Pasang Iklan Disini

Lipstick Effect: Fenomena Konsumsi Impulsif di Tengah Krisis Ekonomi


(Ilustrasi/Zahra Nurul Aulia)

Oleh: Aprila Aurami*

Dalam kondisi perekonomian yang sedang sulit, muncul satu fenomena menarik di tengah masyarakat. Banyak orang justru berlomba-lomba membeli barang-barang yang dianggap kurang esensial, seperti produk make-up, camilan mewah, atau barang kecil dengan nilai guna terbatas. Sebagai contoh, baru-baru ini di Indonesia, masyarakat beramai-ramai memburu boneka Labubu, meski situasi ekonomi sedang tidak bersahabat. Hal serupa juga terlihat pada kebiasaan mahasiswa yang tetap rela mengeluarkan uang untuk menikmati kopi mahal di kafe. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam, mengapa, di tengah kesulitan ekonomi, kebutuhan sekunder bahkan tersier justru menjadi prioritas? Fenomena ini tidak hanya menjadi bahan perbincangan, tetapi juga cerminan menarik tentang perilaku konsumsi masyarakat di masa sulit.

Fenomena ini di sebut dengan Lipstick Effect.  Dilansir dari antaranews.com lipstick effect adalah keadaan di mana konsumen cenderung membeli barang-barang kecil atau terjangkau saat kondisi ekonomi sedang menurun. Teori ini menggambarkan bahwa masyarakat cenderung membeli barang-barang kecil dibanding barang yang essensial.

Konsep lipstick effect ini pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Lauder, CEO Estee Lauder pada tahun 2001. Pada masa resesi ia memerhatikan bahwa lonjakan penjualan lipstik sangat tinggi. Ia menyatakan bahwa masyarakat pada masa ekonomi sulit cenderung membeli barang-barang kecil fungsinya sebagai bentuk penghiburan diri.

Lipstick effect terhadap ekonomi mempunyai banyak dampak baik terhadap perekonomian sendiri maupun pribadi masyarakatnya. Pengeluaran kecil yang dianggap tidak terlalu menguras isi dompet tetap dilakukan rutin, tentu pelan tapi pasti bisa mengikis keuangan. Sepertinya halnya mahasiswa yang setiap mengerjakan tugas harus dilakukan di kafe dan tentu dengan segelas kopinya. Ada yang melakukannya secara sadar karena alasan tertentu. Tapi tidak dipungkiri, ada beberapa hal penting yang harusnya uangnya disisihkan untuk membeli sesuatu yang penting misalnya token listrik kos harus dipakai membeli sesuatu yang sekiranya tidak perlu diprioritaskan. Keadaan ini menyebabkan kebutuhan dengan tingkat sekunder-tersier menjadi “kebutuhan mewah terjangkau”

Dalam situasi sulit, fenomena yang dikenal sebagai lipstick effect sering kali menjadi pemicu kebiasaan konsumtif di masyarakat. Fenomena ini mendorong konsumen untuk membeli lebih banyak barang daripada yang sebenarnya dibutuhkan, sering kali didorong oleh tren pasar dan daya tarik konsumsi impulsif. Kebiasaan ini membuat masyarakat cenderung mengabaikan dampak sosial yang mungkin timbul, karena fokus utamanya tertuju pada pemenuhan keinginan jangka pendek. Selain itu, perilaku belanja impulsif yang terkait dengan lipstick effect sering digunakan sebagai bentuk pelarian atau hiburan di tengah tekanan ekonomi, meskipun barang yang dibeli tidak memiliki nilai esensial dalam kehidupan sehari-hari.

Pada bagian psikologis masyarakat juga terdampak. Masyarakat melakukan “pelarian sesaat” demi merasa nyaman dalam keadaan ekonomi sulit ini bisa menyebabkan gangguan pada kesehatan mental. Kegiatan belanja impulsif yang dijadikan sebagai penghilang beban malah bisa menyebabkan kebalikannya. Dengan terus terusan membeli barang- barang yang tidak essensial membuat tabungan dan finansial masyarakat menjadi menipis. Apalagi, jika mereka berbelanja sesuai dengan tren yang sedang tinggi dan malah tidak mendapatkan barang yang diinginkan membuat masyarakat menjadi stress.

Hal-hal tersebut bisa terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Seperti sebagai penghilang stress dikala keadaan buruk. Dengan kegiatan membeli barang-barang kecil dianggap sebagai pelarian. Selain itu, bisa diakibatkan juga oleh iklan yang beredar atau terpengaruh influencer di media sosial. Tidak dapat dipungkiri, pengaruh dari influencer di media sosial sangatlah besar. Apalagi, jika hal tersebut bisa diakses dengan mudah contohnya bisa dibeli melalui belanja online seperti TikTok dan Shoppe.

Kemudian, tidak dapat dielakkan juga adanya minim literasi keungan di masyarakat. Minimnya  literasi keungan bisa menjadi akar ketidakstabilan keuangan masyarakat, karena tidak pandai dalam mengelola uang tersebut. Tanpa adanya pemahaman yang cukup akan keuangan, masyarakat lebih mudah terpuruk dalam pengeluaran berlebihan dan tidak penting.

Dengan adanya dampak-dampak buruk dari Lipstick Effect diatas, berikut adalah solusi yang bisa diambil untuk mengantisipasinya Pertama yaitu meningkatkan literasi keuangan. Bisa dimulai dengan mengedukasi masyarakat tentang cara membuat anggaran dan memprioritaskan kebutuhan esensial. Untuk edukasi keuangan ini bagi anak muda bisa diakses dengan mudah melalui smartphone. Tetapi untuk orang tua yang mungkin agak kurang update, bisa diedukasi bertahap di rumah. Lalu, mempraktikann mindset konsumsi yang bijak. Sebagai konsumen, kita harus jeli memilih kebutuhan mana yang harus didahulukan dan mana yang masih bisa ditunda. Dapat juga dimulai dengan melalukan investasi pada barang atau mulai menabung.

Terakhir, peran pemerintah dan media juga berpengaruh, agar dilakukan  edukasi tentang pengelolaan keuangan dan pengendalian konsumsi barang dan jasa. Pemerintah bisa menerapkan peraturan-peraturan terkait untuk mencegah adanya konsumerisme. Dan media juga dapat berperan aktif dalam menayangkan orang-orang yang berhasil menerapkan pengelolaan keuangan yang sehat. Agar masyarakat dapat fokus pada kebutuhan yang mendasar saja.

Editor: Nurul Ilmi Ramadhani

Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *