Oleh : Zahra Nurul*
Hari anti penyiksaan ditetapkan untuk mendukung para korban penyiksaan dan penghapuskan segala bentuk penyiksaan , pada 26 Juni oleh majelis umum perserikatan bangsa bangsa (PBB) yang ditetapkan sebagai hari anti penyiksaan internasional yang diawali dengan konvensi menentang penyiksaan pada tahun 1997.
Dilansir dari website komnasham.go.id penyiksaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang menimbulkan rasa sakit, baik penderitaan jasmani ataupun rohani untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dan dilakukan oleh pejabat publik. Penyiksaan bertujuan untuk menghukum seseorang, mengintimidasi, atau mendapatkan informasi dari mereka. Penyiksaan juga kerap digunakan sebagai hukuman yang dilakukan untuk menyebarkan ketakutan di masyarakat. Komnasham mencatat pada 2021 tercatat 808 aduan, dan meningkat di tahun 2022 menjadi 966 aduan, sehingga terdapat sekitar 1.700 aduan yang berkaitan erat dengan penyiksaan.
Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan melalui Undang-undang No.5 Tahun 1998, namun praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang wenang serta merendahkan martabat manusia masih berlangsung di Indonesia. Adanya undang- undang tersebut nyatanya masih belum bisa meredupkan nyala tindakan penyiksaan, pemberlakuan kejam, dan tindakan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia. Seperti halnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1965 dimana sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan kasus marsinah seorang buruh yang melakukan mogok untuk menuntut kepastian pada perusahaan yang melakukan PHK tanpa alasan, kemudian marsinah ditemukan meninggal lima hari kemudian, juga penyiksaan terhadap orang-oang yang melakukan pergerakan dianggap sebagai lawan politik dan musuh yang harus disingkirkan dan dihilangkan.
Dilansir dari website amnesty.id dalam laporan komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan dalam periode Juni 2021- Mei 2022 tercatat setidaknya 50 kasus penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kasus lain yang lebih besar terjadi di lapangan yang melibatkan Polri, TNI, dan petugas lapas, juga aktor negara lainnya.
Sama halnya dengan kasus-kasus penyiksaan yang didapatkan oleh mahasiswa unjuk rasa, buruh dan rakyat yang berakhir dengan tindakan kekerasan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang disertai penyiksaan kerap dilakukan oleh aparat kepolisian. Penyiksaan merupakan pelanggaran HAM dan tidak dapat diterima dalam masyarakat beradab, penggunaan kekerasan terhadap orang lain tanpa hak untuk melakukannya tidak dapat dibenarkan bahkan jika dilakukan demi keamanan nasional.
Pada senin (26/6/2023) koalisi masyarakat sipil Sumatra Barat (Sumbar) melakukan seruan aksi panggung perlawanan rakyat dalam memperingati hari anti penyiksaan internasional di kantor polda sumbar. Aksi ini merupakan rangkaian aksi kedua yang sebelumnya sudah berjalan melalui diskusi publik dengan tabir gelap penyiksaan di Sumbar. Aksi ini dilakukan untuk menolak dan melawan segala bentuk tindakan penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses memperoleh keterangan dan informasi khususnya yang terjadi di Sumbar.
Indonesia seharusnya sesegera mungkin untuk meratifikasi konvensi anti penyiksaan untuk menjamin warga negaranya bebas dari segala bentuk penyiksaan, sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi , dibatasi, ataupun dihapus dengan alasan dan keadaan apapun serta oleh siapapun termasuk aparat penegak hukum. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 pasal 28 G ayat (2) telah ditegaskan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain,” dapat ditegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.
Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk mengakui dan menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan dan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat yang diperkuat dengan meratifikasikan berbagai perjanjian HAM internasional, mengingat masih terjadi praktik penyiksaan yang melibatkan aparat negara dan memberikan keadilan untuk para korban penyiksaan.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum , Universitas Andalas*