Oleh: Aprila Aurahmi
Sejak dulu, kita selalu disuguhkan dengan kisah-kisah dongeng, di mana sosok cantik selalu menjadi sorotan utama dan mendapatkan akhir cerita yang sempurna. Sementara itu, sosok yang dianggap kurang menarik atau tidak memenuhi standar kecantikan selalu terpinggirkan. Namun, bagaimana jika kali ini sebuah film menyoroti sosok yang selama ini tak dianggap?
The Ugly Stepsister, film ini menyoroti bagaimana representasi film klasik Cinderella dari sudut pandang yang berbeda. The Ugly Stepsister adalah reinterpretasi gelap dari dongeng klasik Cinderella, disutradarai oleh Emilie Blichfeldt. Film ini dibuka dengan pernikahan Rebekka (Ane Dahl Torp), seorang janda beranak dua Elvira (Lea Myren) dan Alma (Flo Fagerli) dengan Otto (Ralph Carlsson), seorang duda kaya yang telah lanjut usia dan memiliki seorang putri cantik jelita bernama Agnes (Thea Sofie Loch Næss). Pernikahan itu bukan dilandasi oleh cinta, melainkan oleh ambisi Rebekka. Ia berharap Otto segera meninggal agar seluruh harta warisannya jatuh ke tangan mereka.
Takdir berpihak. Ayah Agnes meninggal setelah mereka menikah. Bukan main senangnya hati Rebekka. Namun, ternyata pria tua itu tidak memiliki harta yang bisa mereka foya-foyakan. Tidak ada cara lain untuk mencapai kehidupan nyaman berbalut kekayaan. Rebekka pun mencari jalan lain, yaitu menjodohkan Elvira dengan Pangeran Julian (Isac Calmroth).
Sayangnya, Elvira tidak secantik Agnes. Ia harus menjalani berbagai prosedur kecantikan yang brutal dan mematikan. Serangkaian prosedur itu dimulai dari operasi hidung tanpa anestesi, menjahit bulu mata, menelan cacing pita untuk menurunkan berat badan, hingga memotong jari-jari kakinya sendiri. Elvira harus meraung kesakitan setiap kali menjalani prosedur tersebut. Tidak ada keajaiban yang membantunya hanya alat-alat bedah, obsesi, dan rasa malu yang bercampur demi kepuasan mata agar tampak “sempurna”.
Di balik persaingan saudara tiri dalam memenangkan hati pangeran, film ini sukses mengangkat tema body horror. Film ini menggali secara mendalam dan detail bagaimana realitas manusia terobsesi terhadap kecantikan. Emilie Blichfeldt berhasil menyajikan kritik tajam atas obsesi masyarakat terhadap kecantikan melalui visual yang mengerikan, namun memukau.
Darah-darah berpadu apik dengan gaun-gaun berwarna-warni yang memesona. Mungkin tidak seseram film horor bertema hantu pada umumnya, namun cukup membuat Anda menutup mata karena takut saat menontonnya.
Lea Myren yang berperan sebagai Elvira memegang kunci penting dalam film ini. Ia mampu menampilkan sosok yang awalnya polos, hanya menginginkan pangeran, kemudian berubah menjadi pribadi yang terobsesi. Ia, yang awalnya hanya berani memimpikan pangeran, berubah total menjadi gadis yang haus akan pengakuan. Di sisi lain, Thea Sofie Loch Næss yang berperan sebagai Agnes sosok yang lugu dan simbol kecantikan sempurna tidak menyadari bahwa dirinya membawa petaka dalam kehidupan orang lain.
Musik dan sinematografinya juga sangat mendukung. Musik yang menyelinap secara sunyi menambah ketegangan. Pencahayaan yang tidak terlalu terang memperkuat kesan horor dalam pengambilan adegannya.Namun sayangnya, ada beberapa alur yang terkesan diperpanjang, sehingga adegan yang seharusnya menegangkan justru terasa datar. Penonton bisa saja kehilangan fokus atau bahkan tidak lagi menyimak alur cerita dengan baik.
Selain itu, beberapa adegan terkesan sangat brutal. Meskipun sesuai dengan tema yang diusung, yakni body horror, bagi penonton yang sangat sensitif, adegan-adegan tersebut bisa menjadi pemicu trauma. Film ini sangat tidak disarankan bagi mereka yang memiliki trauma terhadap darah atau luka fisik.
The Ugly Stepsister jelas bukan jenis tontonan yang cocok untuk semua kalangan. Film ini dikemas dengan visual yang mampu membuat kita bergidik, meskipun tidak menampilkan hantu sedikit pun. Namun, di balik ketegangan dan kengerian tersebut, terselip refleksi tajam tentang bagaimana kita memandang tubuh, siapa yang pantas dicintai, siapa yang layak menerima cinta, dan standar kecantikan dalam masyarakat yang semakin tidak masuk akal.
Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Komentar