
Oleh: Fadhilatul Husni*
Film Panggil Aku Ayah, karya sutradara Benni Setiawan dan diproduksi Visinema Studios, hadir sebagai adaptasi dari film Korea Pawn (2020). Namun, film ini bukan sekadar menyalin cerita, melainkan membumikan kisahnya dengan nuansa Indonesia yang hangat. Berlatar di Sukabumi era 1990-an, penonton langsung diajak masuk ke suasana masa lalu melalui detail visual seperti wartel, telepon kabel, hingga mode busana kala itu membangkitkan nostalgia yang begitu kental.
Cerita berpusat pada Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Tatang (Boris Bokir), dua penagih utang yang awalnya digambarkan keras dan sinis. Suatu hari, mereka menemui seorang ibu bernama Rossa (Sita Nursanti) yang tak mampu membayar utangnya. Sebagai gantinya, sang ibu terpaksa menyerahkan anak kecilnya, Intan atau akrab dipanggil Pacil (Myesha Lin), sebagai “jaminan”. Dari situlah kisah menyentuh ini dimulai.
Pacil yang awalnya dianggap beban, perlahan menumbuhkan rasa sayang dalam diri Dedi dan Tatang. Hubungan itu berkembang seiring waktu, hingga Pacil beranjak dewasa (Tissa Biani). Dari ikatan yang terjalin, film ini menegaskan satu pesan penting: keluarga bukan hanya perkara ikatan darah, melainkan tentang cinta, kehadiran, dan tanggung jawab.
Keunggulan film ini terletak pada jiwa Indonesia yang melekat di setiap adegan. Nuansa Sukabumi dengan dialek Sunda, keseharian masyarakat kelas menengah ke bawah, hingga detail kehidupan era 90-an membuat cerita terasa dekat dan nyata. Akting para pemain pun patut diapresiasi. Ringgo Agus Rahman berhasil menampilkan transformasi emosional yang kuat, sementara Boris Bokir memberikan warna humor segar tanpa mengurangi makna kisah. Myesha Lin sebagai Pacil kecil tampil memikat dengan kepolosan naturalnya, dan Sita Nursanti menghadirkan sisi humanis yang mendalam sebagai seorang ibu yang terpaksa berpisah dari anaknya.
Secara teknis, sinematografi dan desain produksi juga menambah daya pikat. Kemiskinan ditampilkan apa adanya, tidak berlebihan, sementara tata warna, kostum, dan properti menyatu indah dengan cerita. Lagu legendaris “Tegar” dari Rossa yang dijadikan soundtrack semakin memperkuat sisi emosional, menjadikan film ini seperti “roller coaster perasaan” mengundang tawa sekaligus air mata dalam satu rangkaian.
Meski begitu, film ini bukan tanpa kekurangan. Pada babak akhir, alur terasa bertele-tele, seakan terlalu dipaksakan untuk menutup kisah dengan dramatisasi. Adegan klimaks, seperti reuni Intan dengan ibunya atau insiden yang menimpa Dedi, dibuat panjang sehingga mengurangi kekuatan emosionalnya. Transisi waktu yang melompat kadang juga terasa kurang mulus, membuat penonton sedikit kehilangan fokus.
Selain itu, interaksi Intan dewasa dengan karakter lain sangat terbatas, sehingga momen-momen puncak emosional terasa kurang menggigit. Perubahan simbol dari versi Korea pun kurang digarap dalam, misalnya peran benda sentimental seperti boneka atau tabungan yang seharusnya bisa memperkuat ikatan emosional.
Namun, semua itu tidak mengurangi makna utama film ini. Panggil Aku Ayah adalah kisah tentang keberanian menjadi ayah, meski tanpa ikatan darah. Tentang bagaimana kehadiran, perhatian, dan cinta bisa melampaui hubungan biologis. Film ini juga menyentuh isu sosial seperti fenomena fatherless generation dan perjuangan ibu pekerja yang sering kali luput dari sorotan.
Secara keseluruhan, film ini menawarkan drama keluarga yang hangat, penuh tawa, haru, dan nostalgia. Meski ada kelemahan pada babak akhir, kekuatan akting, visual, serta pesan moralnya membuat Panggil Aku Ayah tetap layak ditonton. Ia menjadi pengingat bahwa keluarga bisa lahir dari ikatan cinta, bukan semata-mata ikatan darah, dan bahwa sosok ayah sejati adalah mereka yang memilih hadir dan bertanggung jawab.
*) Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Andalas