
Padang, gentaandalas.com- Isu terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kembali menghangat bersamaan dengan kasus kejahatan seksual yang terjadi belakangan ini. Dukungan dan penolakan datang dari berbagai pihak, tak terkecuali dalam lingkup kampus. Sebagai pihak yang pro, Ketua Umum UKM PHP Unand Andika Rianto mengatakan bahwa UKM PHP Unand akan memberi dukungan penuh agar RUU P-KS segera disahkan.
Dika berpendapat, RUU P-KS berkaitan erat dengan perlindungan terhadap korban pelecehan dan kekerasan seksual. Berdasarkan data kekerasan seksual yang diketahuinya dari Komnas Perempuan, ada kenaikan kasus sebesar 800% dari rentang tahun 2012 – 2019.
“Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi sudah sepatutnya menjadi alasan kuat untuk mendukung RUU P-KS ini. Selain itu, pembimbingan atau pembinaan psikologi untuk korban di Indonesia belum ada,” terang Dika kepada Genta Andalas, Selasa (16/3/2021).
Dika melanjutkan, hukum adat yang berlaku di masyarakat belum bisa menangani pelaku-pelaku kejahatan seksual dengan baik. Pelaku tersebut masih berkeliaran dan tidak diberikan sanksi karena hukum adat sifatnya tidak mengikat. Bahkan tidak jarang pelaku dapat lolos dari hukuman dan memutar balikkan keadaan sehingga korban yang dianggap bersalah.
“Menurut saya pengesahan RUU PKS ini urgen. Kita minta agar cepat disahkan karena sudah banyak kejadian yang meresahkan warga. Masa Masih mau ditolak tentang itu,” ujar Dika.
Sementara itu, BEM KM Unand memiliki pandangan berbeda, Menteri Pergerakan Perempuan (Kemen PP) Zakiah Darajat menegaskan bahwa BEM KM Unand menolak pengesahan RUU P-KS setelah melakukan kajian mendalam. Menurut Zakiah, hukum harus dibuat berdasarkan asas manfaat dan mudarat. Keuntungan yang dijanjikan dari RUU ini hanyalah keuntungan semu untuk korban, sedangkan kemudaratan yang akan muncul di kemudian hari jauh lebih kompleks seperti gerbang legalisasi perzinaan, ancaman moralitas untuk generasi penerus bangsa, dan nasib bangsa yang bawa ke arah sekularisme.
“Hal ini tak akan ditemukan jika hanya mengkaji secara tekstual. Orientasi seksual yang tertuang dalam RUU P-KS tidak hanya orientasi seksual antar lawan jenis, tapi juga untuk pelaku penyimpangan seksual. Apakah RUU yang banyak membawa pesan impilisit seperti ini layak dijadikan sebagai undang-undang?” kata Zakiah.
Zakiah melanjutkan, ideologi di balik RUU P-KS ini adalah teori hukum feminis. Ruh yang dibawanya ialah feminis radikal yang lahir dari sejarah kekelaman Barat. Dia berujar, seorang perempuan yang pancasilais tidak mungkin seorang feminis, karena tidak ada irisan antara ketuhanan dengan feminis itu sendiri.
“Sering kali teman-teman pro RUU ini menggaungkan ‘my body is my authority’, ini adalah pemahaman yang keliru. Tubuh kita bukan otoritas kita, tetapi otoritas Tuhan,” jelasnya.
Zakiah juga menjelaskan bahwa dampak pengesahan RUU ini tidak akan terlihat dalam waktu dekat, namun akan menjadi ancaman moral yang serius untuk generasi mendatang. Diperlukan produk hukum terbaik yang memberikan solusi yang tidak parsial.
Terlepas dari penolakan terhadap RUU P-KS saat ini, Zakiah menuturkan bahwa Kemen PP akan pro terhadap RUU ini jika ideologinya sudah diganti.
“Kita ini bangsa berketuhanan, maka jangan jauhkan nilai-nilai segala bentuk regulasi yang ada dari ketuhanan,” tuturnya.
RUU P-KS sebenarnya bukan produk baru, pada tahun 2016 silam, RUU ini telah memasuki tahap Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang akan dibahas oleh DPR RI. Namun, di akhir masa jabatan DPR periode sebelumnya, pembahasan tersebut tidak menghasilkan keputusan apa pun.
“Untuk sekarang baru ditahap pengesahan oleh Badan Legislasi (Baleg) dan sudah disetujui oleh Baleg menjadi Prioritas Prolegnas 2021,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Indonesia Maria Ulfah Anshor saat diwawancarai Genta Andalas pada Rabu (17/3/2021).
DPR periode sekarang, lanjut Maria, sama sekali belum mengeluarkan Naskah Akademik (NA) ataupun draft RUU P-KS secara resmi. Menurutnya, lebih baik menunggu DPR mengeluarkan Naskah Akademik atau draft RUU P-KS secara resmi daripada harus memperbincangkan pro-kontranya RUU tersebut.
“Kita tunggu NA dikeluarkan dulu, baru kita bahas. Semua yang ada saat ini hanya asumsi-asumsi saja,” kata Maria.
Reporter : Rahmadina Firdaus dan Nurul Anisa Azwir
Editor : Linda Susanti