(Ilustrasi/Nabila Annisa)

Oleh: Abdullah Fahrieza

Netralitas kepala desa (Kades) dan perangkat desa dipertanyakan setelah adanya sinyal dukungan pada salah satu pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) dari delapan organisasi perangkat desa, yang bisa disebut sebagai Asosiasi Desa Bersatu yang digelar pada tanggal 19 November 2023 bertempat di Indonesia Arena Jakarta. Walaupun tidak menyampaikan dukungan politik secara langsung, akan tetapi sejumlah peserta yang hadir dalam acara tersebut memakai pakaian yang berisi tulisan tersirat dukungan politik kepada salah satu Capres. Hal ini menimbulkan spekulasi antar pihak bahwa terdapat indikasi kecurangan pemilihan umum (Pemilu) ke depannya apabila sikap Kades dan perangkat desa yang tidak netral.

Ketidaknetralan perangkat desa dapat melahirkan keraguan terhadap integritas sistem pemilihan secara keseluruhan yang mengakibatkan ketidakstabilan politik dan ketidakpuasan masyarakat, lantaran aparat pemerintahan desa dapat berkemungkinan melakukan tindakan- tindakan persuasif terhadap masyarakat desa untuk dapat memenangkan salah satu kandidat Capres dan Cawapres. Seandainya terjadi keberpihakan maka tentunya akan menciptakan gelombang persaingan yang ada di antara para kandidat menjadi tidak sehat karna telah terjadi pelanggaran. Ketika pelanggaran-pelanggaran ini terjadi maka sudah semestinya ditindaklanjuti secara progresif dan responsif oleh Badan Pengawas Pemilu.

Berlandaskan pada Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang (UU) Dasar 1945 Republik Indonesia bahwa Pemilu haruslah dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Apabila perangkat desa tidak bersikap netral dalam Pemilu maka hal ini menimbulkan kecurigaan, karena pada prinsipnya perangkat desa akan direkrut menjadi bagian dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk melangsungkan pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), sehingga apabila tidak bersikap netral akan membahayakan dan keabsahaan hasil Pemilu tersebut harus dipertanyakan.

Padahal sudah jelas diatur dalam peraturan perundangan-undangan perangkat desa haruslah bertindak secara netral dalam kontestasi politik dan dilarang melakukan politik praktis sebagaimana yang telah tertuang dalam Pasal 280, Pasal 282, dan Pasal 490 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Bahkan jauh sebelum itu sudah termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang menyatakan bahwa Kades dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye akan dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan maupun tertulis. Kendati demikian jika sanksi administratif tersebut tidak dilaksanakan, maka sudah sepantasnya ada tindak tegas dari lembaga yang berkewenangan  untuk dapat menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian sementara agar dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan menjadi contoh bagi perangkat desa lain agar menegakkan sikap netral terhadap Pemilu.

Sinyal dukungan kepada salah satu calon tersebut juga telah menyalahi  ketentuan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu 2024, dimana masa kampanye baru akan dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Maka dari itu tindakan tersebut juga telah melanggar karna memulai kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan.

Atas apa yang telah dilakukan oleh perangkat desa dalam acara Asosiasi Desa Bersatu pada tanggal 19 November 2023 telah menyalahi aturan yang berlaku, tindak tegas dari lembaga- lembaga yang berkewenangan sangat diharapkan untuk mengamankan Pemilu Presiden mendatang. Adanya kegiatan tersebut juga mengindikasi bahwa pengawasan terhadap Pemilu harus lebih diperketat demi terciptanya hasil Pemilu yang demokratis dan berkeadilan sesuai peraturan yang berlaku.

*Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Andalas

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here