1. Sastra
Sastra tidak saja mengacu pada karya tetapi juga pengarang, pembaca, dan semesta sosialnya (universe), baik secara sinkronis, historis, teoretis, maupun praktis.
Sebagai karya, sastra merupakan bentuk seni yang bermediakan bahasa dengan wujud narasi estetis—baik dalam wujud narasi langsung maupun tidak langsung—yang dibangun dari unsur-unsur dan teknik-teknik naratifnya. Secara otonom ia merupakan realitas tersendiri, atau berdiri sendiri, yaitu realitas narasi yang berada dalam karya sastra itu sebagai realitas instrinsik.
Akan tetapi secara heteronom, ia merupakan fakta sosial seni yang sengaja diciptakan pengarang untuk ditujukan kepada pembaca dalam konteks keberadaan semesta sosialnya. Sebagai fakta sosial, ia merupakan refleksi (cerminan) dan sekaligus refraksi (pembelokan, penyimpangan, atau dekonstruksi) sosial tertentu secara estetis. Ia tidak saja merupakan fakta sosial kemasyarakatan itu sendiri tetapi juga budaya, politik, kekuasaan, hukum, ekonomi, psikologis, intelektual dan sebagainya.
Fakta sosial itu dihasilkan pengarang. Hal ini berarti bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pengarang. Tidak saja sebagai seniman/sastrawan yang telah menciptakan tetapi yang lebih penting adalah sebagai anggota atau wakil masyarakat dalam menanggapi dan meyampaikan pemikiran sosial termasuk ideologi yang dipandang lebih baik atau lebih bermakna.
Karya sastra itu juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pembaca. Tidak saja karena diperuntukkan baginya tetapi terlebih penting adalah karena keberadaannya juga ditentukan pembaca. Di tangan pembacalah karya sastra itu menjadi bermanfaat atau sebaliknya, baik sebagai hiburan maupun pemberi pelajaran atau “penerang” sosial tertentu, baik secara langsung maupun secara kritis.
Sastra dengan demikian tidak saja menyangkut realitas individual (otonom, intrinsik) yakni karya sastra semata tetapi juga sosial (heteronom, ekstrinsik) yaitu pengarang, pembaca, dan semesta sosial (masyarakat, institusi-instusi sosial, negara dan sebagainya). Ia juga tidak bersifat sesaat (sinkronis) tetapi juga setiap waktu atau terus-menerus (historis) karena ia memang menciptakan realitas sejarahnya sendiri. Dengan demikian, ia tidak saja merupakan wujud seni (sastra) tetapi juga pengetahuan teoretis keilmuan yang merumuskan dan menjelaskan realitas ontologisnya.
2. Ilmu Sastra
Ilmu Sastra adalah ilmu yang sangat luas karena objeknya tidak hanya karya tetapi juga realitas semesta sosialnya; tidak hanya dalam keberadaannya sesaat (sinkronis) tetapi juga terus-menerus (diakronis, historis), dan; tidak hanya berupa objek teoretis tetapi sekaligus praktis. Dalam perkembangannya, Ilmu Sastra tersebut diklasifikasi menjadi tiga cabang, yaitu sejarah, teori, dan kritik sastra. Pada cabang sejarah, ia memposisikan sastra sebagai realitas perkembangan atau keberlangsungan sastra yang terus-menerus; pada cabang teori ia memposiskan sastra sebagai realitas konseptual atau teoretis, dan; pada cabang kritik sastra, ia memposisikan karya sebagai praktik pengkajian atau penelitian. Meskipun masing-masing berdiri sendiri tetapi dalam praktiknya saling berkaitan.
Ilmu Sastra merupakan ilmu yang terikat nilai, karena ia terikat pada konteksnya, yaitu kehidupan manusia itu sendiri dengan nilai-nilai yang dimilikinya, dan secara aksiologis berada untuk kepentingan konteksnya. Secara aksiologis, semua ilmu sebenarnya terikat nilai. Tidak ada yang bebas nilai, atau objektif, apalagi benar-benar objektif.
3. Kritik Sastra
Kritik Sastra sebagai cabang Ilmu Sastra (seharusnya) tidak lain adalah praktik pengkajian, penelitian, atau studi sastra untuk memperoleh pengetahuan keilmuan sastra dalam Ilmu Sastra itu sendiri. Ia disebut kritik, atau kritik sastra, adalah karena ia tidak saja merupakan praktik memperoleh pengetahuan keilmuan sastra secara deskriptif belaka tetapi lebih dari itu, ia sekaligus mengevaluasi, memberi penilaian. Sesuai dengan asal katanya krinein (Yunani) yang berarti menghakimi, Kritik Sastra benar-benar bertindak seperti menghakimi, menyatakan vonis nilai (penilaian) setelah memaparkan hasil pemahamannya atas suatu fenomena sastra (yakni suatu pengetahuan keilmuan sastra).
Hanya saja, dalam perkembangannya belakangan terutama dalam dunia akademis, sikap atau tindakan penilaian itu seperti sengaja dihilangkan. Hal itu terjadi karena penerimaan atas Ilmu Sastra itu sendiri yang diposisikan sebagai ilmu yang bebas nilai. Penerimaan itu tentu pula karena penerimaan atas ilmu itu sendiri bahwa ilmu pengetahuan harus objektif, dan syaratnya adalah bebas nilai. Jadilah Ilmu Sastra menjadi ilmu deskriptif saja, dan Kritik Sastra menjadi pemahaman deskriptif belaka—jika tidak hendak dikatakan “penceritaan kembali”. Ini pulalah sekaligus yang menyebabkan Ilmu Sastra, terutama di Indonesia, cenderung jalan di tempat, termasuk dunia kehidupan sastranya.
Bahwa Kritik Sastra merupakan praktik pengkajian, penelitian, studi sastra, atau praktik memperoleh dan sekaligus memaparkan dan menjelaskan pemahaman atau pengetahuan yang diperolehnya secara deskriptif dan evaluatif, sebagai satu cabang dari Ilmu Sastra yang diposisikan terikat nilai, konsep itulah yang dimaksudkan sebagai Kritik Sastra di sini. Sesuai dengan istilahnya, ia tidak saja bertujuan mengetahui atau memahami dan menjelaskan tetapi sekaligus mengoreksi, mengungkapkan kekurangan di samping kelebihan. Tentu saja dalam tujuan yang konstruktif, bukan destruktif. Bukan saja untuk kemajuan keilmuan, tetapi juga masyarakat dan karya sastra itu sendiri ke depan.
*Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
e-mail: syafrilprelt@yahoo.com
Komentar