Pasang Iklan Disini

Depresiasi Rupiah, Guncang Ketahanan Ekonomi Indonesia


(Ilustrasi/Zahra Nurul Aulia)

Oleh: Nurul Ilmi Ramadhani*

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menghadapi tekanan yang signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), tren pelemahan rupiah semakin terlihat jelas pada Kamis, (19 /12/2024). Pada hari tersebut, nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam sebesar 127 poin atau setara dengan penurunan 0,79 persen, hingga mencapai Rp16.225 per dolar AS. Pelemahan ini terutama dipengaruhi oleh kebijakan moneter ketat yang diterapkan Federal Reserve (The Fed) melalui kenaikan suku bunga acuan secara agresif. Langkah tersebut mendorong investor global untuk lebih memilih aset berbasis dolar, sehingga menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Selain faktor eksternal, tekanan terhadap rupiah juga berasal dari kondisi dalam negeri yang memperumit situasi. Salah satu faktor utama adalah defisit neraca transaksi berjalan, yang tercatat sebesar 0,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal ketiga 2024 menurut data BI. Defisit ini menunjukkan ketergantungan Indonesia yang cukup besar terhadap impor, baik untuk bahan baku industri maupun barang konsumsi. Ketergantungan ini meningkatkan kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar, karena kebutuhan dolar untuk membayar impor memperlemah nilai rupiah.

Meskipun tingkat inflasi domestik relatif terkendali di angka 3,1 persen secara year-on-year hingga November 2024, hal ini belum cukup untuk menenangkan pasar keuangan. Sentimen negatif terhadap ketahanan ekonomi domestik masih menjadi tantangan besar. Para pelaku pasar khawatir akan kemampuan Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik dan perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama. Kekhawatiran ini mendorong investor untuk menarik modalnya dari Indonesia, yang pada akhirnya memberikan tekanan lebih besar pada nilai tukar rupiah.

Menurut laporan tempo.com, pelemahan rupiah dapat semakin memburuk dengan diberlakukannya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kebijakan ini diperkirakan akan meningkatkan biaya barang dan jasa di dalam negeri, sehingga berpotensi menekan daya beli masyarakat. Jika konsumsi domestik, yang menjadi salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, melambat secara signifikan, kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia dapat menurun. Hal ini berpotensi memicu arus modal keluar, yang pada akhirnya memberikan tekanan lebih besar pada nilai tukar rupiah.

Pelemahan nilai tukar rupiah memiliki dampak yang kompleks terhadap perekonomian Indonesia, menciptakan beragam konsekuensi baik di sektor domestik maupun dalam hubungan internasional. Salah satu dampak positif dari pelemahan ini adalah peningkatan daya saing sektor ekspor Indonesia. Produk-produk ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar global karena harga dalam denominasi mata uang asing relatif lebih murah bagi pembeli internasional. Sebagai contoh, ekspor komoditas unggulan seperti kelapa sawit dan tekstil mengalami peningkatan signifikan pada tahun 2024, masing-masing tumbuh sebesar 7 persen dan 5 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa produk Indonesia mampu bersaing lebih baik di pasar internasional, yang pada gilirannya dapat memperkuat ekonomi domestik melalui peningkatan pendapatan dari ekspor.

Namun, di sisi lain, pelemahan rupiah juga menghadirkan tantangan besar, terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada impor. Salah satu dampaknya adalah peningkatan biaya untuk mengimpor barang dan bahan baku, yang menjadi lebih mahal seiring depresiasi nilai tukar rupiah. Banyak industri di Indonesia mengandalkan bahan baku dan mesin dari luar negeri, sehingga pelemahan rupiah meningkatkan biaya dalam mata uang domestik untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya produksi, yang pada akhirnya dapat mengurangi daya saing sektor industri domestik, meskipun ekspor mengalami peningkatan.

Secara keseluruhan, pelemahan rupiah menciptakan tantangan yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Meskipun sektor ekspor mendapatkan manfaat, sektor-sektor lain yang bergantung pada impor dan pembayaran utang luar negeri harus menghadapi dampak negatif. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang bijak serta strategi mitigasi untuk menjaga keseimbangan antara mendorong sektor ekspor dan mengatasi tantangan akibat kenaikan biaya impor serta kewajiban utang luar negeri.

Untuk menghadapi tantangan ini, diperlukan sinergi antara pemerintah, Bank Indonesia, pelaku usaha, dan masyarakat. Pemerintah perlu mempercepat pelaksanaan reformasi struktural, seperti mendorong pengembangan industri substitusi impor dan memperkuat sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Di sisi lain, masyarakat dapat mendukung gerakan cinta produk lokal sebagai langkah mengurangi ketergantungan pada barang impor. Dengan kolaborasi yang solid dan langkah strategis yang tepat, Indonesia dapat meminimalkan dampak negatif pelemahan rupiah sekaligus memperkuat fondasi ekonomi untuk menghadapi tantangan global.

Editor: Fadhilatul Husni

*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Andalas

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *