempengaruhi kebijakan internal kawasan.

Sejarah Ketegangan dan Jalan Buntu Keanggotaan

Hubungan Uni Eropa dan Turki tidak semata soal migrasi. Sejak tahun 1999, Turki secara resmi menjadi kandidat anggota Uni Eropa. Namun, proses integrasi ini mandek karena isu-isu seperti pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan pers, dan kebijakan luar negeri Turki yang semakin otonom, terutama intervensi terhadap Suriah, konflik dengan bangsa Kurdi, sengketa di Laut Mediterania Timur, dan kedekatannya dengan Rusia (Chairunissa Rufinaldo, 2020).

Perlambatan proses ini mendorong Turki untuk mengalihkan orientasi diplomatik ke arah Eurasia dan dunia Islam. Bahkan, Turki menyatakan minat untuk bergabung dengan kelompok BRICS, sebagai bentuk diversifikasi aliansi politik dan ekonomi di luar blok Barat. Dalam konteks inilah migrasi menjadi satu-satunya saluran di mana Turki memiliki posisi tawar nyata dalam hubungan dengan Eropa.

Dilema Uni Eropa: Antara Nilai dan Kepentingan

Di satu sisi, Uni Eropa mengklaim diri sebagai institusi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, hak asasi manusia, perlindungan pengungsi, dan multilateralisme. Namun, praktik kebijakan migrasi menunjukkan ambiguitas moral. Uni Eropa justru mengalihkan pengelolaan migrasi ke negara-negara yang rekam jejak HAM-nya dipertanyakan, seperti Turki, serta menerapkan praktik pengembalian paksa secara ilegal di perbatasan Yunani dan Balkan (Reuters, 2024).

Sementara beberapa negara seperti Jerman dan Swedia lebih terbuka terhadap relokasi pengungsi, negara-negara Visegrad seperti Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menolak skema redistribusi tersebut. Ketidakseimbangan ini membuat Uni Eropa terjebak dalam dilema antara menjaga citra moral dan melindungi batas wilayahnya.

Konteks Global dan Potensi Krisis Kemanusiaan Terbaru

Gelombang baru pengungsi dari Gaza, Afghanistan, dan Sudan kembali menjadikan Turki sebagai jalur transit utama. Ini menambah beban domestik, sehingga Turki menuntut pembaruan perjanjian migrasi dengan syarat yang lebih luas, mencakup aspek ekonomi, pertahanan, hingga negosiasi politik (Reuters, 2024). Namun, Uni Eropa belum menunjukkan kapasitas kelembagaan untuk menyusun kebijakan migrasi yang kolektif dan berkelanjutan.

Bangkitnya populisme kanan dan perbedaan pandangan antarnegara anggota membuat kebijakan bersama sulit diwujudkan. Bahkan, strategi pengalihan tanggung jawab migrasi juga diterapkan UE kepada negara lain seperti Libya dan Tunisia (Council of the European Union, 2016), yang memperkuat kesan bahwa Uni Eropa lebih fokus pada pengamanan wilayah ketimbang perlindungan pengungsi.

Analisis Teoritis: Interdependensi Asimetris dan Sekuritisasi

Dalam perspektif teori hubungan internasional, situasi ini mencerminkan interdependensi kompleks (Keohane & Nye), di mana aktor yang secara struktural lebih kuat justru rentan terhadap ketergantungan pihak lain. Uni Eropa, yang seharusnya dominan, justru bergantung pada Turki dalam mengontrol arus migrasi.

Sementara itu, dari teori sekuritisasi (Copenhagen School), isu migrasi telah direkonstruksi sebagai ancaman keamanan non-tradisional. Ini terlihat dari pembangunan pagar pembatas, penggunaan teknologi pengawasan tinggi, serta kerja sama dengan negara-negara non-anggota seperti Turki, Libya, dan Tunisia. Alih-alih memperkuat sistem suaka berbasis HAM, pendekatan yang diambil justru menunjukkan respons defensif yang berbasis kepentingan geopolitik.

Kasus antara Uni Eropa dan Turki membuktikan bahwa politik migrasi tidaklah netral. Ia sarat dengan negosiasi kekuasaan, kepentingan, dan simbolisme diplomatik. Ketika pengungsi dijadikan alat tawar, bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang dikorbankan, tetapi juga legitimasi politik kawasan.

Uni Eropa harus membangun kerangka kerja migrasi yang mandiri dan berlandaskan nilai-nilai dasarnya, tanpa tekanan dari pihak eksternal. Sementara Turki perlu menunjukkan transparansi dan tanggung jawab dalam mengelola dana internasional serta memberikan perlindungan nyata bagi pengungsi yang berada di wilayahnya.

*Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

Label: #internasionalEropagazaturki
BagikanTweetBagikanKirim

Baca Juga

Solidaritas Perempuan, Jangan Hanya di Media Sosial

Solidaritas Perempuan, Jangan Hanya di Media Sosial

Jumat, 5 September 2025 | 22:58 WIB
Sejarah Publik:  Alternatif Karier Non Akademis

Sejarah Publik: Alternatif Karier Non Akademis

Kamis, 4 September 2025 | 08:44 WIB
MWA-UM: Dari Wadah Representasi Menjadi Portofolio Jabatan

MWA-UM: Dari Wadah Representasi Menjadi Portofolio Jabatan

Rabu, 3 September 2025 | 08:50 WIB
Dilema Naturalisasi: Antara Penguatan Timnas dan Regenerasi Lokal

Dilema Naturalisasi: Antara Penguatan Timnas dan Regenerasi Lokal

Rabu, 3 September 2025 | 08:31 WIB
Turun di Atas Kertas, Kemiskinan Nyata Masih Menghantui

Turun di Atas Kertas, Kemiskinan Nyata Masih Menghantui

Selasa, 2 September 2025 | 09:31 WIB
Mendaki Gunung: Antara Eksistensi dan Keselamatan

Mendaki Gunung: Antara Eksistensi dan Keselamatan

Senin, 18 Agustus 2025 | 11:56 WIB

TERPOPULER

  • Korupsi di UNAND 3,57 Miliar, 12 Orang Tersangka Termasuk Mantan Wakil Rektor l

    Korupsi di UNAND 3,57 Miliar, 12 Orang Tersangka Termasuk Mantan Wakil Rektor l

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Atap Bagonjong pada Rumah Gadang sebagai Identitas Sosial Masyarakat Minangkabau

    1 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Zaki Latif Resmi Terpilih Sebagai PU Genta Andalas 2025/2026

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Mengenal Uang Japuik, Adat Pariaman yang Masih Sering Disalahartikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Kronologi Korupsi Alat Laboratorium yang Jerat Petinggi UNAND

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak