• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Selasa, 2 Desember 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Aspirasi

Penolakan Status Bencana Nasional yang Mengorbankan Rakyat Sumatera

oleh Redaksi
Selasa, 2 Desember 2025 | 13:48 WIB
di Aspirasi
0
(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

(Ilustrasi/Tantri Pramudita)

ShareShareShareShare

Oleh: Zaki Latif Bagia Rahman*

 

Bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) pada November 2025 telah menimbulkan duka mendalam dengan jumlah korban jiwa yang signifikan serta kerugian material yang masif. Meskipun skala dampaknya yang luas dan mendesak, hingga akhir November 2025 status yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih berada pada tingkat bencana daerah (provinsi), bukan bncana nasional.

Keputusan untuk tidak menaikkan status menjadi bencana nasional didasarkan pada pertimbangan kriteria dan kapasitas penanganan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Alih-alih mencerminkan kemampuan daerah, keputusan ini justru mengindikasikan adanya keengganan politis dan birokratis untuk memikul tanggung jawab penuh atas status bencana nasional, meskipun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kapasitas daerah telah lama terlampaui.

Alasan utama yang selalu diusung oleh BNPB adalah bahwa “kapasitas komando dan koordinasi penanganan darurat di tingkat pemerintah daerah masih dinilai mampu.” Pernyataan ini patut dipertanyakan. Sebab, fakta-fakta yang terjadi selama bencana ini justru menunjukkan ketidaksiapan dan keterbatasan pemerintah daerah dalam merespons keadaan darurat.

Penyebaran Bencana. Bencana ini melanda tiga provinsi besar (Aceh, Sumut, Sumbar) yang memiliki karakteristik geografis yang kompleks serta memerlukan mobilisasi alat berat dan personel spesialis dalam jumlah besar. Jelas bahwa kebutuhan logistik, alat berat, dan tenaga medis spesialis untuk operasi SAR dan penanganan pengungsi di tiga provinsi secara simultan melampaui APBD dan kapasitas SDM daerah.

Koordinasi Lintas Provinsi. Bencana berskala regional seperti ini menuntut adanya komando tunggal dan dukungan sumber daya nasional untuk memastikan pembagian beban yang adil dan efisien, bukan sekadar koordinasi ad hoc antar gubernur. Penetapan status nasional diperlukan untuk mengatasi potensi konflik kepentingan maupun prioritas antarprovinsi yang berebut untuk memperoleh sumber daya bantuan.

Dengan tetap berstatus bencana daerah, pemerintah pusat secara efektif mendistribusikan beban kegagalan pra-bencana dan penanganan darurat kepada pemerintah daerah yang minim sumber daya, sementara pusat hanya bertindak sebagai “donatur” yang bersifat top-down, bukan sebagai komandan penanggung jawab penuh.

Dampak terbesar dari penolakan status nasional tampak pada aspek pendanaan dan akuntabilitas. Kondisi ini berpotensi akan menimbulkan beberapa kesulitan dan hambatan dalam penyaluran bantuan. Salah satunya adalah pemanfaatan dana tidak maksimal. Meskipun dana kontingensi (Dana Siap Pakai) dari pemerintah pusat dikucurkan, proses penganggaran dan penyaluran dana pascabencana baik untuk rehabilitasi maupun rekonstruksi akan berjalan lebih lambat dan terfragmentasi jika harus disalurkan melalui mekanisme APBD masing-masing provinsi.

Status nasional akan membuka keran anggaran khusus yang lebih besar, cepat, dan lebih terpusat. Minimnya pengawasan pusat juga jadi persoalan Penetapan status bencana nasional menuntut pengawasan dan akuntabilitas yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga pengawas pusat seperti BPK dan DPR. Dengan menahan status tersebut, pemerintah pusat berpotensi menghindari sorotan intensif serta penilaian menyeluruh terhadap mitigasi bencana yang telah dilakukan sebelum kejadian.

Keputusan ini juga dapat dilihat sebagai upaya “de-eskalasi” narasi krisis. Pengakuan resmi sebagai bencana nasional berarti mengakui bahwa situasi telah mencapai telah mencapai tingkat darurat tertinggi negara, yang pada akhirnya dapat berdampak pada citra stabilitas pemerintah dan fokus politik. Menetapkan bencana nasional juga berarti mengakui bahwa kebijakan tata ruang, pengendalian alih fungsi lahan, terutama sawit dan tambang di wilayah hulu serta program mitigasi bencana di tiga provinsi tersebut telah gagal secara sistemik.

Hal ini tentu akan berdampak besar terhadap kepuasan masyarakat terhadap pemerintah, dimana jika pemerintah menetapkan bencana yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera sebegai bencana nasional, tentu aliran bantuan akan jauh leboh banyak, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Pemerintah mungkin khawatir isu penebangan pohon secara masif di Pulau Sumatera serta penambangan ilegal yang merusak tatanan alam, akan mencuat hingga ke tingkat internasional dan memperburuk citra pemerintah.

Dengan mempertahankan status bencana daerah, pemerintah pusat tetap dapat mengontrol narasi dan memfokuskan perhatian media hanya pada penyaluran logistik, bukan pada akar masalah ekologis dan struktural yang menyebabkan bencana berulang ini.

Kesimpulannya, penolakan pemerintah pusat untuk menaikkan bencana Sumatera pada November 2025 sebagai bencana nasional bukan disebabkan “kapasitas daerah yang memadai,” melainkan karena kalkulasi politik dan birokratis untuk melepaskan diri dari tanggung jawab komando penuh, serta menghindari pemanfaatan anggaran yang lebih besar dan mengelak dari sorotan terhadap kegagalan mitigasi bencana yang bersifat sistemik.

Korban jiwa dan kerugian yang terjadi menjadi harga yang harus dibayar oleh masyarakat akibat ketidaktegasan pemerintah pusat dalam memimpin penanganan krisis berskala regional.

 

*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Label: #unand #genta Andalas #Marsinahbencana daerahbencana nasionalGenta AndalaspemerintahUnand

Baca Juga

Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

Minggu, 30 November 2025 | 19:06 WIB
Pengangkatan Marsinah Menjadi Pahlawan Nasional simbol pengakuan negara terhadap suara buruh

Pengangkatan Marsinah Menjadi Pahlawan Nasional: Simbol Pengakuan Negara terhadap Suara Buruh

Sabtu, 15 November 2025 | 07:12 WIB
Hilang Tiga Nol : Redenominasi atau Kebingungan Publik

Hilang Tiga Nol : Redenominasi atau Kebingungan Publik

Rabu, 12 November 2025 | 13:05 WIB

Soeharto Resmi Jadi Pahlawan Nasional: Antara Warisan Pembangunan dan Luka Sejarah

Selasa, 11 November 2025 | 00:27 WIB
Solidaritas Perempuan, Jangan Hanya di Media Sosial

Solidaritas Perempuan, Jangan Hanya di Media Sosial

Jumat, 5 September 2025 | 22:58 WIB
Sejarah Publik:  Alternatif Karier Non Akademis

Sejarah Publik: Alternatif Karier Non Akademis

Kamis, 4 September 2025 | 08:44 WIB

TERPOPULER

  • Pauh Usai Banjir, Fasilitas Rusak dan Upaya Pembersihan

    Pauh Usai Banjir, Fasilitas Rusak dan Upaya Pembersihan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Mahasiswa UNAND Gelar Aksi: Tuntut Transparansi Anggaran, Wakaf Wajib, hingga Tuntaskan Kasus Korupsi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Aksi Telepon Gelap Intimidasi Mahasiswa UNAND

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Ketika Kebijakan Menyebabkan Bencana

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • UNAND Angkat Bicara Kasus Korupsi Rp3,57 Miliar

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak