(Ilustrasi/ Vivi Sriani)

Oleh: Rezi Tri Putri, S.Sy., M.H., C.Me 

Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Angka pernikahan di Indonesia pada tahun 2023 dilaporkan mencapai titik terendah selama lebih dari seperempat abad, tepatnya sejak 1996/1997. Sebaliknya, laporan Badan Pusat Statistik ( BPS ) mengungkapkan, angka perceraian di Tanah Air pada tahun lalu terpantau tertinggi kedua dalam kurun waktu yang sama.

BPS mencatat, 1,49 juta pasangan melangsungkan pernikahan pada 1996/1997. Jumlah ini berfluktuatif hingga mencapai angka 2,21 juta pasangan pada tahun 2013 dan 2,11 juta pasangan pada tahun 2014. Sempat turun, angka pernikahan kembali naik pada 2018 dengan total 2,01 juta pasangan. Namun, sejak itu, pernikahan tercatat turun secara signifikan.

Dikutip dari Kompas, pada 2019, BPS melaporkan ada 1,96 juta pasangan menikah. Jumlahnya kembali turun pada 2020 menjadi 1,78 juta pasangan, diikuti pada 2021 dengan 1,74 juta pernikahan, serta 2022 dengan total 1,70 juta pasangan. Angka perkawinan di Indonesia kembali turun sekitar 128.000 menjadi “hanya” 1,58 juta pasangan pada 2023. Di sisi lain, tren perceraian cenderung menunjukkan peningkatan selama lebih dari seperempat abad, dengan total 114.252 pasangan bercerai sepanjang 1996/1997. Sepuluh tahun berikutnya, angka perceraian melambung menjadi sebanyak 365.654 pada 2016 dan 374.516 pada 2017.

Angka kembali naik hingga mencapai 408.202 pasangan bercerai pada 2018, serta 439.002 pasangan pada 2019. Meski sempat menyentuh 200.000-an pada 2020, jumlahnya terpantau melonjak lagi sebanyak 447.743 di 2021. Hingga pada 2022, total pasangan Indonesia yang bercerai melambung ke angka 516.344 cerai, mencatatkan sejarah perpisahan rumah tangga tertinggi sejak 1996. Kendati tahun selanjutnya turun sebanyak 52.690 pasangan, jumlah perceraian di Tanah Air pada 2023 masih relatif banyak, yakni 463.654 pasangan.

Maraknya perceraian yang terjadi belakangan ini telah mengakibatkan penurunan signifikan terhadap angka pernikahan, dimana hal ini menandakan adanya pergeseran pandangan terhadap keinginan seseorang untuk menjalin hubungan pernikahan. Namun sebenarnya bagaimana implikasi sosial terhadap masyarakat dari naiknya angka perceraian yang menyebabkan turunnya angka pernikahan? Lalu apakah pernikahan usia dini berpengaruh terhadap tingkat perceraian di pengadilan? Serta apakah ada upaya hukum yang diambil untuk mengatasi angka perceraian yang naik dan angka pernikahan yang turun?

1. Bagaimana implikasi  sosial terhadap masyarakat dari naiknya angka perceraian dan turunnya angka perkawinan dalam konteks kebijakan perkawinan dan perceraian yang ada?

Implikasi sosial terhadap masyarakat dari penurunan angka perkawinan merupakan refleksi dari meningkatnya tingkat perceraian dalam masyarakat. Fenomena ini muncul karena adanya prevalensi yang tinggi dari perceraian di kalangan masyarakat, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi persepsi dan sikap individu serta kelompok terhadap institusi perkawinan. Sebagai akibatnya, orang-orang menjadi enggan untuk menikah atau mengikat diri dalam ikatan perkawinan yang serius. Mereka mungkin merasa tidak yakin atau ragu-ragu tentang keberlanjutan dan keberhasilan pernikahan mereka di tengah-tengah lingkungan sosial yang diwarnai oleh kegagalan hubungan. Selain itu, tren sosial saat ini yang menyoroti kebebasan individual dan penghargaan terhadap pilihan hidup juga memainkan peran penting dalam keputusan untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan. Hal ini mencerminkan perubahan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang memengaruhi pandangan tentang hubungan interpersonal dan komitmen jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kompleksitas faktor-faktor sosial, budaya, dan ekonomi yang memengaruhi dinamika perkawinan dalam masyarakat modern, serta untuk mengembangkan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan ini secara efektif.

2. Apakah perkawinan usia muda atau perkawinan dini berpengaruh terhadap tingkat perceraian di pengadilan?

Benar, terdapat korelasi yang signifikan antara usia perkawinan dan tingkat perceraian dalam masyarakat. Orang-orang yang menikah di usia muda atau yang mengajukan dispensasi nikah di Pengadilan Agama karena menikah di bawah batas usia yang ditetapkan oleh undang-undang perkawinan, seringkali menghadapi risiko perceraian yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa usia perkawinan memainkan peran penting dalam stabilitas hubungan perkawinan. Meskipun tidak semua pasangan yang menikah di usia muda akan bercerai, namun kematangan emosional, sosial, dan finansial seringkali belum tercapai sepenuhnya pada usia tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan kesulitan dalam menangani konflik, mengelola tanggung jawab rumah tangga, dan mempertahankan komitmen jangka panjang dalam perkawinan. Namun, perlu dicatat bahwa tidak hanya pasangan muda yang menghadapi risiko perceraian, karena faktor-faktor lain seperti komunikasi yang buruk, ketidakcocokan nilai-nilai, dan perubahan lingkungan sosial juga dapat memengaruhi stabilitas perkawinan pada segala usia. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan peran usia perkawinan sebagai salah satu faktor yang memengaruhi tingkat perceraian, sambil juga mengakui kompleksitas dari berbagai faktor lain yang turut berkontribusi dalam dinamika hubungan perkawinan.

3. Apakah ada upaya hukum yang diambil untuk mengatasi angka perceraian naik dan angka perkawinan yang turun?

Untuk mengatasi permasalahan tingginya angka perceraian di Indonesia, pemerintah telah melakukan upaya hukum dengan memperbarui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Usia Perkawinan, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 7 undang-undang baru ini, aturan mengenai usia perkawinan telah diubah, dengan menetapkan usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mencegah praktik pernikahan dini yang seringkali menjadi pemicu dari tingginya angka perceraian. Diharapkan dengan menunda usia perkawinan hingga 19 tahun, baik perempuan maupun laki-laki akan lebih matang secara emosional, finansial, dan reproduktif, sehingga lebih siap untuk menjalani kehidupan pernikahan.

Selain itu, Kementerian Agama juga melakukan upaya hukum dengan mendirikan Badan Penasehat, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di setiap Kantor Urusan Agama. BP4 berperan sebagai lembaga yang memberikan solusi atas permasalahan rumah tangga bagi pasangan suami istri sebelum masalah tersebut sampai ke pengadilan. Namun, masih terdapat kendala dalam sosialisasi BP4 kepada masyarakat, sehingga banyak yang tidak mengetahui keberadaannya. Upaya ini penting dalam menekan angka perceraian karena memberikan alternatif penyelesaian masalah rumah tangga secara lebih efektif dan efisien.

Selain perubahan hukum, pemerintah juga memberikan upaya untuk meningkatkan akses perkawinan dengan menyelenggarakan pernikahan di Kantor Urusan Agama secara gratis, sehingga memungkinkan masyarakat yang kurang mampu untuk melaksanakan pernikahan. Hal ini merupakan langkah yang sangat positif dalam mengurangi hambatan finansial yang seringkali menjadi penghalang bagi pasangan yang ingin menikah. Dengan demikian, melalui serangkaian upaya hukum dan kebijakan ini, diharapkan dapat tercapai penurunan angka perceraian serta peningkatan keberlangsungan dan kualitas perkawinan di masyarakat.

* Narasumber merupakan Pengacara pada Kantor Pengacara Advocates & Legal Consultants SUDI PRAYITNO, S.H., LL.M. dan Dosen Ilmu Hukum Universita Islam Sumatera Barat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here