• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Senin, 17 November 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas
Home Berita

Buya Hamka: Dari Lembah Maninjau Ke Panggung Sejarah

oleh Redaksi
Jumat, 31 Oktober 2025 | 22:26 WIB
di Berita, Feature
0
Amir Syakib, anak bungsu Buya Hamka menyambut kedatangan pengunjung Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka pada Minggu (26/10/2025) (Genta Andalas/Pitri Yani)

Amir Syakib, anak bungsu Buya Hamka menyambut kedatangan pengunjung Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka pada Minggu (26/10/2025) (Genta Andalas/Pitri Yani)

ShareShareShareShare

Oleh: Pitri Yani*

Di tepi Danau Maninjau yang bening, diapit oleh lembah dan bukit yang diselimuti kabut, berdirilah sebuah rumah panggung sederhana. Rumah panggung yang menjadi saksi bisu perjalanan seorang ulama besar sekaligus sastrawan Indonesia, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Dari rumah inilah kisah panjang itu berawal. Kisah seorang anak kampung yang kelak menjelma menjadi cendekiawan dan tokoh bangsa, yang pemikirannya menembus batas negeri hingga ke tanah seberang.

Kini, rumah itu dirawat oleh generasi penerusnya. Di balik dinding kayu yang tua, tersimpan kenangan akan masa kecil sang ulama. “Buya Hamka itu anaknya ada dua belas, dan saya anak yang paling bungsu,” ujar Amir Syakib, putra bungsu Hamka, saat ditemui Genta Andalas pada Minggu (26/10/2025). Suaranya mengandung kebanggaan sekaligus rindu, seolah setiap hembusan angin danau membawa kembali bayangan ayahnya di masa kecil.

Sejak kecil, Hamka dikenal cerdas sekaligus keras kepala. Ia menimba ilmu agama di Sumatera Thawalib Padang Panjang, pesantren yang didirikan ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah, ulama besar pembaharu Islam di Minangkabau. Namun, ikatan darah justru membuat hubungan keduanya sering bergesekan. “Karena yang punya pesantren itu ayahnya sendiri, Hamka sering kabur dan pulang ke kampung. Akhirnya, ia dijemput kembali oleh sang ayah dan dipindahkan ke pesantren di Parabek, Bukittinggi,” ujar Syakib.

Namun di balik kenakalan itu, bersemayam jiwa pembelajar yang tak pernah padam. Di usia 15 tahun, Hamka dikirim ke Pulau Jawa untuk menimba ilmu yang lebih luas. Lima tahun kemudian, ia menikah dengan Siti Raham, seorang gadis Mandailing. Pernikahan itu kemudian dipercepat untuk melindungi Siti Raham dari kekacauan masa pendudukan Jepang.

Tak lama kemudian, pasangan muda itu merantau ke Medan, tanah yang menjadi saksi metamorfosis Hamka dari pengembara menjadi sastrawan. Dari ruang kecil di rumahnya, ia menulis karya-karya yang menggetarkan jiwa: Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Karya-karya itu lahir dari pengamatannya terhadap kehidupan sosial dan batin manusia. Ia menulis bukan sekadar dengan pena, tapi dengan hatinya.

Dari Medan, perjalanan membawanya ke Jakarta atas permintaan Presiden Soekarno. Di ibu kota, Hamka membantu membangun Masjid Al-Azhar dan kemudian diangkat sebagai imam besar. Namun takdir seolah ingin mengujinya lebih jauh. Fitnah politik di masa itu menyeretnya ke penjara, atas tuduhan hendak menggulingkan pemerintah dengan bantuan Malaysia.

Bagi keluarga, masa itu adalah luka yang tak mudah disembuhkan. Buku-buku karya Hamka dibakar, harta benda disita, dan ancaman kekerasan menghantui setiap malam. Tapi dari balik jeruji, Hamka menyalakan lentera maaf yang tak padam.

Setelah wafatnya pada 1981, rumah kelahirannya di Maninjau sempat terbengkalai. Bahkan, di masa pendudukan Jepang, rumah itu pernah dihancurkan ketika mereka memburu ayah Hamka. Hingga akhirnya, bantuan datang dari negeri jiran “Datanglah tamu dari Malaysia, yang sekarang menjadi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Katanya, mereka dari Perserikatan Angkatan Belia Islam Malaysia ingin bersilaturahmi dengan keluarga Buya Hamka,” ujar Syakib.

Dari pertemuan itulah lahir gagasan membangun kembali rumah kelahiran sang ulama. Tahun 2000, Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka akhirnya berdiri di tepi Danau Maninjau. Barang-barang pribadi, tongkat, serta buku-buku peninggalannya dibawa dari Jakarta untuk melengkapi museum itu. “Malaysia merasa berutang budi pada Hamka karena beliau pernah menenangkan hubungan Indonesia dan Malaysia di masa genting. Bahkan Anwar Ibrahim sampai merasa seperti anaknya sendiri.” Ujar Syakib.

Kini, rumah itu tak lagi sekadar bangunan bersejarah, melainkan ruang perenungan yang hidup. Setiap hari pengunjung datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri. Salah satunya Ara, seorang wisatawan muda. Ia memandangi foto-foto di dinding dengan cermat. “Rapi dan terawat, bagus sekali untuk mengenal lebih jauh tentang perjalanan hidup Buya Hamka,” ujarnya saat diwawancarai Genta Andalas.

Sebagian besar karya Hamka berakar pada pergulatan antara adat dan agama. Perang batin yang telah ia kenal sejak kecil. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, misalnya, bukan sekadar kisah cinta yang tragis, tapi juga kritik terhadap adat yang membelenggu.

Kini, setiap hari pengunjung datang ke rumah kecil itu dari berbagai kota, bahkan dari Malaysia. Tidak ada tiket masuk, hanya sebuah kotak amal kecil untuk menjaga listrik dan air tetap menyala. Di mata Amir Syakib, menjaga rumah itu bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk bakti kepada sejarah.

Buya Hamka bukan sekadar nama di buku sejarah. Ia adalah cahaya yang menuntun di antara kabut zaman. Seorang ulama yang menjembatani cinta, adat, dan kemanusiaan. Dan di tepi Danau Maninjau yang hening itu, gema perjuangannya masih terdengar, lembut tapi abadi.

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Label: buya hamkaFeaturesejarahSumatra Barat

Baca Juga

Hipmi PT UNAND Gelar Market Day X Forbisda, Dorong Ekosistem Wirausaha Mahasiswa

Hipmi PT UNAND Gelar Market Day X Forbisda, Dorong Ekosistem Wirausaha Mahasiswa

Jumat, 14 November 2025 | 05:11 WIB
TEDx UNAND Gelar The Untold Journey Untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri Berbahasa Inggris

TEDx UNAND Gelar The Untold Journey Untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri Berbahasa Inggris

Selasa, 11 November 2025 | 01:16 WIB

Gebyar Muslim Hukum XVII: Semangat Keislaman dan Intelektualitas Warnai Rangkaian Kegiatan

Sabtu, 8 November 2025 | 07:10 WIB
Nomor Urut Dicabut, Transparansi Ditegakkan: Pemira UNAND 2025 Resmi Dimulai

Nomor Urut Dicabut, Transparansi Ditegakkan: Pemira UNAND 2025 Resmi Dimulai

Jumat, 7 November 2025 | 23:55 WIB
Di Antara Azan dan Ombak: Kisah Penjaga Masjid Al-Hakim

Di Antara Azan dan Ombak: Kisah Penjaga Masjid Al-Hakim

Selasa, 4 November 2025 | 11:10 WIB
Penipuan Berkedok Dosen Kembali Marak di Universitas Andalas

Penipuan Berkedok Dosen Kembali Marak di Universitas Andalas

Minggu, 2 November 2025 | 22:36 WIB

TERPOPULER

  • Mengenal Uang Japuik, Adat Pariaman yang Masih Sering Disalahartikan

    Mengenal Uang Japuik, Adat Pariaman yang Masih Sering Disalahartikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Hipmi PT UNAND Gelar Market Day X Forbisda, Dorong Ekosistem Wirausaha Mahasiswa

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • TEDx UNAND Gelar The Untold Journey Untuk Menumbuhkan Kepercayaan Diri Berbahasa Inggris

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Hilang Tiga Nol : Redenominasi atau Kebingungan Publik

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Inovasi Teknologi: Solusi Modern untuk Pelestarian Budaya Lokal di Tengah Globalisasi

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak