Oleh: Frans Tama Lodewix*
Pemilihan Umum Raya Keluarga Mahasiswa Universitas Andalas (Pemira KM UNAND) 2025 tampaknya bukan hanya menyajikan drama minimnya partisipasi mahasiswa, tetapi juga memperlihatkan betapa kacaunya tata kelola penyelenggara yang seharusnya menjadi fondasi kokoh demokrasi kampus. Tahun ini bukan hanya tercatat sebagai tahun dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) paling sedikit, tetapi juga tahun dengan kekeliruan paling mencolok, di mana Badan Pemilihan Umum (BPU) dan Panitia Pemilihsn Umum (PPU) tampaknya lebih sibuk merayakan kesuksesan prosedural daripada mengurus kualitas pelaksanaannya secara substansial. Narasi keberhasilan yang digaungkan panitia terasa timpang jika dibandingkan dengan berbagai persoalan teknis dan administratif yang dialami langsung oleh mahasiswa sebagai pemilih.
Masalah pertama yang langsung mencolok adalah registrasi akun pemira yang rumitnya bak ujian masuk ke dunia lain. Mahasiswa harus melewati alur yang panjang, membingungkan, dan tidak intuitif, seolah-olah sistem ini dirancang bukan untuk mempermudah, tetapi untuk menyaring siapa saja yang cukup nekat untuk terus mencoba. Alih-alih memfasilitasi hak pilih mahasiswa, sistem ini justru menghalanginya. Banyak mahasiswa mengeluhkan akun yang tidak kunjung diverifikasi, notifikasi yang tidak jelas, hingga minimnya panduan teknis yang mudah diakses. Dan ketika penyelenggara bertanya kenapa partisipasi rendah?, mungkin jawabannya tidak perlu dicari terlalu jauh. Ia sudah terpampang jelas di pengalaman pemilih itu sendiri.
Kerumitan registrasi tersebut bukan sekadar persoalan teknis, tetapi memiliki implikasi serius terhadap hak politik mahasiswa. Dalam konteks pemilihan, akses adalah prasyarat demokrasi. Ketika akses dipersulit, maka yang terjadi adalah eksklusi, baik disengaja maupun tidak. Demokrasi kampus yang seharusnya inklusif justru berubah menjadi arena yang hanya bisa diikuti oleh mereka yang berhasil menembus rintangan administratif.
Namun kerumitan registrasi hanyalah pintu masuk menuju masalah yang lebih besar, yakni penyusunan DPT yang tidak melibatkan tim dari pasangan calon presiden mahasiswa. Bagaimana mungkin sebuah proses yang menentukan siapa yang berhak memilih, yang merupakan jantung legitimasi pemilihan, ditentukan sepihak oleh panitia tanpa menghadirkan mekanisme kontrol dari pihak kandidat. Tanpa keterlibatan tim pasangan calon, transparansi menjadi ilusi. Proses verifikasi DPT berubah menjadi ruang gelap yang hanya diketahui oleh panitia, sementara publik kampus dipaksa percaya bahwa semuanya berjalan baik-baik saja tanpa bukti yang dapat diuji.
Ironisnya lagi, persoalan ini diperparah oleh ketidakjelasan standar verifikasi DPT. Hingga hari pemilihan berlangsung, tidak pernah ada penjelasan terbuka mengenai kriteria kelayakan seseorang untuk masuk dalam DPT. Mahasiswa tidak tahu apa yang membuat mereka layak atau tidak layak menjadi pemilih. Tidak ada indikator yang diumumkan secara resmi, tidak ada SOP yang dibuka ke publik, dan tidak ada forum klarifikasi yang memadai. Dalam demokrasi, ketertutupan semacam ini bukan hal sepele. Ia adalah jalan pintas menuju krisis legitimasi.
Persoalan paling fatal muncul ketika ditemukan adanya nama ganda dalam DPT, bahkan terdapat kasus mahasiswa yang bisa melakukan login lebih dari satu kali. Ini bukan lagi kesalahan administratif ringan yang bisa dimaklumi, melainkan bentuk kelalaian tingkat tinggi. Kesalahan mendasar ini menggambarkan bahwa verifikasi DPT dilakukan secara tergesa-gesa, tanpa sistem pengaman yang layak, atau tanpa audit data yang serius. Jika satu orang bisa terdaftar dua kali, maka pertanyaan yang wajar muncul adalah bagaimana panitia memastikan tidak ada ruang manipulasi atau penyalahgunaan yang lebih besar.
Di titik ini, akuntabilitas penyelenggara bukan hanya diragukan, tetapi kehilangan arah. Kepercayaan publik kampus yang seharusnya dijaga justru tergerus oleh fakta-fakta yang menunjukkan lemahnya tata kelola pemilihan. Padahal, BPU dan PPU memegang peran strategis sebagai wasit demokrasi kampus. Ketika wasit gagal bersikap profesional dan transparan, maka hasil pertandingan, seberapa pun sah secara formal, akan selalu dibayangi tanda tanya.
Rangkaian masalah tersebut menunjukkan satu kesimpulan penting. Penyelenggara pemira gagal memenuhi standar minimal sebuah pemilihan yang kredibel. BPU dan PPU tidak hanya lalai, tetapi juga tampak tidak siap menjalankan proses yang menuntut ketelitian, keterbukaan, serta mekanisme kontrol yang jelas. Demokrasi kampus bukan sekadar agenda tahunan yang harus selesai tepat waktu. Ia memerlukan integritas, profesionalisme, dan kesadaran bahwa setiap detail teknis memiliki dampak politik yang nyata.
Pemira UNAND 2025 akhirnya bukan hanya menjadi cerita tentang rendahnya partisipasi mahasiswa, tetapi juga tentang kegagalan panitia dalam memastikan kredibilitas proses. Ketika penyelenggara tidak transparan, tidak teliti, dan tidak akuntabel, maka yang lahir bukan demokrasi, melainkan formalitas tahunan yang tampak rapi di poster dan laporan, namun rapuh di balik layar. Dalam kondisi seperti ini, kritik bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan upaya menjaga marwah demokrasi kampus.
*Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas







