• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Kamis, 26 Juni 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas

Home Aspirasi

Scroll, Skip, Lelah: Tantangan Mental Generasi Digital

oleh Redaksi
Kamis, 26 Juni 2025 | 20:53 WIB
di Aspirasi, Karya Calon Anggota
0
Ilustrasi/ Meuthya Ghaniya Dwi Putri

Ilustrasi/ Meuthya Ghaniya Dwi Putri

ShareShareShareShare
Ilustrasi/ Meuthya Ghaniya Dwi Putri

Oleh: Meuthya Ghaniya Dwi Putri*

Di tengah derasnya arus digital dan kecepatan zaman, generasi masa kini semakin akrab dengan rasa bosan yang datang terlalu cepat. Segala sesuatu hadir secara instan cukup dengan sekali klik, satu guliran layar, atau sentuhan jari. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan itu muncul gejala yang mengkhawatirkan, kita jadi sulit bertahan, enggan menyelesaikan, dan cepat kehilangan minat, bahkan terhadap hal-hal yang pernah begitu kita dambakan. Ini bukan sekadar soal kurang fokus, melainkan gejala budaya baru yang perlahan mengikis ketahanan mental dan kemampuan untuk menikmati proses.

Fenomena ini bukan hanya dialami oleh segelintir orang. Banyak yang mengeluh dengan nada serupa, seperti, “Awalnya semangat banget, tapi lama-lama males.” Ini bukan semata-mata kemalasan, melainkan refleksi dari gaya hidup yang kini bergerak terlalu cepat, terlalu padat, dan terlalu lapar akan hal-hal baru. Seolah ada dorongan konstan untuk terus melompat ke aktivitas berikutnya, sebelum sempat benar-benar meresapi yang sedang dijalani. Bahkan ketika sedang melakukan sesuatu yang disukai, sering muncul godaan untuk mencoba hal lain yang tampak lebih menyenangkan, lebih ringan, atau sekadar lebih trending.

BacaJuga

Raja Ampat Terancam: Tambang, Lingkungan, dan Suara yang Terabaikan

Dualitas Ormas: Pejuang Hak atau Pemicu Konflik?

Kita hidup di era ketika segalanya bisa diganti dalam hitungan detik. Tak suka satu video? Tinggal skip. Bosan dengan seseorang? Cukup unfollow. Buku terlalu tebal? Cari ringkasannya di internet. Bahkan dalam mencari hiburan, kita cenderung mencari yang lebih cepat, lebih viral, dan lebih memacu adrenalin. Akibatnya, rentang perhatian menyempit, konsentrasi melemah, dan kemampuan bertahan dalam satu aktivitas makin berkurang. Kita lebih tergoda oleh sensasi dibanding makna, lebih tertarik pada awal yang seru dari pada proses yang membutuhkan waktu dan kesabaran.

Fenomena ini memiliki akar kuat pada budaya digital dan algoritma media sosial. Platform-platform tersebut tak hanya menyajikan konten, tapi juga mendorong kita untuk terus bergerak dari satu hal ke hal lain. Sebuah Penelitian dalam Jurnal TANDA tahun 2023 menunjukkan bahwa gaya hidup individualistik dan kuatnya pengaruh budaya asing telah menjauhkan generasi muda dari nilai-nilai lokal. Mereka tumbuh dalam arus konten global yang serba instan, tanpa sempat membangun kedekatan emosional atau refleksi yang mendalam. Sementara data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menyebutkan bahwa Generasi Z, yang berjumlah sekitar 75 juta jiwa atau 28% dari populasi Indonesia, tumbuh dalam dunia digital yang menuntut multitasking. Hal ini memang melatih mereka untuk cepat beradaptasi, tapi juga membuat mereka lebih mudah kehilangan fokus dan semangat saat dihadapkan pada proses yang menuntut ketekunan.

Dikutip dari CNBC Indonesia, laporan Mind Health Report oleh AXA UK yang turut menegaskan kondisi ini, sebanyak 75% Gen Z mengalami kesulitan mempertahankan fokus saat berbicara langsung, bahkan banyak yang mulai memainkan ponsel hanya dua menit setelah percakapan dimulai. Sebanyak 39% mengaku terdorong kuat untuk mengecek notifikasi selama berbincang.

Gejala mudah bosan ini bukan hanya mengubah cara kita menikmati hiburan, tapi juga menyusup ke berbagai aspek kehidupan, belajar, bekerja, bahkan mencintai. Hubungan yang dulu dibangun dengan sabar kini mudah kandas hanya karena “Sudah nggak seru lagi.” Pekerjaan yang menuntut proses ditinggalkan jika hasilnya tak kunjung terlihat. Hobi pun sulit berkembang karena setiap minggu selalu ada tren baru yang terasa lebih menarik. Kita tumbuh dalam dunia yang bergerak cepat, di bawah tekanan produktivitas, ekspektasi sosial, dan banjir informasi. Dalam realitas seperti ini, rasa bosan justru menjadi cara bertahan. Kita cepat pindah, bukan karena yang kita jalani tak bermakna, melainkan karena kita tidak diberi ruang untuk mendalaminya.

Lalu, bagaimana menghadapi budaya cepat bosan ini? Jawabannya tidak harus dimulai dari hal besar. Kita bisa mulai dengan menyadari dorongan untuk terus bergerak dan memberi diri sendiri waktu untuk jeda. Kesadaran ini penting agar kita bisa mengambil kembali kendali, yang tak kalah penting adalah membangun dukungan sosial. Ajak teman, keluarga, atau komunitas untuk saling menyemangati menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Dengan dukungan semacam itu, kita lebih kuat menghadapi godaan untuk berhenti di tengah jalan.

Rasa bosan barangkali sudah menjadi bagian dari kehidupan modern. Tapi memilih untuk bertahan dan menyelesaikan sesuatu hingga tuntas adalah kekuatan yang bisa kita latih. Di tengah dunia yang serba cepat dan serba instan, kemampuan untuk konsisten, fokus, dan menyelesaikan justru menjadi kualitas yang langka dan sangat berharga. Jika kita belajar untuk konsisten, memberi waktu, dan tidak mudah tergoda pada hal baru, mungkin kita bisa menemukan kembali makna dalam proses yang biasa-biasa saja. Dan justru di situlah, dalam kesabaran dan kejenuhan, kita tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang dan utuh.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

 

Label: budaya bosandigitalGenZopini
BagikanTweetBagikanKirim

Komentar

TERPOPULER

  • Randai di Tengah Arus Modernitas

    Randai di Tengah Arus Modernitas

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Keindahan Pemandian Lubuk Minturun, Berenang Sembari Memberi Makan Ikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Mengenal Uang Japuik, Adat Pariaman yang Masih Sering Disalahartikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Raja Ampat Terancam: Tambang, Lingkungan, dan Suara yang Terabaikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Bangkitkan Kepedulian, FKI Rabbani UNAND Gelar Nobar “I See Gaza”

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak