
*Oleh: Nia Rahmayuni
Isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Republik Indonesia (RI) ke-7, Joko Widodo, kembali mencuat ke permukaan. Meskipun telah berulang kali dibantah oleh pihak Universitas Gadjah Mada (UGM), hal ini tetap hidup dan bahkan berkembang menjadi spekulasi politik di tengah masyarakat. Baru-baru ini, Jokowi resmi melapor ke Polda Metro Jaya untuk menindaklanjuti isu tersebut. Kejadian ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan hanya terletak pada keaslian dokumen, melainkan juga pada tingkat kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Dalam laporan Kompas.com (10/5/2025), Mahfud MD menyebut langkah Jokowi melapor ke kepolisian sebagai bentuk hak konstitusional untuk membela diri. “Itu hak, tapi jangan dipolitisasi,” kata Mahfud, mengingatkan bahwa setiap warga negara berhak menjaga kehormatan dirinya dari tuduhan yang tidak berdasar. Mahfud MD juga menegaskan bahwa polemik ini telah masuk ke ranah hukum dan semestinya ditangani secara proporsional, bukan dijadikan alat untuk memperkeruh suasana. Ia menambahkan bahwa kasus ini tidak memiliki dampak terhadap posisi Jokowi sebagai Presiden RI. “Kalaupun terbukti palsu, tidak ada konsekuensi ketatanegaraan. Tidak serta-merta Jokowi tidak sah jadi presiden,” tegas Mahfud, dikutip dari Tribunnews (11/5/2025).
UGM sebagai almamater Jokowi juga telah memberikan klarifikasi resmi. Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, memastikan bahwa Jokowi adalah alumni Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan lulus pada tahun 1985. Ia menjelaskan bahwa format ijazah Jokowi sesuai dengan standar pada masa itu, di mana tulisan tangan masih lazim digunakan. Dekan Fakultas Kehutanan, Sigit Sunarta, juga menyatakan bahwa dokumen ijazah Jokowi sah dan tidak perlu diragukan.
Di media sosial, opini publik terbelah, yang menunjukkan bahwa klarifikasi belum mampu meredam keraguan masyarakat. Sebagian besar menilai isu ini sebagai serangan politik yang terorganisir, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai indikasi melemahnya transparansi dalam sistem pendidikan dan pemerintahan. Ketika kepercayaan publik terhadap institusi negara melemah, maka narasi alternatif—meskipun tidak berdasar—bisa lebih dipercaya dibandingkan pernyataan resmi.
Langkah hukum yang diambil Presiden Jokowi memang dapat dilihat sebagai bentuk perlindungan terhadap kehormatan pribadi dan jabatan. Namun, di sisi lain, hal ini juga menunjukkan adanya peningkatan dalam ketegangan politik nasional. Ketika tuduhan tidak berhenti meski sudah diklarifikasi, itu berarti ada masalah yang lebih mendalam. Masyarakat sudah sulit membedakan fakta dan opini. Yang lebih memprihatinkan, banyak yang ikut-ikutan tanpa mengetahui informasi yang jelas, serta tanpa pertimbangan logis dan kritis. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, informasi seharusnya mengedukasi, bukan membingungkan.
Pengamat politik Asep Kususanto menilai bahwa isu ini sengaja diangkat untuk melemahkan pengaruh politik Jokowi. Menurutnya, ini merupakan strategi klasik untuk menjatuhkan figur publik dengan menggiring opini melalui serangan pribadi. Hal senada juga disampaikan Dedi Kurnia Syah dari Indonesia Political Opinion (IPO). Ia mengatakan bahwa masyarakat seharusnya lebih fokus pada isu-isu penting seperti konstitusi dan tata kelola pemerintahan, bukan pada dokumen pribadi yang sudah diklarifikasi.
Peristiwa ini mencerminkan adanya krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara dan pendidikan. Fakta-fakta yang telah disampaikan belum tentu mampu mematahkan opini yang berkembang, terutama di media sosial. Di era informasi yang serba cepat seperti sekarang, masyarakat sering kali lebih percaya pada narasi viral daripada pernyataan resmi.
Mahfud MD juga menambahkan bahwa meski laporan hukum boleh dilakukan, namun penting untuk tetap menjaga suasana agar tidak memanas. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terbawa narasi yang menyesatkan dan tetap berpegang pada fakta. Polemik ijazah ini, jika terus dibiarkan bergulir tanpa penyikapan yang tegas dan transparan, hanya akan memperlebar ketidakpercayaan antara publik dan negara.
Dalam jangka panjang, ini dapat menjadi preseden buruk. Siapa pun yang tidak disukai secara politik bisa diserang dengan isu-isu personal yang dikemas seolah-olah sebagai masalah hukum. Demokrasi yang matang menuntut masyarakatnya untuk bisa memilah antara fakta dan opini, antara kritik yang membangun dan narasi yang merusak.
Kasus ini menunjukkan bahwa kita tidak hanya berbicara soal selembar ijazah, tetapi tentang kredibilitas negara, integritas lembaga pendidikan, dan masa depan akal sehat publik. Sudah saatnya kita memutus lingkaran disinformasi dan fokus pada hal-hal yang lebih membangun demokrasi.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Komentar