• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Sabtu, 6 Desember 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Aspirasi

Warga Aceh Tamiang Terpuruk : Krisis Pangan dan Air di Tengah Isolasi

oleh Redaksi
Jumat, 5 Desember 2025 | 21:39 WIB
di Aspirasi
0
(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

ShareShareShareShare

Oleh: Nia Rahmayuni*

Bencana banjir yang melanda Aceh Tamiang dan sejumlah daerah di Aceh kembali membuka kenyataan pahit bahwa negara belum sepenuhnya siap menghadapi situasi darurat yang membutuhkan respons cepat dan merata. Sejak akhir November 2025, banjir besar dan longsor membuat akses ke banyak wilayah terputus total. Warga di sejumlah kecamatan dilaporkan belum makan selama empat hari dan terpaksa meminum air banjir untuk bertahan hidup. Kondisi ini bukan hanya menggambarkan betapa besar dampak bencana, tetapi juga menunjukkan kegentingan situasi yang mengarah pada krisis kemanusiaan.

CNN Indonesia melaporkan bahwa sejumlah warga Aceh Tamiang terpaksa “meminum air banjir yang mereka panaskan seadanya” setelah pasokan logistik tak kunjung tiba (02/12/2025). Dalam laporan tersebut, seorang warga mengatakan bahwa mereka sudah tiga hingga empat hari tidak menerima makanan dari pihak mana pun. “Kami sudah 3–4 hari belum makan, bantuan sama sekali belum kami terima,” kata salah satu warga dalam laporan CNN Indonesia (02/12/2025). Kutipan ini memperlihatkan betapa rentannya kondisi masyarakat akibat isolasi wilayah yang berlangsung berhari-hari.

Situasi semakin memburuk karena setidaknya empat kabupaten termasuk Aceh Tamiang, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Tengah mengalami kerusakan parah pada infrastruktur utama. Berdasarkan informasi yang dirilis CNN Indonesia, jalur darat menuju ke beberapa daerah tersebut tidak bisa ditembus karena jalan amblas, jembatan runtuh, dan longsor yang menutup badan jalan (02/12/2025). Kondisi ini membuat distribusi logistik tidak bisa dilakukan secara normal. Pemerintah daerah maupun BNPB terpaksa mengandalkan jalur udara di beberapa titik karena akses darat sama sekali tidak memungkinkan.

Banyak daerah di Aceh Tamiang masih tergenang air. Laporan lanjutan dari media lokal menyebutkan bahwa ketinggian air di beberapa wilayah bahkan belum menunjukkan tanda-tanda surut. Banyak rumah tenggelam; warga mengungsi ke gedung sekolah atau balai desa; sebagian lainnya memilih bertahan di rumah panggung dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Dalam laporan tersebut, seorang warga mengaku bahwa ia dan keluarganya terpaksa mengonsumsi air banjir karena tidak ada akses menuju air bersih. “Air minum tidak ada, terpaksa kami panaskan air banjir supaya bisa diminum,” ujarnya dalam laporan Murianews (02/12/2025).

Di tengah situasi yang semakin kritis, Bupati Aceh Tamiang meminta bantuan helikopter dari Polri untuk mengirimkan logistik ke daerah-daerah yang terisolir. Dalam laporan Popularitas.com, Bupati Armia Fahmi mengatakan bahwa sebagian besar kecamatan di Aceh Tamiang tidak bisa dijangkau dengan kendaraan darat. “Kami sangat membutuhkan helikopter untuk menurunkan logistik ke daerah yang sama sekali tidak bisa diakses,” kata Armia Fahmi dalam laporan Popularitas.com (02/12/2025). Permintaan tersebut menunjukkan bahwa skala keterisolasian jauh lebih besar dari perkiraan awal, sehingga jalur udara menjadi satu-satunya solusi paling memungkinkan.

Kondisi psikologis warga pun tampak tertekan. Di sebuah posko pengungsian, jurnalis Najwa Shihab mendapatkan pertanyaan polos dari seorang bocah pengungsi. “Kak, kapan kami bisa pulang?” tanya bocah tersebut dalam laporan Serambinews (02/12/2025). Pertanyaan sederhana itu menyentuh sisi manusiawi dari tragedi ini. Kita diingatkan bahwa bencana bukan hanya tentang rumah rusak atau jalan putus, tetapi juga tentang harapan yang menipis, rasa aman yang hilang, dan ketidakpastian masa depan yang dirasakan oleh anak-anak, orang tua, hingga lansia.

Ketika kondisi seperti ini terjadi, kritik terhadap pemerintah baik pusat maupun daerah pun tidak terhindarkan. Respons lambat, koordinasi yang tidak maksimal, dan distribusi yang tidak merata sering menjadi sorotan dalam setiap bencana besar. Namun kritik tersebut bukan semata untuk menyalahkan, melainkan sebagai dorongan agar negara hadir lebih sigap dan terukur. Dalam kondisi darurat, kecepatan bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban moral.

Jika merujuk pada pengalaman sebelumnya, Aceh adalah daerah yang bisa dikatakan sering dilanda banjir ketika curah hujan tinggi terjadi secara terus-menerus. Namun fakta bahwa bencana serupa terus menimbulkan kerusakan dan isolasi besar-besaran memperlihatkan bahwa mitigasi jangka panjang belum berjalan optimal. Infrastruktur penyangga, pemetaan wilayah rawan, hingga sistem evakuasi standar tampak belum mampu menahan dampak bencana dalam skala besar seperti tahun ini.

Pembenahan jangka panjang tentu penting, tetapi kebutuhan mendesak hari ini adalah menyelamatkan nyawa. Distribusi makanan, air bersih, obat-obatan, dan fasilitas kebersihan harus menjadi prioritas utama. Pengiriman logistik melalui helikopter tidak boleh menunggu berlarut-larut. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa data penerima bantuan akurat sehingga tidak ada desa yang terabaikan. Banyak laporan dari masyarakat menyebutkan bahwa beberapa wilayah tidak tersentuh bantuan sama sekali selama beberapa hari. Kondisi ini mengancam keselamatan warga dan dapat memicu masalah kesehatan baru seperti diare, infeksi kulit, hingga demam berdarah.

Di sisi lain, perhatian publik juga sangat dibutuhkan. Bencana bukan hanya urusan pemerintah; kepedulian sesama adalah kekuatan besar yang sering kali mampu membantu masyarakat bertahan dalam masa-masa sulit. Donasi, penggalangan dana, dan kerja relawan tetap menjadi bagian penting dalam mempercepat pemulihan awal. Jika negara gagal hadir dalam hal yang paling kritis, maka masyarakat akan selalu menjadi korban berulang dalam setiap bencana. Di tengah air yang belum surut, harapan warga tetap sama: ingin selamat, ingin makan, ingin kembali ke rumah, dan ingin hidup layak seperti sebelumnya. Kemanusiaan seharusnya menjadi prioritas paling tinggi. Kita tidak ingin menunggu lebih banyak korban untuk bertindak. Aceh Tamiang menunggu dan negara harus hadir sepenuhnya.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Tag: #unandbencana alamGenta Andalas

Baca Juga

Kedaulatan Digital dan Ancaman Pemblokiran ChatGPT

Kedaulatan Digital dan Ancaman Pemblokiran ChatGPT

Rabu, 3 Desember 2025 | 17:34 WIB
Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

Selasa, 2 Desember 2025 | 13:48 WIB
Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

Minggu, 30 November 2025 | 19:06 WIB
Pengangkatan Marsinah Menjadi Pahlawan Nasional simbol pengakuan negara terhadap suara buruh

Pengangkatan Marsinah Menjadi Pahlawan Nasional: Simbol Pengakuan Negara terhadap Suara Buruh

Sabtu, 15 November 2025 | 07:12 WIB
Hilang Tiga Nol : Redenominasi atau Kebingungan Publik

Hilang Tiga Nol : Redenominasi atau Kebingungan Publik

Rabu, 12 November 2025 | 13:05 WIB

Soeharto Resmi Jadi Pahlawan Nasional: Antara Warisan Pembangunan dan Luka Sejarah

Selasa, 11 November 2025 | 00:27 WIB

TERPOPULER

  • Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

    Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Aksi Telepon Gelap Intimidasi Mahasiswa UNAND

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Jejak Perjuangan Raden Hamzah: Panglima Perang Kesultanan Jambi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Korupsi di UNAND 3,57 Miliar, 12 Orang Tersangka Termasuk Mantan Wakil Rektor l

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak