
Oleh: Pitri Yani*
Randai merupakan salah satu kesenian tradisional dari Minangkabau, Sumatera Barat. Konon, Randai sempat dimainkan oleh masyarakat Pariangan di Padang Panjang sebagai perayaan setelah berhasil menangkap rusa yang keluar dari laut. Pertunjukan Randai dilakukan secara berkelompok dengan membentuk lingkaran, sambil menepuk celana khusus yang memiliki selaput seperti kaki bebek. Celana ini memiliki pesak yang terletak sekitar lutut dan ketika ditepuk, menghasilkan suara keras seperti selaput kaki bebek.
Di Sumatera Barat, Randai dikenal sebagai seni pertunjukan tradisional yang menggabungkan musik, tari, gerak, dan cerita. Tarian Randai biasanya diiringi alat musik tradisional seperti gendang, talempong, dan rabab. Menurut Esten dalam Jurnal Kajian Sastra JENTERA, Randai sering ditampilkan dalam acara-acara profan seperti pesta panen, pernikahan, dan perhelatan penghulu.
Randai dipimpin oleh seorang panggoreh yang ikut bergerak dalam legaran serta mengeluarkan teriakan khas seperti “hep tah tih” untuk mengatur tempo gerakan agar kompak dan seirama dengan gurindam. Biasanya satu kelompok Randai memiliki satu panggoreh, namun jika panggoreh lelah, peran ini dapat digantikan oleh anggota lain karena pertunjukan Randai bisa berlangsung antara satu hingga lima jam atau lebih.
Seiring perkembangan zaman, Randai mengalami banyak perubahan. Dahulu, seluruh pemeran Randai adalah laki-laki, termasuk yang memerankan tokoh perempuan, tanpa mengubah suara menjadi suara perempuan. Kini, banyak peran juga dimainkan oleh perempuan. Selain itu, cerita Randai kini dapat menggabungkan unsur cerita tradisional dengan cerita modern.
Randai merupakan warisan seni pertunjukan khas Minangkabau yang telah hidup selama berabad-abad. Namun, seperti tradisi lainnya, Randai kini menghadapi tantangan zaman, akankah ia tetap bertahan dalam bentuk aslinya, atau justru berubah mengikuti tuntutan modernitas? Di tengah arus globalisasi dan pergeseran nilai, pertanyaan ini menjadi penting, bolehkah tradisi diubah demi bertahan?
Beberapa praktisi budaya berpendapat bahwa modernisasi justru dapat menjadi solusi agar Randai tidak hanya menjadi tradisi budaya, tetapi juga hiburan yang dapat menarik wisatawan dan meningkatkan ekonomi lokal. Penulis pernah menyaksikan pertunjukan Randai yang dibawakan oleh mahasiswa Program Studi Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Pertunjukan tersebut berlangsung sekitar tiga jam dan menampilkan perubahan seperti keterlibatan perempuan dalam peran yang sebelumnya hanya dimainkan laki-laki.
Bagi penonton baru, perubahan tersebut tidak mengurangi kenikmatan pertunjukan. Justru, perubahan ini diyakini dapat menarik minat generasi muda untuk melestarikan Randai di tengah arus globalisasi. Pendekatan modern dalam penyajian seni juga membuka peluang bagi peneliti untuk mendokumentasikan Randai yang masih kental dengan nilai adat dan leluhur.
Namun di sinilah kembali timbul pertanyaan. Apakah perubahan ini tidak menggerus nilai adat? Bagi para pelaku budaya tradisional, kekhawatiran ini masuk akal. Tradisi bukan sekadar bentuk lahir, tapi juga nilai-nilai di baliknya. Tapi, jika kita menolak perubahan sama sekali, tidakkah kita justru membiarkan tradisi mati perlahan?
Seorang dosen Prodi Karawitan yang turut hadir dalam pertunjukan tersebut menambahkan, bahwa saat ini Randai sudah menjadi materi pembelajaran di sekolah-sekolah. Transformasi ini membuktikan bahwa kesenian tradisional dapat terus berkembang dan lestari tanpa meninggalkan akar budayanya. Dengan demikian, Randai mendapatkan pelestarian sekaligus pembaharuan di era modern.
Nilai-nilai adat mungkin akan mengalami pergeseran seiring waktu, namun modernisasi juga dapat membuka peluang baru, ada beberapa hal lain yang terus bertambah. Dengan adanya perubahan modernisasi Randai bisa menjadi ajang pertunjukan untuk menarik minat wisatawan hingga dapat meningkatkan pendapatan penduduk lokal. Kita juga harus menggembangkan suatu tradisi agar tradisi tersebut tidak hilang dari peradaban, agar generasi muda dapat terus menjaga tradisi Randai tersebut.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu budaya, Departemen Sastra Indonesia
Komentar