Oleh: Oktavia Ramadhani
Raja Ampat merupakan salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia dan menjadi kebanggaan Indonesia. Kawasan ini tidak hanya dikenal karena keindahan laut dan terumbu karangnya, tetapi juga sebagai rumah bagi berbagai spesies langka yang tidak ditemukan di tempat lain. Keindahan Raja Ampat menjadikannya sebagai destinasi wisata unggulan sekaligus simbol kekayaan alam Indonesia yang seharusnya dijaga, bukan dieksploitasi.
Namun, belakangan ini Raja Ampat menghadapi ancaman serius akibat aktivitas pertambangan. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah beroperasinya PT Gag Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), di Pulau Gag, Raja Ampat. Pulau Gag merupakan pulau kecil yang berada di kawasan konservasi, dan keberadaan aktivitas tambang di wilayah ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap kerusakan ekosistem laut maupun darat.
Mengacu pada data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak empat perusahaan tambang yang beroperasi di Raja Ampat telah terbukti melakukan pelanggaran lingkungan dan dikenai sanksi administratif. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan di kawasan tersebut tidak hanya berisiko secara ekologis, tetapi juga bermasalah secara hukum dan tata kelola.
Padahal, kawasan Raja Ampat telah ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark dan memiliki perlindungan hukum sebagai wilayah konservasi. Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa pertambangan di pulau-pulau kecil bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan dapat merusak ekosistem yang rentan.
Dampak dari aktivitas tambang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga sosial. Masyarakat adat Papua yang tinggal di sekitar wilayah tambang sangat bergantung pada laut dan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas tambang dapat mencemari sumber air bersih, merusak wilayah tangkapan ikan, serta mengancam mata pencaharian masyarakat lokal.
Selain merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat, eksploitasi sumber daya di wilayah konservasi juga berdampak negatif terhadap sektor pariwisata. Keindahan alam Raja Ampat merupakan daya tarik utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Apabila kawasan ini rusak akibat pertambangan, potensi pemasukan dari sektor pariwisata akan menurun drastis dan hal ini dapat merugikan perekonomian daerah dalam jangka panjang.
Kegiatan tambang yang merusak lingkungan jelas tidak sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia. Di satu sisi, pemerintah mendorong investasi di sektor industri nikel untuk mendukung pembangunan baterai kendaraan listrik. Namun, di sisi lain, kebijakan ini belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang terdampak langsung.
Raja Ampat seharusnya menjadi contoh bagaimana Indonesia dapat mengelola kekayaan alam dengan bijak, bukan justru menjadi korban dari ambisi eksploitasi. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang di wilayah konservasi serta memastikan bahwa seluruh aktivitas ekonomi di kawasan tersebut tidak merusak lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Mahasiswa dan generasi muda memiliki peran penting dalam mengawal isu ini. Suara-suara kritis dari kampus perlu terus digaungkan untuk menuntut kebijakan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Jika eksploitasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan kehilangan salah satu surga terakhir di bumi.
Penting untuk disadari bahwa dampak dari kerusakan lingkungan tidak selalu terlihat secara langsung, melainkan perlahan dan bertahap. Ketika hutan digunduli dan laut tercemar, perubahan akan terjadi secara sistematis, mulai dari hilangnya spesies endemik, berkurangnya hasil tangkapan nelayan, hingga meningkatnya risiko bencana ekologis. Ini bukan sekadar kehilangan estetika alam, tetapi merupakan ancaman nyata terhadap ketahanan hidup masyarakat setempat.
Kita tidak boleh lupa bahwa pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang mampu menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menyuarakan perlindungan terhadap Raja Ampat bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menolak keserakahan yang dibungkus atas nama kemajuan. Investasi tidak boleh mengorbankan ruang hidup orang lain, apalagi ketika itu menyangkut hak masyarakat adat yang telah menjaga wilayah tersebut selama ratusan tahun.
Oleh karena itu, momentum ini harus menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh berjalan dengan menutup mata terhadap suara rakyat dan kerusakan alam. Keadilan ekologis adalah bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial. Kita punya pilihan: menjaga masa depan atau kehilangan warisan alam yang tak tergantikan.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Komentar