(Ilustrator/Fatiza Khaira)

Oleh: Fatiza Khaira*)

Media sosial kembali ramai memperbincangkan sosok Rara Istiati Wulandari atau yang lebih akrab disapa Mbak Rara sang pawang hujan. Setelah sebelumnya heboh dengan aksinya di Sirkuit Mandalika saat perhelatan MotoGP, kini Mbak Rara menjadi perbincangan kembali saat diketahui gagal menghentikan hujan di sebuah acara konser. Reaksi Netizen melihat aksi Mbak Rara pun beragam, mulai dari merasa marah hingga mengolok-olok. Netizen menilai aksi yang dilakukan Mbak Rara dinilai telah menodai agama dan terkesan musyrik. Namun, ada juga yang berkomentar bahwa yang dilakukan Mbak Rara adalah hal yang harus ditoleransi karena merupakan bentuk dari keberagaman kebudayaan di Indonesia.

Keberadaan Paranormal sebenarnya bukanlah hal yang tabu di Indonesia. Sebelum banyaknya teknologi saat ini, eksistensi paranormal bisa dibilang laris dibandingkan saat ini. Misalnya seperti banyak masyarakat zaman dahulu pergi berobat ke dukun, ingin meminta doa untuk hajat, mendapatkan jodoh, menghalau hujan dan lain sebagainya. Namun, seiring perkembangan zaman dan semakin realistisnya pemikiran manusia, eksistensi Paranormal di kalangan masyarakat mulai menurun.

Jika dilihat berdasarkan perspektif sosiologi, cara berfikir masyarakat Indonesia saat ini kepada Paranormal dapat dilihat berdasarkan hukum tiga stadia atau hukum tiga tahap Auguste Comte. Menurut Comte, hukum tersebut menjelaskan bahwa masyarakat berkembang melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan: teologis, metafisik, dan positif. Pada tahap teologis, masyarakat ditandai dengan pikiran yang masih primitif seperti kepercayaan pada benda-benda yang memiliki kekuatan tersendiri (fetisisme), kepercayaan pada hal supernatural, politeisme, dan monoteisme. Masuk pada tahap metafisik yang merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif, tahap ini ditandai dengan adanya kepercayaan pada hukum-hukum alam yang ditemukan dengan akal budi. Di tahap ini kebenaran dipercayai sebagai asasi sesuai dengan pikiran manusia. Terakhir, tahap positif ditandai dengan adanya kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan. Manusia lebih mempercayai akal budi yang berlandaskan data empiris lalu memperoleh pengetahuan- pengetahuan baru.

Dengan melihat reaksi netizen jika berdasar pada teori dari Auguste Comte, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah mencapai pada tahap positivisme. Hal ini ditandai dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat dan pemikiran rasional yang dimiliki masyarakat Indonesia yang mencerminkan masyarakat positif seperti yang dijelaskan oleh Comte. Namun dibalik itu semua, tentunya masih ada masyarakat masih memiliki kepercayaan masa lalu yang telah tertanam di dalam dirinya. Kepercayaan ini merupakan suatu budaya yang telah lama diturunkan dan melembaga dalam kehidupan masyarakat. Beragamnya reaksi netizen seperti ada yang mendukung dan ada juga yang menganggap sebelah mata dengan mengolok-olok dan mecela kejadian paranormal menganggap bahwa hal ini tidak rasional dan aneh padahal hal tersebut merupakan lumrah dilakukan dahulunya, memperlihatkan adanya ketidaksamarataan pemahaman akan cara pandang mengenai hal paranormal itu sendiri.

Dari sisi budaya, hal ini tentunya sangat disayangkan melihat paranormal merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia dinilai negatif oleh masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri adanya respon negatif ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang sudah mulai beralih menjadi masyarakat positif atau masayarakat yang mengedepankan ilmu pengetahuan empiris dan tidak mudah mempercayai hal-hal paranormal.

Rasionalitas pemikiran manusia berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi. Tetapi nilai-nilai tak terlihat seperti norma, aturan, adab mulai luntur yang menyebabkan kehidupan sosial manusia tak ada batasan dan diluar kendali. Semua hal tersebut penting dimasyarakat, namun bergeser di zaman saat ini. Hal inilah yang perlu diperkuat kembali di zaman sekarang, terutama dalam bermedia sosial. ketikan-ketikan saat berkomentar di media sosial harus beretika, sehingga tidak terjadi ketersinggungan, pembulian, hingga pengolokan seperti kasus diatas.

Meskipun demikian, perilaku netizen yang mencerca dengan perkataan yang menyinggung dan kejam tidak dapat dibenarkan juga. Perilaku initidak mencerminkan sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Komentar-komentar pedas yang terkesan negatif membuat kesan paranormal merupakan tindakan yang buruk.

*) Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik angkatan 2020 Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here