
Oleh: Vannisa Fitri*
Isu migrasi tidak lagi sekadar menjadi tantangan kemanusiaan bagi Eropa. Namun, telah berkembang menjadi sebuah instrumen kekuasaan dan alat tawar strategis dalam hubungan internasional, khususnya antara Uni Eropa (UE) dan Turki. Dalam dinamika ini, pengungsi bukan hanya menjadi subjek perlindungan, tetapi objek politik yang diperdagangkan dalam perjanjian, ditahan di perbatasan, dan dikorbankan atas nama stabilitas geopolitik. Artikel ini mengulas bagaimana Turki menggunakan isu migrasi sebagai alat tawar politik dalam hubungannya dengan Uni Eropa, dinamika kepentingan dua pihak, serta dampaknya terhadap perlindungan hak asasi pengungsi.
Turki dan Uni Eropa: Siapa yang Bergantung pada Siapa?
Secara tradisional, Uni Eropa dipandang sebagai aktor dominan dalam hal ekonomi, politik, dan hubungan regional. Namun, kasus migrasi mengungkapkan adanya ketergantungan struktural Uni Eropa terhadap Turki. Perjanjian antara Uni Eropa dan Turki tahun 2016, yang dikenal dengan EU-Turkey Statement, bukan hanya menyepakati alokasi dana sebesar €3 miliar dan pengelolaan arus migran, tetapi juga menunjukkan pengalihan tanggung jawab kemanusiaan dari Uni Eropa ke Turki (Council of the European Union, 2016).
Turki menyadari posisinya sebagai zona penyangga migrasi, sehingga secara terbuka menggunakan isu tersebut sebagai alat tawar diplomatik. Presiden Recep Tayyip Erdoğan bahkan beberapa kali mengancam akan “membuka gerbang ke Eropa” saat tuntutannya tidak dipenuhi, baik dalam hal kebijakan terhadap Suriah, sanksi politik, maupun bantuan ekonomi (Radio Free Europe/Radio Liberty, 2019). Situasi ini menunjukkan pergeseran kekuasaan simbolik: negara non-anggota Uni Eropa mampu mempengaruhi kebijakan internal kawasan.
Sejarah Ketegangan dan Jalan Buntu Keanggotaan
Hubungan Uni Eropa dan Turki tidak semata soal migrasi. Sejak tahun 1999, Turki secara resmi menjadi kandidat anggota Uni Eropa. Namun, proses integrasi ini mandek karena isu-isu seperti pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan pers, dan kebijakan luar negeri Turki yang semakin otonom, terutama intervensi terhadap Suriah, konflik dengan bangsa Kurdi, sengketa di Laut Mediterania Timur, dan kedekatannya dengan Rusia (Chairunissa Rufinaldo, 2020).
Perlambatan proses ini mendorong Turki untuk mengalihkan orientasi diplomatik ke arah Eurasia dan dunia Islam. Bahkan, Turki menyatakan minat untuk bergabung dengan kelompok BRICS, sebagai bentuk diversifikasi aliansi politik dan ekonomi di luar blok Barat. Dalam konteks inilah migrasi menjadi satu-satunya saluran di mana Turki memiliki posisi tawar nyata dalam hubungan dengan Eropa.
Dilema Uni Eropa: Antara Nilai dan Kepentingan
Di satu sisi, Uni Eropa mengklaim diri sebagai institusi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, hak asasi manusia, perlindungan pengungsi, dan multilateralisme. Namun, praktik kebijakan migrasi menunjukkan ambiguitas moral. Uni Eropa justru mengalihkan pengelolaan migrasi ke negara-negara yang rekam jejak HAM-nya dipertanyakan, seperti Turki, serta menerapkan praktik pengembalian paksa secara ilegal di perbatasan Yunani dan Balkan (Reuters, 2024).
Sementara beberapa negara seperti Jerman dan Swedia lebih terbuka terhadap relokasi pengungsi, negara-negara Visegrad seperti Hungaria, Polandia, Republik Ceko, dan Slovakia menolak skema redistribusi tersebut. Ketidakseimbangan ini membuat Uni Eropa terjebak dalam dilema antara menjaga citra moral dan melindungi batas wilayahnya.
Konteks Global dan Potensi Krisis Kemanusiaan Terbaru
Gelombang baru pengungsi dari Gaza, Afghanistan, dan Sudan kembali menjadikan Turki sebagai jalur transit utama. Ini menambah beban domestik, sehingga Turki menuntut pembaruan perjanjian migrasi dengan syarat yang lebih luas, mencakup aspek ekonomi, pertahanan, hingga negosiasi politik (Reuters, 2024). Namun, Uni Eropa belum menunjukkan kapasitas kelembagaan untuk menyusun kebijakan migrasi yang kolektif dan berkelanjutan.
Bangkitnya populisme kanan dan perbedaan pandangan antarnegara anggota membuat kebijakan bersama sulit diwujudkan. Bahkan, strategi pengalihan tanggung jawab migrasi juga diterapkan UE kepada negara lain seperti Libya dan Tunisia (Council of the European Union, 2016), yang memperkuat kesan bahwa Uni Eropa lebih fokus pada pengamanan wilayah ketimbang perlindungan pengungsi.
Analisis Teoritis: Interdependensi Asimetris dan Sekuritisasi
Dalam perspektif teori hubungan internasional, situasi ini mencerminkan interdependensi kompleks (Keohane & Nye), di mana aktor yang secara struktural lebih kuat justru rentan terhadap ketergantungan pihak lain. Uni Eropa, yang seharusnya dominan, justru bergantung pada Turki dalam mengontrol arus migrasi.
Sementara itu, dari teori sekuritisasi (Copenhagen School), isu migrasi telah direkonstruksi sebagai ancaman keamanan non-tradisional. Ini terlihat dari pembangunan pagar pembatas, penggunaan teknologi pengawasan tinggi, serta kerja sama dengan negara-negara non-anggota seperti Turki, Libya, dan Tunisia. Alih-alih memperkuat sistem suaka berbasis HAM, pendekatan yang diambil justru menunjukkan respons defensif yang berbasis kepentingan geopolitik.
Kasus antara Uni Eropa dan Turki membuktikan bahwa politik migrasi tidaklah netral. Ia sarat dengan negosiasi kekuasaan, kepentingan, dan simbolisme diplomatik. Ketika pengungsi dijadikan alat tawar, bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang dikorbankan, tetapi juga legitimasi politik kawasan.
Uni Eropa harus membangun kerangka kerja migrasi yang mandiri dan berlandaskan nilai-nilai dasarnya, tanpa tekanan dari pihak eksternal. Sementara Turki perlu menunjukkan transparansi dan tanggung jawab dalam mengelola dana internasional serta memberikan perlindungan nyata bagi pengungsi yang berada di wilayahnya.
*Penulis merupakan mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas