
Oleh: Sabilla Hayatul
Rencana pemerintah untuk memasukkan pembelajaran kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI) ke dalam kurikulum Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai tahun ajaran 2025/2026 disambut sebagai langkah progresif menuju era digital. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyampaikan bahwa kebijakan ini bertujuan meningkatkan digitalisasi pembelajaran dan menyiapkan generasi muda agar lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi.Namun, kebijakan ini tidak diterapkan secara serentak ke semua sekolah. Hanya sekolah-sekolah yang telah siap dari segi infrastruktur dan tenaga pendidik yang akan melaksanakannya. Hal ini memunculkan pertanyaan penting: apakah kebijakan ini benar-benar inklusif atau justru memperlebar kesenjangan digital?
Faktanya, masih banyak sekolah di Indonesia, terutama di daerah terpencil, yang belum memiliki fasilitas dasar seperti listrik dan internet. Berdasarkan data Kemendikbudristek, terdapat 8.522 sekolah yang belum memiliki listrik dan 42.159 sekolah yang tidak memiliki akses internet. Dengan kondisi seperti ini, pembelajaran berbasis AI sulit untuk dilaksanakan secara merata. Jika kebijakan ini hanya berlaku di wilayah-wilayah yang sudah maju, maka akan terjadi ketimpangan digital yang semakin tajam antara sekolah perkotaan dan pedesaan.
Selain persoalan infrastruktur, tantangan lainnya adalah kesiapan tenaga pengajar. Pembelajaran AI memerlukan pemahaman mendalam, bukan sekadar penggunaan perangkat teknologi. Diperlukan guru yang tidak hanya melek digital, tetapi juga memahami prinsip-prinsip dasar AI dan etika penggunaannya. Namun, survei Kemendikbudristek menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% guru non-TIK yang merasa siap dengan teknologi. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar guru belum memiliki kompetensi digital yang memadai, apalagi dalam mengajarkan AI.
Pelatihan guru yang selama ini tersedia pun masih bersifat umum, belum menyentuh aspek spesifik seperti AI. Tanpa pelatihan yang terstruktur dan menyeluruh, para guru yang belum siap akan kesulitan menyampaikan materi secara tepat, bahkan berisiko menyampaikan informasi yang keliru atau tidak kontekstual. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran di kelas.
Jika tidak ditangani dengan tepat, ketimpangan dalam kompetensi guru ini akan semakin memperkuat jurang digital. Guru-guru di daerah perkotaan mungkin memiliki lebih banyak akses terhadap pelatihan teknologi, sementara guru di daerah terpencil tertinggal jauh. Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan dalam kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa di berbagai wilayah Indonesia.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa memasukkan pembelajaran AI ke dalam kurikulum adalah langkah maju yang bisa membawa Indonesia sejajar dengan negara-negara lain dalam perkembangan teknologi. Namun, penerapan kebijakan ini harus mempertimbangkan kondisi nyata di lapangan. Tanpa kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang merata, kebijakan ini justru bisa menimbulkan ketimpangan yang semakin besar.
Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diterapkan secara luas, pemerintah harus terlebih dahulu memastikan tersedianya fasilitas dasar seperti listrik dan internet di semua sekolah, serta memberikan pelatihan yang menyeluruh dan berkelanjutan kepada para guru di seluruh Indonesia. Dengan begitu, kebijakan pembelajaran AI bisa diterapkan secara adil dan memberikan manfaat nyata bagi seluruh pelajar Indonesia, tanpa kecuali.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Komentar