• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Kamis, 4 Desember 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Wawasan

Jejak Perjuangan Raden Hamzah: Panglima Perang Kesultanan Jambi

oleh Redaksi
Kamis, 4 Desember 2025 | 20:21 WIB
di Wawasan
0
(Dok.Pribadi)

(Dok.Pribadi)

ShareShareShareShare

Nama Raden Hamzah bin Pangeran Ojoet mungkin belum banyak dikenal di daerah luar Jambi. Namun, jejak perjuangannya menyimpan kisah penting tentang perlawanan rakyat Jambi terhadap kolonialisme Belanda pada awal abad ke-20. Melalui penelitian arkeologi yang dilakukan di daerah Bungo, terungkap lanskap perjuangan seorang panglima perang Sultan Taha. Penelitian yang dilakukan oleh tim arkeologi tidak hanya sekedar menelusuri kuburan dan tempat eksekusi Raden Hamzah, tetapi juga turut menghidupkan memori kolektif pada salah satu tokoh bangsawan Jambi yang memiliki peran yang besar.

Raden Hamzah merupakan anak dari Pangeran Ojoet, serta cucu dari Pangeran Kartawijaya yang bersaudara dengan Sultan Taha. Maka secara garis keturunan, Raden Hamzah ialah cucu dari Sultan Taha. Ia lahir dari lingkungan keluarga bangsawan Kesultanan Jambi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, yang mempunyai garis hubungan dengan Putri Pinang Masak, putri dari kerajaan Pagaruyuang yang menikah dengan penguasa Jambi.

Jambi dahulunya merupakan sebuah Kesultanan. Menurut kronik sejarah tradisional yang tertulis dalam Descript 1858, disebutkan bahwa ketika Rangkayo Hitam menjadi pangeran di Jambi, ia berhasil mengalahkan Sultan Agung. Karena kekalahan itulah Sultan Agung menikahkan putrinya dengan Rangkayo Hitam dan memberikan mas kawin berupa sebuah keris yang disebut dengan Keris Siginjai. Dari sinilah awal mula berdirinya Kesultanan Jambi.

Kolonialisme Belanda juga terjadi di daerah Jambi. Intervensi Belanda semakin kuat setelah munculnya perundang-undangan tahun 1866 yang mengatur tata pemerintahan Hindia Belanda. Sejak saat itu, Belanda mulai ikut campur dalam tatanan sosial di daerah Jambi. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi para bangsawan Jambi yang sejak lama telah memimpin masyarakatnya.

Pada masa Sultan Taha, mulai muncul perlawanan intens terhadap Belanda. Berdasarkan sumber Belanda serta catatan mengenai Sultan Taha sebagai pahlawan nasional, perlawanan gerilya dimulai tahun 1905. Di mana ia membangun benteng-benteng pertahanan di Muara Kubu dan Muaro Bungo. Perlawanan ini melibatkan banyak bangsawan lain seperti Raden Umar, Raden Pamung, Putri Rafi’ah, serta Raden Hamzah yang dipercaya sebagai panglima perang Sultan Taha di daerah Muaro Bungo. Titik-titik perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Taha meliputi daerah Limbur, Merangin, Tembesi hingga sampai perbatasan Indragiri.

Namun, ketika Sultan Taha dianggap terbunuh, yang mana dalam beberapa catatan sejarah menyebut ia terbunuh pada saat Perang Rantau Kikil, ada pula yang menyebut di Betung Bedarah, dan ada juga yang menyebut beliau tidak meninggal, tetapi mengungsi ke Pesisir Barat Sumatera di Tarusan. Pada sepeninggal Sultan Taha itulah, muncul Raden Hamzah yang memegang kendali sebagai pimpinan perang Kesultanan Jambi.

Semasa menjadi pimpinan perang, Raden Hamzah tetap mengikuti pola peperangan yang sudah dibangun oleh Sultan Taha. Di mana dengan membangun 12 benteng yang semuanya adalah gaya gerilya Sultan Taha. Titik-titik persebaran benteng tersebut menyebar dari Muaro Bungo, Tembesi, Padang Lawas, hingga Sarolangun.

Gerakan gerilya nya mirip dengan pola gerilya di banyak wilayah Indonesia, yaitu bergerak mengikuti patroli Belanda. Ketika Belanda memeriksa suatu wilayah, pasukan Raden Hamzah mencegat, bertempur, lalu berpindah. Selama ia menjadi pimpinan perang, Raden Hamzah sangat dicari oleh Belanda. Pos-pos yang dianggap potensial selalu diperiksa Belanda, bahkan mereka dibantu oleh keluarga bangsawan Jambi yang memihak Belanda.

Salah satu dosen Arkeologi UNAND, Alfa Noranda, yang ikut dalam penelitian ini memaparkan bahwa Raden Hamzah sebagai panglima dan pimpinan perang pada masa itu memiliki peran besar dalam melawan kolonialisme Belanda. Atas peran besar tersebutlah yang menjadi dasar pengusulannya menjadi pahlawan nasional dari Jambi.

Pada saat wafat, beliau dicegat dan ditangkap di salah satu bukit di daerah perbatasan antara Taman Nasional Seblat (TNS) dan Taman Nasional Kerinci, kawasan terlindung Kerinci yang berbatasan langsung dengan Lubuk Mengkuang, Limbur. Berdasarkan catatan dan cerita masyarakat setempat, ia dibawa ke Limbur dan dieksukusi di sana.

Walaupun rentang perjuangan Raden Hamzah singkat, yaitu dari tahun 1905-1906, pemberitaan mengenai wafatnya oleh Belanda berlangsung lama hingga tahun 1919. Hal ini  menunjukkan seberapa besar pengaruh Raden Hamzah dalam melawan kolonialisme Belanda di daerah Bungo, Jambi.

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Tag: Arkeologisejarah

Baca Juga

Fenomena Echo Chamber di Era Masyarakat Digital

Selasa, 4 November 2025 | 10:40 WIB
Kompleks Makam Kuno Malalo: Bukti Tradisi Berkelanjutan dari Megalitik hingga Islam

Kompleks Makam Kuno Malalo: Bukti Tradisi Berkelanjutan dari Megalitik hingga Islam

Jumat, 5 September 2025 | 22:33 WIB
Persepsi Gunung Padang: Bagaimana Pseudoarkeologi  Mempengaruhi Imajinasi Publik

Persepsi Gunung Padang: Bagaimana Pseudoarkeologi Mempengaruhi Imajinasi Publik

Rabu, 16 Juli 2025 | 12:06 WIB
Menyingkap Flora Langka Nusantara, Dua Begonia Baru Ditemukan

Menyingkap Flora Langka Nusantara, Dua Begonia Baru Ditemukan

Rabu, 25 Juni 2025 | 20:52 WIB
Terravor, Inovasi Unik Tumbuhan Karnivora sebagai Penghias Ruangan

Terravor, Inovasi Unik Tumbuhan Karnivora sebagai Penghias Ruangan

Selasa, 24 Oktober 2023 | 20:59 WIB

Sariang, Teknologi Pintar Filtrasi Minyak Jelantah Berstandar SNI

Minggu, 15 Oktober 2023 | 13:56 WIB

TERPOPULER

  • Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

    Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Pauh Usai Banjir, Fasilitas Rusak dan Upaya Pembersihan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Aksi Telepon Gelap Intimidasi Mahasiswa UNAND

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Banjir Semakin Meluas, UNAND Buka Posko Keamanan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak