
Oleh: Dilla Febriamti
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan salah satu permasalahan serius yang menjadi perhatian masyarakat, termasuk di Indonesia. PHK memiliki dampak besar terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan. Tak dapat dimungkiri, seseorang yang telah bekerja pun belum tentu hidup sejahtera, apalagi jika upah yang diterima tidak layak atau tidak mencukupi kebutuhan dasar. Kondisi ini justru berpotensi meningkatkan angka kemiskinan.
PHK yang terjadi pada tahun 2025 bukanlah fenomena baru. Beberapa tahun sebelumnya, Indonesia telah mengalami gelombang PHK. Mengutip dari Tribunnews.com, pada tahun 2020, Indonesia mencatat jumlah PHK tertinggi, yakni lebih dari 386.000 kasus. Angka ini menurun menjadi lebih dari 127.000 pada tahun 2021 dan terus berkurang pada tahun 2022, yang tercatat sebanyak 25.614 kasus. Namun, tren ini kembali meningkat pada 2023 dengan jumlah 64.855 kasus, dan naik lagi pada tahun 2024 menjadi 77.965 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat PHK tertinggi.
Mengacu pada data terbaru dari Kompas.com, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat sebanyak 24.036 pekerja telah mengalami PHK selama periode Januari hingga April 2025. Jumlah ini mengalami peningkatan lebih dari sepertiga dibandingkan tahun 2024. Tiga daerah dengan angka PHK tertinggi adalah Jawa Barat (10.692 kasus), DKI Jakarta (4.649 kasus), dan Riau (3.546 kasus).
Penyebab terjadinya PHK sangat beragam. Salah satunya adalah kemerosotan ekonomi yang menyebabkan banyak perusahaan tutup akibat turunnya permintaan baik dari dalam maupun luar negeri. Di samping itu, upah yang rendah dan tidak sesuai harapan turut memicu aksi mogok kerja dari para pekerja. Sebagian perusahaan juga terpaksa mengurangi jumlah tenaga kerja demi efisiensi, atau karena perubahan arah bisnis yang membuat posisi tertentu tidak lagi relevan.
PHK menjadi momok yang menakutkan bagi para pekerja. Mereka yang semula semangat bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, justru harus pulang dengan perasaan kecewa setelah menerima surat PHK. Tidak hanya pekerja yang terdampak, tetapi juga keluarga mereka, khususnya anak-anak yang masih bergantung pada orang tua. PHK membawa kesulitan ekonomi yang memengaruhi kebutuhan sehari-hari, termasuk pendidikan dan kesehatan.
Dampaknya tidak hanya dirasakan secara individu atau keluarga, tetapi juga secara nasional. PHK dapat merusak citra negara, menurunkan daya tarik investasi asing, serta memperlemah kerja sama ekonomi antarnegara. Meskipun negara dengan hubungan diplomatik yang baik dapat mencari bantuan luar negeri, hal ini tetap bukan solusi jangka panjang.
Jelas bahwa PHK bukanlah isu yang sepele. Fenomena ini menghancurkan harapan para pekerja dan keluarganya, serta memberikan dampak besar terhadap kestabilan sosial dan ekonomi negara. PHK tidak hanya terjadi di kalangan buruh pabrik, tetapi juga merambah ke berbagai sektor seperti industri, perdagangan, dan jasa.
Oleh karena itu, pemerintah harus bergerak cepat dan mengambil langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Situasi Indonesia saat ini sudah cukup memprihatinkan. Sebelum gelombang PHK pun, Indonesia telah dihadapkan pada tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Jika PHK terus terjadi tanpa penanganan serius, maka krisis sosial dan ekonomi yang lebih besar sangat mungkin terjadi.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.