
Oleh: Zulkifli Ramadhani*
Adanya berbagai pungutan dan iuran yang muncul di tahun 2025 diperkirakan akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat konsumsi rumah tangga yang stagnan di bawah 5% dalam setahun terakhir dan diprediksi akan mengalami pelemahan lebih lanjut. Padahal, konsumsi rumah tangga memiliki peran krusial sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)—metode penghitungan pendapatan nasional yang paling umum digunakan—mencapai sekitar 55%. Dengan kontribusi sebesar itu, setiap pelemahan dalam konsumsi rumah tangga dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian nasional
Berdasarkan berbagai program pungutan yang akan dilaksanakan pemerintah, sebagaimana dilansir dari Kementrian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Otoritas Jaksa Keuangan hingga Peraturan Presiden, terdapat beberapa program yang dicanangkan. Beberapa diantaranya meliputi iuran wajib tabungan perumahan rakyat yang akan memotong upah pekerja, program dana pensiun wajib sesuai UU Nomor 4 Tahun 2023, tarif cukai minuman berpemanis dalam kemasan, pajak pertambahan nilai 12% hingga normalisasi pajak penghasilan final untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ( UMKM)
Pungutan-pungutan ini berpotensi mengurangi pendapatan dan akan mempengaruhi tingkat konsumsi, selaras dengan teori konsumsi oleh ekonom John Maynard Keynes yang mengatakan jumlah konsumsi berhubungan langsung dengan pendapatan. Melihat faktor tersebut dan proyeksi kedepannya, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia yang merupakan lembaga riset independen bidang ekonomi, industri, perdagangan, pembangunan regional dan kebijakan publik dalam dokumen Brief Report CORE Economic Outlook 2025 prediksi perlambatan konsumsi rumah tangga 2025.
Dilansir dari laporan Core Indonesia bahwa Perlambatan konsumsi rumah tangga diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun mendatang, CORE Indonesia menyampaikan pelemahan konsumsi kelas menengah dan calon kelas menengah menjadi penyebab perlambatan tingkat konsumsi 2025. Menurut laporan BPS, proporsi kelas menengah Indonesia tahun 2024 sebanyak 47,85juta penduduk yang lebih rendah dibandingkan 5 tahun sebelumnya pada 2019 yang sebanyak 57,33juta penduduk. Sementara jumlah penduduk calon kelas menengah atau menuju kelas menengah mencapai 137,5juta jiwa tahun 2024 yang naik dibandingkan 2019 sebanyak 128,85 juta jiwa yang artinya banyak masyarakat kelas menengah berada dibatas bawahnya sehingga ketika terjadi penurunan ekonominya menjadi kelompok menuju kelas menengah.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal menerangkan bahwa kenaikan PPN akan semakin membebani masyarakat kelas menengah bahkan insentif pemerintah belum cukup mengatasinya.“Kenaikan PPN 12% untuk akan semakin membebani masyarakat terutama kelas menengah, pelemahan kelas menengah saat ini sudah terhitung akut,” ujar Faisal dalam publikasi CORE Indonesia pada Jumat, (27/12/2024).
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% untuk kategori barang mewah dipastikan akan memengaruhi harga barang tersebut, yang pada akhirnya berpotensi menekan daya beli masyarakat. Pengaruh kenaikan PPN sudah terlihat pada tahun 2022, ketika tarif naik dari 10% menjadi 11%. Dampak tersebut tercermin dari melambatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang pada 2023 hanya tumbuh sebesar 4,82%, di bawah angka 5%. Tren pelemahan ini bahkan berlanjut hingga tahun 2024, di mana konsumsi rumah tangga terus menunjukkan pertumbuhan stagnan di bawah 5%
Melihat contoh pada 2022 tersebut, disinyalir akan ada potensi terulang kembali di 2025 jika tidak ada perubahan sebelumnya. Saat ini ketika PPN 12% khusus untuk barang mewah dijalankan tidak akan berdampak separah 2022 lalu, namun kebijakan pungutan serta iuran lainnya tetap akan menambah beban masyarakat. Adanya potensi selama tahun 2025 tetap terjadi penekanan daya beli dan konsumsi rumah tangga tersebut tentu berdampak pada pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu kaji ulang penerapan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Dilansir dari Kompas.com, Sekretaris Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyampaikan pemerintah masih membahas dan mengevaluasi rencana kebijakan 2025 yang menekan daya beli. Hal ini akan lebih baik untuk setidaknya menekan potensi dampak yang lebih besar.
“Kami sedang exercise beberapa opsi, apalagi kita tahu target pertumbuhan ekonomi tahun depan 5,2%,” kata Susiwijono, Selasa (3/12/2024).
Menilik dari berbagai faktor dan kemungkinan terjadinya penurunan tingkat konsumsi masyarakat terutama atas daya beli kelas menengah yang tentunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di tahun 2025, pemerintah memang harus mengkaji kembali semua kebijakan yang akan diterapkan selama tahun ini. Penambahan penerimaan negara dari pungutan dan iuran memang akan berguna untuk pembangunan negara namun ketika prosesnya menekan kondisi masyarakat tentu perlu pertimbangan lebih lanjut.
Editor: Nurul Ilmi Ramadhani
Penulis Merupakan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas