• Indeks
  • Redaksi
  • Tentang Kami
Selasa, 17 Juni 2025
Genta Andalas
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
  • Berita
    • Liputan
    • Berita Foto
    • Sorotan Kampus
    • Feature
    • Laporan
      • Laporan Utama
      • Laporan Khusus
  • Aspirasi
  • Wawasan
  • Riset & Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Komik
    • Resensi
    • Galeri
  • Sosok
  • Sastra & Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Digital
    • Tabloid
    • Genta Antara
    • Buletin
Genta Andalas

Home Aspirasi

Kebebasan Berekspresi vs Konsekuensi Hukum di Media Sosial

oleh Redaksi
Selasa, 17 Juni 2025 | 16:15 WIB
di Aspirasi, Karya Calon Anggota
0
Ilustrasi/Rania Affiati Nesya

Ilustrasi/Rania Affiati Nesya

ShareShareShareShare
Ilustrasi/Rania Affiati Nesya

* Oleh: Aurym Dzakirah

Kebebasan berekspresi adalah salah satu pilar utama demokrasi. Ia menjadi ruang bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat, menyampaikan kritik, bahkan menuangkan kreativitas dalam bentuk satir atau humor politik. Namun, di era digital saat ini, kebebasan tersebut kerap berbenturan dengan batas-batas hukum, terutama ketika ekspresi itu menyentuh isu-isu sensitif yang melibatkan tokoh publik atau simbol negara. Kasus terbaru yang menimpa seorang mahasiswa ITB yang ditangkap akibat mengunggah meme foto palsu Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo menjadi contoh nyata dari benturan ini.

Dalam unggahannya, mahasiswa tersebut menyampaikan kritik dalam bentuk “meme”, salah satu bentuk komunikasi visual yang lazim digunakan generasi muda untuk mengekspresikan pandangan politik. Meme tersebut memang provokatif dan satir, namun tidak bisa dilepaskan dari konteks kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Lantas, mengapa kebebasan ini justru berujung pada kriminalisasi?

BacaJuga

Dugaan Ijazah Palsu : Serangan Politik atau Kritik Publik?

Program Barak Militer bagi Siswa Bermasalah: Solusi atau Ancaman?

Masalah utamanya terletak pada penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal-pasal karet yang dianggap multitafsir. Dalam banyak kasus, pasal-pasal seperti pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, atau pelanggaran kesusilaan digunakan untuk menjerat individu yang mengunggah konten kontroversial. Penangkapan mahasiswa ini pun dilakukan dengan dasar menyebarkan informasi elektronik yang dinilai mengandung muatan penghinaan terhadap pejabat publik. Namun, pertanyaannya: apakah ekspresi satir sekalipun yang menyentil figur presiden secara otomatis merupakan tindak pidana?

Dalam iklim demokrasi yang sehat, satir adalah bagian dari diskursus politik. Banyak negara demokratis yang mengakui satir sebagai bentuk kritik yang sah dan dilindungi hukum. Bahkan dalam tradisi jurnalistik sekalipun, karikatur politik dan humor gelap menjadi cara untuk menyoroti kekuasaan tanpa harus secara langsung menyerang personal. Jika setiap satir terhadap pejabat publik dianggap sebagai penghinaan, maka ruang diskusi publik akan mengecil dan kebebasan berekspresi akan tergerus.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti juga pernah mengingatkan bahwa, “Pemidanaan terhadap ekspresi, apalagi yang bersifat kritik atau satir terhadap pejabat publik, menunjukkan ketidaksiapan negara menerima perbedaan pendapat.” Ia menegaskan bahwa pejabat publik seharusnya memiliki thicker skin, atau ketahanan lebih tinggi terhadap kritik karena jabatan mereka bersifat publik.

Di sisi lain, memang ada batas-batas yang perlu dijaga. Kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk menyebarkan fitnah, hoaks, atau ujaran kebencian. Namun, membedakan antara kritik, satir, dan penghinaan memerlukan sensitivitas hukum dan perspektif yang adil. Tidak semua bentuk ekspresi digital yang menyinggung atau tidak menyenangkan pantas dikriminalisasi. Apalagi jika aparat hukum bertindak secara selektif—hanya menindak konten yang mengkritik pemerintah atau tokoh tertentu, sementara ujaran kebencian atau disinformasi dari kubu lain dibiarkan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa UU ITE masih menyisakan persoalan mendasar: ia lebih sering digunakan untuk membungkam ketimbang melindungi. Alih-alih menjadi instrumen menjaga etika bermedia sosial, UU ITE justru berpotensi menjadi alat represi digital. Banyak aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang telah menyuarakan perlunya revisi menyeluruh terhadap UU ini, agar tidak terus menjadi momok bagi kebebasan sipil.

Kasus mahasiswa ITB ini bukan hanya soal satu meme. Ia mencerminkan bagaimana negara merespons suara-suara kritis di ruang digital. Jika seorang mahasiswa bisa dijadikan tersangka hanya karena membuat lelucon politik, maka akan lahir efek jera yang meluas. Masyarakat menjadi takut untuk berbicara, mengkritik, atau beropini karena khawatir dikriminalisasi. Padahal, dalam demokrasi, kritik terhadap kekuasaan adalah mekanisme kontrol publik yang sah.

Solusinya bukan dengan menjerat pelaku ekspresi digital dengan pasal pidana, melainkan dengan membangun literasi digital yang kuat. Edukasi mengenai etika berinternet, perlindungan data pribadi, dan kesadaran hukum harus lebih dikedepankan ketimbang pendekatan represif. Pemerintah juga perlu membuktikan bahwa mereka tidak antikritik, dengan membuka ruang dialog dan tidak bersikap reaktif terhadap ekspresi warga negara.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa kebebasan berekspresi adalah fondasi yang tidak bisa ditawar dalam sistem demokrasi. Hukum memang harus hadir untuk menjaga ketertiban dan melindungi hak orang lain, tetapi bukan untuk membungkam suara-suara yang tidak menyenangkan bagi penguasa. Jika negara gagal membedakan antara kritik dan kejahatan, maka kita sedang bergerak mundur dari cita-cita demokrasi yang kita perjuangkan bersama.

Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas

BagikanTweetBagikanKirim

Komentar

TERPOPULER

  • Menyelami Obsesi Kecantikan dan Luka dalam The Ugly Stepsister

    Menyelami Obsesi Kecantikan dan Luka dalam The Ugly Stepsister

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Pelaku Utama Kabur, Ratusan Warga Tertipu Lowongan Kerja Fiktif di Basko City Mall

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Program Barak Militer bagi Siswa Bermasalah: Solusi atau Ancaman?

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Dugaan Ijazah Palsu : Serangan Politik atau Kritik Publik?

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
  • Mengenal Uang Japuik, Adat Pariaman yang Masih Sering Disalahartikan

    0 bagikan
    Bagikan 0 Tweet 0
Genta Andalas

Genta Andalas © 2025

Laman

  • Indeks
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Kontak
  • Redaksi
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber

Follow Us

  • Home
  • Berita
    • Berita Foto
    • Liputan
    • Sorotan Kampus
    • Feature
  • Laporan
    • Laporan Khusus
    • Laporan Utama
  • Aspirasi
  • Wawasan
    • Teknologi
  • Riset dan Survei
  • Aneka Ragam
    • Konsultasi
    • Resensi
    • Komik
    • Galeri
  • Sastra dan Budaya
    • Sastra dan Seni
    • Rehat
    • Khasanah Budaya
  • e-Tabloid
    • Digital
  • Sosok
  • Gentainment
    • Seputar Genta
    • Karya Calon Anggota
  • Tentang Kami
  • Pembina
  • Redaksi
  • Agenda
    • Pekan Jurnalistik
    • Sumarak Jurnalistik
  • Pedoman Pemberitaan
    • Pedoman Pemberitaan Media Siber
    • Pedoman Pemberitaan Ramah Anak
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak