
Oleh: Asyani Rahayu Simatupang
Memasuki 200 hari masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, hasil evaluasi yang dilakukan oleh The Indonesian Institute (TII) menunjukkan sejumlah catatan serius terhadap kinerja pemerintah, khususnya dalam hal konsistensi kebijakan dan partisipasi publik. Penilaian ini dilakukan melalui pendekatan metode campuran, yaitu gabungan antara penilaian kuantitatif berupa skor dan analisis kualitatif yang didasarkan pada riset pustaka serta wawancara mendalam dengan para akademisi, pengamat, pelaku usaha, hingga aktivis kebijakan publik. Lima indikator utama yang menjadi dasar penilaian tersebut adalah Key Performance Indicator (KPI), konsistensi kebijakan, kolaborasi lintas sektor, partisipasi publik, dan komunikasi publik. Dari lima indikator itu, dua di antaranya mencatat skor terendah, yaitu konsistensi kebijakan sebesar 44,27 persen dan partisipasi publik sebesar 42,71 persen.
Menurut Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar, banyak kebijakan pemerintah dinilai tidak konsisten, cenderung berubah-ubah mengikuti tekanan publik, bersifat seremonial, dan kerap tidak dilandasi strategi jangka panjang yang jelas. Contoh yang disorot adalah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen serta kebijakan impor mobil listrik yang dinilai inkonsisten dan minim kajian data. Di sisi lain, pemerintah justru dinilai mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan prinsip efisiensi yang mereka gembar-gemborkan sendiri, seperti penunjukan figur publik sebagai staf khusus di kementerian maupun pembentukan berbagai satuan tugas baru yang berimplikasi pada penambahan beban anggaran negara.
Selain itu, partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan juga dinilai sangat minim. Keterlibatan masyarakat hanya bersifat formalitas dan tidak benar-benar mencerminkan proses deliberatif yang inklusif. Pemerintah lebih sering bersikap reaktif ketimbang proaktif dalam melibatkan masyarakat sejak awal pembahasan kebijakan. Pelibatan kelompok rentan seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan, lansia, maupun kelompok ekonomi bawah sangat terbatas. Beberapa kebijakan yang disorot karena minim partisipasi adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi Danantara, program Makan Bergizi Gratis, serta revisi Undang-Undang TNI.
Sementara itu, indikator lain seperti kolaborasi lintas sektor mendapat skor 55,73 persen, KPI sebesar 60,94 persen, dan komunikasi publik mencatat skor tertinggi yaitu 77,60 persen. Meski secara umum rapor pemerintah masih dinilai lemah, terdapat beberapa catatan positif, seperti langkah Kementerian Kesehatan dalam membangun kebijakan berbasis data. Beberapa kebijakan Kemenkes yang diapresiasi adalah pemerataan layanan kesehatan, deteksi dini penyakit tidak menular, serta penanggulangan penyakit seperti TBC.
Kendati demikian, Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna pada 5 Mei 2025 mengklaim bahwa kinerja pemerintahannya berjalan baik dan timnya bekerja secara kompak. Pemerintah berencana meluncurkan 53 Sekolah Rakyat dan melanjutkan berbagai program subsidi. Total anggaran subsidi saat ini mencapai sekitar Rp500 triliun per tahun, belum termasuk program Makan Bergizi Gratis yang ditargetkan menyerap dana hingga Rp170 triliun pada akhir 2025.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Editor: Nurul Ilmi Ramadhani
Komentar