Pasang Iklan Disini

Ami dan Haji Limah


Oleh : Fauzan Fajari *)

Hutan Binuang bagi orang-orang kampung ini disebut sebagai hutan yang keramat. Tidak boleh melakukan hal sembarangan, karena hutan ini memiliki mata dan telinga. Ia dapat mengawasi apa yang dilakukan oleh orang yang berkunjung ke dalam hutan dan bisa mendengar apa yang dikeluhkan orang yang masuk hutan. Kalau beruntung, apa yang diminta akan terkabul. Asal meminta apa yang ada di hutan, dan diberi sesuatu sebagai gantinya.

Aku mendengar cerita itu dari kakekku. Aku baru saja datang dalam rangka liburan akhir semester yang berlangsung selama dua minggu. Ayahku sibuk di kota, ibuku juga sama. Mereka menitipkanku kepada kakek. Ia warga asli sini. Kakek bernama Haji Limah, ia seorang muslim yang taat.  Rumahnya bersuasana asri khas pedesaan. Di halaman rumahnya ada sebatang pohon rambutan, di samping rumah ada pohon mangga yang telah berbuah masak, dan di belakang rumah banyak jahe, kunyit, temulawak, serta beberapa tumbuhan cabe. Rumah kakek dikelilingi oleh pagar dari tumbuhan yang juga berfungsi sebagai tempat menjemur pakaian.

Sebagai bocah kecil yang akan beranjak remaja, aku begitu penasaran dengan cerita kakek mengenai Hutan Binuang. Kenapa hutan itu bisa melihat dan mendengar?

“Hutan itu ajaib, Ami. Ia merupakan satu dari jutaan keajaiban alam. Hutan memiliki segalanya. Bahkan kita makan dari hasil hutan. Secara tidak langsung tubuh kita bahan dasarnya dari hasil hutan.”

Aku benar-benar takjub. “Kapan Kakek bisa bawa aku ke hutan?”

“Kalau tidak salah seminggu lagi musim buah kelengkeng. Kita tunggu hari yang cerah dulu. Belakangan ini masih musim hujan. Nanti kamu sakit,” kata kakek.

“Aku kan kuat, Kek.”

“Dasar anak muda,” kakek lalu mengelus kepalaku. “Walaupun katamu kuat, kamu harus mempertimbangkan kakek juga.”

Aku terhenyak dengan ucapan beliau, itu benar. Aku tak seharusnya memaksakan kehendak sendiri, nanti dibilang bocah yang egois. Rasa penasaranku masih dalam, aku menanyakan kepada kakek sejak kapan hutan ini sudah bergelar keramat.

“Kisaran tiga tahun ini, kakek juga merasa heran. Dulu-dulunya jika ada orang yang pergi ke hutan dan berkeluh kesah, tak akan pernah didapati permohonannya dikabulkan,” jelas kakek singkat.

“Permohonan seperti apa yang akan dikabulkan, Kek?”

“Kalau kamu minta sesuatu seperti buah tertentu, misalnya buah durian. Syaratnya kamu harus meletakkan sesuatu sebagai gantinya. Tak lupa barang yang kamu persembahkan itu harus diberi tanda.”

“Lalu permohonan apa yang tidak akan dikabulkan?”

“Kalau kamu minta es krim,” canda kakek.

Aku terkekeh mendengarnya. “Masa aku minta es krim ke hutan.”

“Siapa tahu, kan. Anak-anak sekarang permintaaannya aneh-aneh. Kalau kami dulu sewaktu kecil keinginannya bisa ketemu buah-buahan yang enak, ikan, sehingga nantinya buah-buahan, ikan itu dapat dijual. Uang lebihnya untuk bantu orang tua. Tapi sekarang nampaknya sudah beda.”

“Kalau aku ngak begitu, Kek.”

“Bagus-bagus. Seminggu lagi, ya. Jika hari tidak hujan,” janji kakek. Aku pun menyetujui.

Seminggu kemudian, di hari Senin yang cerah, dengan semangat riang segera ku ajak kakek menuju hutan. Aku tak sabar melihat buah-buahan enak seperti kelengkeng yang diperkirakan kakek sedang musimnya kini. Kami membawa perbekalan seperti ubi rebus dan air minum.

“Tapi kalau buahnya sudah habis, kamu ndak boleh kecewa. Kita bisa minta sama hutan,” ujar kakek saat kami dalam perjalanan.

“Lalu bagaimana caranya, Kek? Kan buahnya sudah habis.”

“Makanya kakek bawa ini.” Kakek mengangkat tangannya memperlihatkan buah mangga yang dipetiknya dari samping rumah. “Ini sebagai gantinya. Kalau benar habis, ini akan kita tinggalkan di dekat pohon kelengkeng dan biarkan selama semalam. Esok hari, pasti buah mangganya berganti menjadi kelengkeng.”

“Ajaiib … siapa betul yang melakukannya, Kek?” tanyaku begitu antusias.

“Mungkin Tuhan yang mengabulkannya.”

“Siapa Tuhannya Kakek?”

“Allah Azza Wa Jalla.”

“Tuhan kita sepertinya beda, Kek.”

“Tidak apa, tidak salah, Ami,” jawab kakek dengan wajah murung.

Kami lalu masuk ke dalam hutan. Begitu banyak ragam jenis pepohonan, semak belukar, rerumputan, kadang banyak hewan-hewan seperti burung-burung yang bersiul-siul seolah saling bersahutan. Ada juga suara kera yang bergema dari kejauhan bukit di dalam hutan. Sesekali kami melihat banyak serangga seperti kumbang, kupu-kupu, bahkan juga ada lebah dan tawon yang sedang berkerubung di sarangnya yang menggantung di pohon besar. Kakek memperingatkanku untuk hati-hati dari lebah dan tawon andaikata sarangnya tiba-tiba jatuh.

“Kita harus lari terbirit-birit menuju air.”

“Kakek pernah kena sengatnya?” tanyaku penasaran.

“Seluruh tubuh kakek serupa hantu.”

“Ahahaha.” Aku tertawa membayangkan kakekku yang kurus ini habis badannya terkena sengat. “Rasanya bagaimana, Kek?”

“Kamu mau coba?”

Aku segera menggeleng sambil tertawa cekikikan.

Kami terus masuk ke dalam hutan. Jalannya semakin menanjak. Peluh keringat sudah mulai bercucuran karena kepala dipanaskan oleh matahari. Kami kadang berhenti sejenak untuk minum air, kemudian segera melanjutkan perjalanan melihat-lihat isi dalam hutan. Tempat berasalnya bahan baku tubuh manusia, seperti kata kakek, tubuh manusia makin bertambah besar dan sehat jika kita memakan nasi, buah-buahan, ayam dan lain sebagainya yang berasal dari hutan, pokoknya dari alam.

“Berarti asalnya kita dari hutan begitu, Kek?” tanyaku tiba-tiba saat kami sudah hampir mendekati tujuan akhir, pohon kelengkeng.

“Kamu berasal dari emakmu, bahan bakunya dari ayahmu. Asal bahan bakunya dari makanan yang dimakan sama ayahmu,” papar kakek membingungkanku.

“Maksudnya bagaimana, Kek?” tanyaku lagi sambil tersenyum asal jadi karena merasa tidak paham dengan penjelasannya.

“Kamu masih kecil, tidak usah berpikiran yang susah-susah. Nikmati saja masa sekarang, nanti tiba waktunya kamu akan paham. Nah, lihat. Itu pohon kelengkengnya,” ujar kakek sambil menunjuknya.

Benar, jelas sekali pohonnya, aku lalu bilang, “Buahnya sudah habis, Kek.”

“Seperti yang kakek bilang, kita tinggalkan saja mangga ini. Esok hari kita jemput lagi ke sini,” kata kakek menenangkanku.

Esok hari, kami pergi lagi ke hutan. Hari juga masih cerah. Kami langsung melangkah cepat. Kakek kadang tertinggal jauh di belakang. Saking bersemangatnya, aku benar-benar mendahului kakek dalam langkah menuju pohon kelengkeng. Sayang, aku salah jalan. Aku lupa, karena kadang beberapa jalan menghadirkan suasana yang serupa, padahal sejatinya berbeda. Aku berteriak-teriak memanggil kakek. Lumayan lama, aku mondar-mandir ke sana ke mari. Aku mulai letih, . Apalagi perbekalan seperti air minum kakek yang membawanya, sementara aku hanya beberapa kotak perbekalan yang isinya ubi rebus.

Aku lalu menaiki bukit, dengan harapan dapat melihat kakek dari atas ketinggian. Hari sudah mulai mendung, aku teringat kata kakek beberapa waktu dulu. “Jika hari mendung mau hujan, sebaiknya segera meninggalkan hutan. Karena saat hujan, hutan sedang berdoa meminta rezeki, kita tidak boleh menggangu. Kalau ada yang melanggar, biasanya akan dimakan hutan. 

Aku sangat takut. Aku tidak ingin jadi santapan hutan keramat ini. Aku masih kecil, masih mau juga menyicip jadi orang dewasa, bahkan kalau bisa sampai tua seperti kakek dan punya cucu juga.

“Kakek … di mana?” teriakku begitu keras. Aku mengulanginya berulang kali. Akan tetapi balasan dari kakek tak pernah kudapat, yang ada hanya raungan monyet dari kejauhan. Au au au au au au au.

Aku panik. Ketakutan menjalar di seluruh tubuh. Di sini aku hanya sendiri, di tengah hutan belantara yang dingin dan kelam. Bagaimana jika nanti aku bertemu ular dan dimakannya? Bagaimana kalau ketemu sama harimau, apakah bisa dagunya kuelus seperti bleki—kucingku—yang ada di rumah ataukah aku jadi makanannya? Atau bagaimana aku ketemu hantu? Kakek bilang di tempat yang tidak ditinggali orang pasti ada penghuninya juga, walaupun beda rupa.

Hii. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri.

Embusan angin kencang tiba-tiba menerpa tubuhku. Suasana sekitar sudah terasa memyeramkan. Aku memutar badan melihat sekeliling. Sekitar seratus langkah dari tempatku berdiri, kulihat ada cahaya putih yang berkilat sekejap yang berasal dari semak belukar yang menyeruak terbelah membentuk jalan. Aku melangkah mundur. Dari semak belukar itu keluar manusia laki-laki yang berjenggot panjang, menggenakan ikat kepala dan mengenggam sebilah parang yang begitu putih bersih mengkilap, tak hanya sendiri, ada satu orang lainnya.

“Kau siapa? Kenapa sendirian?” kata yang satu, badannya kurus tinggi.

“Mau apa ke mari? Hari sudah mau hujan, tidak boleh lagi berteriak-teriak,” tambah yang satunya lagi, wajahnya berkeriput badannya gendut.

Mereka mendekat dengan wajah yang datar, lebih tepatnya sangar. Sorot matanya tajam. Parangnya yang mengkilap tetap diacungkannya ke atas. Aku takut, ataukah mereka yang takut melihat seorang bocah kecil?

“Kakek,” kataku lirih sambil mundur perlahan-lahan.

“Mana kakekmu?” tanya ia kepadaku.

“Aku tidak tahu, tadi aku jalan terlalu cepat.”

“Dasar bocah!” teriak yang satu.

“Cepat ikut kami,” kata yang satunya lagi.

Tanganku ditariknya, aku memberontak.

“Jangan takut, Nak. Kami orang-orang baik.”

“Kalau baik, jangan memaksaku.” Suaraku bergetar, tapi aku harus tetap memberanikan diri

“Ini demi kebaikanmu, Nak, sebaiknya kita berteduh dulu,” kata yang paling buncit dan paling keriput mukanya, “Kamu mau mampir ke tempat kami dulu tidak? Kamu mau buah kelengkeng, bukan? Di tempat kami buah itu melimpah ruah,” terangnya padaku.

“Dari mana paman mendapatkannya?”

“Kami memetiknya langsung.”

“Tapi, kata kakekku, kita tidak boleh begitu. Kalau mau buah, harus diletakkan sesuatu sebagai gantinya. Nanti hutan marah. Ia bisa melihat dan mendengar.”

“Kamilah mata dan telinga hutan ini!” ujar yang kurus tinggi.

“Ya, kami orangnya. Siapa yang meminta akan kami beri, asalkan apa yang dimintanya tersedia di dalam hutan. Kami ini utusan Allah. Kamilah penjaga hutan ini.”

“Apa Paman berasal dari hutan?” tanyaku pada mereka berdua.

“Tidak juga. Kami dari luar hutan, dari desa yang cukup jauh dari sini,” ia menunjuk ke arah selatan, ke arah hutan. “Desa yang terletak jauh di seberang hutan.”

Ia juga menerangkan kepadaku bahwasanya hanya sedikit orang-orang yang tahu apa kegiatan mereka di dalam hutan. Mereka dengan mudahnya memberitahuku. “Kami mengadakan pelatihan menjadi tentara Allah. Makanya semua hasil hutan seperti buah-buahan kami yang mengambilnya. Sebagai bahan makanan buat kami dalam rangka berperang melawan iblis.”

“Aku tidak terlalu paham. Aku masih terlalu kecil. Kakek memintaku untuk tidak berpikiran yang susah-susah,” jawabku polos.

“Ya, anak kecil memang seperti itu seharusnya. Tapi jika kau telah dewasa nanti, apa kau mau menjadi tentara Allah?” tanyanya kepadaku sambil membungkuk, mennyejajarkan tingginya dengan tinggiku.

“Memangnya wajib, Paman?”

“Harus. Kejahatan harus dibasmi. Sudah jadi kewajiban seorang muslim untuk menjaga martabat agamanya,” jelasnya dengan mantap sambil membulatkan tinjunya, dan mendekapkannya ke arah jantung.

“Kalau begitu aku mau. Aku mau membasmi kejahatan,” balasku dengan mantap, meski sedikit cemas, karena kakekku belum juga menemukanku, sementara hari sudah makin gelap tanda hujan mau turun. “Tapi Paman, aku …,”

“Ya, ada apa?” tanya yang kurus tinggi sambil berpaling.

“Aku bukan Islam.”

Mereka saling berpandangan satu sama lain. Aku bingung, apa yang salah dari perkataanku barusan? Jika kakek hanya akan murung jika kami membahas perbedaan keyakinan, tapi paman-paman ini tidak demikian. Mereka tampak terkejut, matanya melotot. Salah satu dari mereka melangkah mundur lalu mengangkat parang yang mengkilap itu hingga teracung ke langit, seperti bersiap siaga ingin menebas musuh. Matanya yang bulat besar menatap kalung emas yang melingkar di leherku, ditariknya dengan paksa, aku meringis merasakan perih di kulit leher. Sebuah liontin salip berjuntai dengan bebas di depan wajah sangarnya. Muka mereka memerah marah, aku takut, aku cemas.

“Sejak kapan kau di kampung ini!” ia bertanya sambil berteriak keras.

Aku menjawab dengan ketakutan, aku bilang jikalau aku sudah seminggu lebih di sini, karena aku sedang liburan akhir semester.

“Kafir!” teriak pria berbadan gemuk.

“Sudah bukan muslim, ibadah sekali seminggu pun malas,” sahut yang satunya.

“Tapi … Paman, itu kata kakek, dia bilang,” aku digerogoti rasa takut, lidahku bergetar hebat, suaraku parau. “Kalau di sini tidak ada gereja, jadi ibadahnya dapat dilakukan di rumah saja, Paman.”

Ia menatapku jijik. Kemudian mendekat dengan parang yang semakin menempel e leherku. “Kau tahu, kafir! Sebaiknya kau tidak usah hidup. Selagi kecil alangkah baiknya darahmu kami tumpahkan di sini. Ini akan menjadi langkah awalmu menuju jalan kebenaran. Jangan khawatir, jikalau kau masih bocah seperti ini, kau tidak akan masuk neraka. Nanti kau akan berjumpa dengan bidadari yang cantik-cantik. Ah, bicara apa aku. Kau juga tidak akan paham,” katanya panjang lebar. Aku semakin mati ketakutan.

“Kakek…,” teriakku sekuat tenaga. Dua orang berjenggot itu teralihkan pandangannya barang sejenak, mereka melihat sekeliling memastikan tidak ada penggangu. Aku mulai memberontak dari pegangan yang gendut, tapi sia-sia, tenaganya jauh lebih besar.

“Sudahlah, paman tidak akan menyakitimu. Justru kamu harus berterimakasih karena telah diselamatkan dari kesesatan. Maka terimalah parang kami yang tajam ini untuk menyembelihmu sebagai persembahan kepada Allah.”

Ia lalu mengambil ancang-ancang untuk menebas leher mungilku. Aku kembali memberontak sekuat tenaga, di ujung krisis ini aku berharap dapat membebaskan diri dari genggaman si paman gendut. Cengkeramannya sangatlah kuat, aku menggelinjang ke sana ke mari namun tidak ada yang berarti. Sampai akhirnya aku melihat parang itu berayun cepat dan leherku terputus.

***

Haji Limah terengah-engah, ia sudah lelah berlari ke sana ke sini mencari cucunya yang berniat menuju pohon kelengkeng. Sebelumnya Haji Limah sudah sampai di pohon kelengkeng, namun cucunya tidak ada di sana. Ia menduga jika sang cucu masih berada di sekitar pohon kelengkeng, “Mungkin sedang pipis,” pikirnya.

Tapi berselang beberapa menit kemudian Ami yang bernama lengkap Denis Alamin tidak kunjung datang. Makin cemaslah si kakek tua itu. Ia kembali mencari, menelusuri setiap tempat yang mungkin didatangi Ami. Selang sepuluh menit mondar mandir, terdengar teriakan nyaring dari arah perbukitan. Suara memilukan itu menggema terkena rimbunnya pepohonan.

Haji Limah segera menuju ke sumber suara. Rasa cemas semakin merajai dirinya, dia berharap itu bukan teriakan sang cucu, kalau pun itu berasal dari Ami semoga tidak ada hal buruk yang menimpa bocah kecil itu. Namun malang dikandung badan, sesampainya di sana Haji Limah kehabisan kata, persendiannya melemah, badannya luruh ke tanah demi melihat sang cucu telah lepas badan dan kepalanya. Haji Limah tersungkur, tidak berdaya. Ia memeluk badan cucunya yang tak lagi berkepala itu.

Haji Limah sedih, dadanya terasa sesak melihat jasad Ami yang berlumuran darah. Namun dia juga bingung, alasan apa yang akan ia katakan kepada ibunya Ami nanti. Sebuah kalimat terlintas di kepalanya. “Aminah, Ami telah tewas dibunuh kelompok teroris yang bersembunyi di dalam hutan. Ini kelalaian bapak. Seharusnya  kalung salipnya bapak lepas, dan mengajarinya agama Islam dengan sungguh-sungguh.” Atau seperti, “Aminah, anakmu hilang. Ia tewas saat bermain ke hutan ketika tersesat. Ini salah bapak. Ia tewas karena lehernya diterkam harimau.”

Haji Limah lebih memilih kalimat yang kedua. Ia malu. Malu sebagai haji, malu sebagai muslim, malu sebagai kakek, dan malu sebagai ayah yang gagal mengajarkan ajaran agama, sehingga anak perempuannya menikah dengan orang yang beda akidah dan cucunya pun juga berbeda akidahnya. Ia gagal mewujudkan permintaan anaknya yang ingin mengenalkan Islam agar Ami nantinya dapat memilih agama yang benar ketika berumur cukup nanti.

“Ami, kuharap kau tidak menyesal dan benci dengan ajaran Islam hanya karena kau bertemu orang yang sesat seperti orang-orang yang membunuhmu,” lirih Haji Limah.

Awan hitam yang bergantungan di langit tak dapat lagi menahan beratnya uap air. Awan itu pecah, menumpahkan air, membasahi bumi. Mengguyur jasad Ami dalam pangkuan Haji Limah. Air hujan itu bercampur dengan linangan air mata Haji Limah, lalu berubah merah saat menyentuh tanah, menyatu dengan genangan darah segar tubuh Ami.

*) Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Kimia 2018 Fakultas MIPA Universitas Andalas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *