Oleh: Zulkifli Ramadhani*
Perkembangan teknologi digital yang pesat saat ini menjadikan hasil karya seni musik dapat dipublikasikan dengan mudah melalui berbagai platform seperti Youtube, Spotify, juga sosial media lainnya. Dari publikasi karya musik yang semakin mudah lalu kemudian muncul fenomena cover lagu. Adanya fenomena cover lagu di masyarakat saat ini dapat juga menciptakan ruang berkreasi terbuka lebar bagi orang-orang secara umum yang ingin menyalurkan bakatnya. Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cover lagu di Indonesia yang mulai ada sejak 1980-an semakin berkembang pesat. Namun di sisi lain adanya kemudahan dalam publikasi karya musik tersebut tidak selalu berdampak positif, nyatanya dari fenomena ini juga terdapat probelem terkait hak cipta yang sering kali dilanggar.
Dalam Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014, menjelaskan bahwa hak cipta merupakan hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif. Lagu dan musik termasuk salah satu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya dimana ada hak moral dan hak ekonomi atas karya yang diciptakan. Dari peraturan tersebut jelas penggunaan lagu dan musik karya orang atau pihak lain tanpa izin melanggar hak cipta dan dapat dituntut secara hukum. Cover lagu dengan tujuan komersial seperti konser, pertunjukan berbayar, promosi dan memasang adsense tanpa seizing pencipta lagu merupakan perbuatan yang melanggar hak cipta terkena sanksi pidana Pasal 113 ayat 3 UU Hak Cipta dimana melanggar hak ekonomi pencipta dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ denda paling banyak 1 miliar rupiah.
Salah satu kasus yang terjadi pada 2022 lalu pada Tri Suaka dan Zinidin Zidan atas pelanggaran UU Hak Cipta akibat membawakan lagu tanpa seizin pencipta lagu serta dimonetisasi. Cover lagu “Emas Hantaran” yang dilakukan di kanal Youtube Nabila Suaka ditonton lebih dari 8 juta kali. Erwin Agam selaku pencipta melalui pengacaranya mengingatkan adanya UU Hak Cipta yang dilanggar dan menggugat perdata ganti rugi materil dan imateril 10 miliar rupiah dart 10 lagu yang dimonetisasi.
Banyaknya pelanggaran hak cipta atas komersial cover lagu, diperlukan adanya aturan yang jelas dan ditegakkan. Kewajiban membayar royalti telah ada dalam PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/Musik. Pada Pasal 3 ayat 1 dinyatakan bahwa “setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan/ pemilik hak terkait melalui LMKN”. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memiliki wewenang untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Royalti lagu dan musik dari konser, penyiaran radio, televisi, karaoke, restoran, cafe, bar, hingga diskotik. Banyaknya komersialisasi lagu yang dapat dikenakan royalti dan adanya LMKN sebagai badan harusnya dapat meminimalisir problem HAKI atas cover lagu kedepannya. Namun salah satu musisi nasional yakni Ahmad Dani sempat menyampaikan keluhannya atas LMKN namun sudah ada perbaikan.
“Kita lihat LMKN sudah mau berbedah dengan sistem onlinenya, ya sudah kita lupain yang masa lalu”, ujarnya dalam konferensi pers di kawasan Rasuda Said, Jakarta Selatan pada Kamis (6/4/2023).
Permasalahan HAKI atas cover lagu ini memang berdampak merugikan musisi yang bergantung pada royalti lagu orisinal. Oleh karena itu, penyelesaian permasalahan HAKI perlu menjadi perhatian utama untuk mendukung keberlanjutan dan keberagaman di industri musik Indonesia.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas